Malam ini kita
membacakan tahlil dan mendoakan almarhum KH. Zainal Abidin Munawwir. Kita itu sok-sok-an.
Model seperti saya dan panjenengan gayanya mendoakan Kiai Zainal. Ya, kita
semua sesungguhnya hanya mengharap barokah dari beliau.
Meski saya
bukan wali, tapi saya meyakini Kiai Zainal itu adalah wali. Karena seperti
terdapat dalam al-Quran, ciri wali itu tidak punya rasa takut dan tidak punya
susah. Lha saya belum pernah tahu Kiai Zainal itu punya rasa takut dan susah.
أَلاَ إِنَّ
أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Ingatlah, sesungguhnya
wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.” (QS. Yunus ayat 62).
Sebenarnya
panjenengan itu juga bisa jadi wali, wong panjenengan sudah memiliki salah satu
syaratnya. Padahal syarat menjadi wali cuma dua. Panjenengan semua sudah punya
satu, yaitu mengakui bahwa Gusti Pangeran itu hanyalah Allah Ta’ala.
إِنَّ الَّذِيْنَ
قَالُوْا رَبُّنَا اللهُ، ثُمَّ اسْتَقَامُوْا فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ
يَحْزَنُوْنَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka tetap
istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula)
berduka cita.” (QS. al-Ahqaf ayat 13).
Jadi syarat
yang pertama, menyatakan bahwa Tuhannya adalah Allah (قَالُوْا رَبُّنَا
اللهُ), yang kedua
adalah istiqomah (ثُمَّ اسْتَقَامُوْا). Untuk jadi wali seperti Kiai Zainal, panjenengan kurang satu
syarat saja, yaitu istiqomah. Syarat istiqomah ini memang yang paling sulit.
Panjenengan
menyaksikan sendiri bagaimana Kiai Zainal dalam keadaan gerah masih berangkat
ngimami di masjid dan tetap memikirkan santri. Sementara banyak orang yang mau
sholat, tapi jarang yang sholatnya bisa istiqomah; orang yang mau mengajar juga
banyak, tapi yang mengajar dengan istiqomah itu jarang; banyak yang bisa
memperhatikan anaknya orang, tapi yang memperhatikan anak orang secara
terus-menerus itu sedikit sekali. Istiqomah itu yang berat.
Saya mendengar
ada gunung meletus tidak begitu kaget, meskipun abunya sampai Jogja. Tapi saya
kaget mendengar kiai-kiai wafat, Kiai Sahal Mahfudz kemudian menyusul Kiai
Zainal. Gusti Allah itu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw., bila mengambil
ilmuNya, tidak dengan cara mencabut ilmu itu dari dada para ulama (إن
الله لا يَنْتَزِعُ العلم انتزاعا من صدور العلماء), akan tetapi (بقبض العلماء) Allah mengambil ilmuNya dengan cara
mewafatkan ulama.
Kiai Munawwir
dipundut nyawanya, sekaligus diambil ilmunya; Kiai Abdullah dipundut beserta
ilmunya; Kiai Abdul Qodir dipundut beserta ilmunya; Kiai Ali Maksum dipundut
beserta ilmunya; Kiai Warsun dipundut beserta ilmunya; Kiai Zainal dipundut
beserta ilmunya.
حتى إذا لم
يَبْقَ عالم، وفي رواية: حتى إذا لم يُبْقِ عالما، اتخذ الناس رؤوسا جهالا فسئلوا فأفتوا
بغير علم فضلوا وأضلوا – أو كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
Kalau kiai-kiai
sudah diambil, orang-orang bingung harus bertanya kepada siapa. Mereka kemudian
bertanya kepada orang sembarangan: pokoknya asal orang pakai sorban; asal
jenggotan; asal jubahan; dipanggil kiai; dipanggil ustadz; pasti akan ditanya (فأفتوا
بغير علم). Maka mereka
menjawab tanpa ilmu, (فضلوا وأضلوا) jadinya mereka sesat dan menyesatkan orang lain.
Ini semua
sekarang sudah kelihatan tanda-tandanya: banyak mufti jadi-jadian, yang ditanya
apa saja bisa menjawab. Padahal itu tandanya geblek, bukan tanda orang yang
alim. Tandanya orang bodoh itu adalah bila ditanya apa saja, bisa menjawab.
Ditanya: “Bagaimana
hukumnya ayam yang ketabrak mobil, Ustadz?” “Itu ayamnya masih hangat apa
tidak?” “Masih agak hangat, Ustadz.” “Kalau masih agak hangat berarti agak
halal…” Sampeyan kalau mau tahu silakan buka televisi, ukuran jawabannya
asal bisa dinalar saja.
Ada juga
dikatakan: (موت العالِم موت العالَم). Pada masa ini yang sulit itu adalah mencari teladan. Islam
itu kekurangan contoh. Oleh sebab itu wajah Islam kelihatan jelek, karena
kurang contoh. Yang dijadikan contoh yang jelek-jelek. Sampeyan lihat Youtube,
ada bocah edan pakai jubah, menginjak kepala, yang begini ini yang merusak.
Kalau ditanya: bagaimana baiknya, maka jawabnya: baiknya mandeg saja, gak usah
lagi. Ini merusak Islam. Orang Islam saja melihatnya jijik dan muak, apalagi
orang lain.
Lha di
(Krapyak) sini ini sudah banyak contoh. Ada Kiai Abdul Qodir, ada Kiai Ali.
Kalau mau yang agak ketat, ada Kiai Zainal. Kalau mau contoh yang gampangan,
ada Kiai Ali. Ada semua contohnya. Orang itu macam-macam. Ada yang maunya
ketat, ada yang maunya enteng. Dan yang seperti ini sudah ada sejak zaman
Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Santrinya macam-macam, ada yang seperti Abu Bakar
Ra., ada yang seperti Umar Ra.
Sahabat Umar Ra.
itu contoh sahabat sangat berhati-hati. Hingga terhadap teman dan saudaranya
sendiri saja keras, hingga sahabat Khalid bin Walid Ra. dipecat dari jabatannya
sebagai Komandan Tentara. Sahabat Abu Bakar Ra. lain, lembut. Pendekatannya
berbeda. Tapi semua itu didasarkan pada rahmat dan kasih sayang. Itu yang
kemudian dilanjutkan dari sejak sahabat, tabi’in dan para ulama hingga sampai
kepada Mbah Hasyim Asy’ari.
Beliau punya
dua orang anak buah yang berbeda: Mbah Bisri Syansuri yang ketat dan Mbah Abdul
Wahab Hasbullah yang gampangan. Warga Nahdliyyin yang sedemikian banyak
akhirnya punya pilihan: yang belum bisa ya ikut Mbah Wahab, yang sudah bisa ya
ikut Mbah Bisri. Tapi manusia yang macam-macam itu, yang ketat maupun
gampangan, mesti dilandasi dengan kasih sayang.
Makanya kalau
saya ditanya tentang kriteria kiai itu apa, maka saya jawab:
الذين ينظرون إلى الأمة بعين الرحمة
“Kiai adalah
mereka yang memandang umat dengan pandangan rahmat.”
Mereka ini hanya
meniru Kanjeng Nabi Muhammad Saw., yang beliau itu:
عَزِيزٌ عَلَيْهِ
مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Berat terasa
olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu,
amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS.
at-Taubat ayat 128).
Tapi yang
namanya meniru Kanjeng Nabi itu ya tidak mungkin bisa persis meniru semua
seperti Nabi. Kalau sama persis nanti dikira ada nabi kembar. Ada yang meniru
cara peribadatannya; ada yang meniru model perjuangannya; ada yang meniru cara
dakwahnya. Meniru apa saja. Kanjeng Nabi itu hebat dalam bidang apa saja:
termasuk saat menjadi panglima.
Jadi, meskipun
orang itu pakai sorban sebesar ban truk, jenggotnya puanjang hingga pusar, tapi
tidak punya belas kasih kepada umat, maka saya tidak sudi memanggilnya kiai.
Sebaliknya, meskipun orang itu tidak berpenampilan kiai, tapi punya belas kasih
kepada umat, maka dia itu kiai.
Sama halnya
bila ada orang yang merasa pinter, dan menyatakan bahwa orang yang ber-Islam
itu harus dengan merujuk langsung pada al-Quran dan al-Hadits. Ini orang yang
juga tidak punya belas kasih terhadap orang awam. Bagaimana mungkin, sementara
dia saja tidak becus membaca al-Quran, dan belum tentu paham dengan apa yang
dibacanya.
Orang Arab
sendiri belum tentu paham bila membaca al-Quran secara langsung. Sampeyan
bandingkan dengan kiai-kiai zaman dahulu, seperti Imam Syafi’i dan sesudahnya,
yang mereka membuat buku-buku praktis semisal Sullamut Taufiq, Safinatun
Naja, maupun Taqrib. Ulama seperti mereka itulah yang pantas
mengkaji dasar al-Quran dan al-Hadits secara langsung. Tidak sembarangan. Jadi
orang-orang awam tinggal mengikut buku-buku praktis yang sudah dibuat, daripada
jika mereka disuruh melihat al-Quran sendiri, tentu akan malas. Beliau-beliau
para ulama itulah, dengan dilandasi kasih sayang, membantu orang awam dalam
memahami Islam.
Dengan melihat
istiqomahnya Kiai Zainal dalam ibadah, mengajar dan membimbing santri, paling
tidak kita bisa tahu dan mencontoh bagaimana perilaku Nabi. Kita tidak perlu
melihat Nabi secara langsung. Saya sendiri kadang melamun, seumpama saya hidup
di masa Nabi, tentu saya merasa enak, karena tidak perlu membaca al-Quran,
tidak perlu belajar banyak, sebab melihat sendiri sudah ada ‘al-Quran
berjalan’. Jadi kalau mau perlu apa-apa tinggal melihat Nabi; Bagaimana membina
persaudaraan yang baik melihat Kanjeng Nabi, bagaimana memimpin ummat yang baik
melihat Kanjeng Nabi, bagaimana perjodohan yang baik ya melihat Kanjeng Nabi, bagaimana
bergaul dengan orang tua melihat Kanjeng Nabi, bagaimana bergaul dengan anak
muda melihat Kanjeng Nabi.
Semuanya tidak
perlu membuka al-Quran dan tinggal melihat Kanjeng Nabi. Tapi kemudian tersirat
pikiran waras saya, ya kalau saya ditakdirkan ikut Kanjeng Nabi. Kalau ternyata
saya ditakdirkan ikut Abu Jahal?! Maka tak perlu melamun hidup di zaman Nabi.
Kita hidup sekarang di zaman akhir seperti ini juga tidak apa-apa asal kita
masih ikut dengan tuntunan Kanjeng Nabi.
Jadi semakin
lama kita itu semakin sulit mencari contoh. Kalau kita rajin membaca al-Quran,
mengerti maknanya al-Quran, maka tak mengapa bila kita tak usah cari contoh.
Kita tidak perlu banyak contoh bila kita sudah rajin membaca al-Quran dan mengetahui
makna al-Quran. Tapi yang terjadi; kita sudah tidak punya contoh, membaca
al-Quran pun hanya ketika bulan Ramadhan, itupun bacanya ngebut.
Kenapa kalau
membeli televisi atau sepeda motor kita tak perlu membaca buku panduannya?
Padahal membeli barang-barang seperti itu pasti ada buku tebal sebagai
panduannya: kalau mau menghidupkan, tekan tombol yang bertuliskan “power”;
bagaimana caranya memindah channel. Tapi saya yakin, panjenengan itu beli tivi
atau motor tanpa pernah membaca buku panduannya. Lha kok bisa tahu dari mana?
Ya, karena panjenengan sudah sering melihat orang menghidupkan tivi.
Demikian juga
dulu para sahabat. Meskipun tidak membaca buku panduan, tapi mereka melihat dan
meniru Kanjeng Nabi. Sesudah Kanjeng Nabi tidak ada, ya harus melihat para
sahabat sebagai murid-murid Kanjeng Nabi, dan seterusnya, sebagaimana
diperintahkan oleh Kanjeng Nabi :
أصحابي كالنجوم،
بأيهم اقتديتم اهتديتم
“Sahabat-sahabatku
bagai bintang gemintang. Dengan siapapun diantara mereka kalian berpegang,
kalian akan mendapat petunjuk.”
Demikian,
semoga kita semua mendapatkan barokah Kiai Zainal, menjadi orang yang sholeh. (Ditranskip
oleh KH. Hilmy Muhammad atas mauidzah KH. Musthofa Bisri (Gus Mus) Pesantren
Roudhotut Tholibin Leteh Rembang, yang disampaikan dalam tahlilan almarhum KH.
Zainal Abidin Munawwir di Krapyak Yogyakarta, Senin 17 Februari 2014 M./16
Robi’uts Tsani 1435 H. Sumber asal: http://www.santrijagad.org/search/label/Teladan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar