Halaman

Sabtu, 01 Maret 2014

Nasehat Buat MUI; Polemik Sertifikasi Halal MUI





Sekarang saya ada sedikit waktu soal gonjang-ganjing sertifikat halal. Saya mencoba memahami soal ini dari data yang saya punya dan mencoba bersikap netral.

Tahun 1988, tulisan Tri Susanto dalam Buletin Canopy, Universitas Brawijaya melansir makanan dan minum yang beredar mengandung keharaman. Dampak dari artikel ini, 80% pasar makanan dan minuman turun, terutama di Jatim dan ini meresahkan secara ekonomi. Peristiwa ini dibaca oleh MUI:

1.      Umat Islam butuh informasi masalah halal.
2.      Ternyata hal halal dan haram determinan dalam mempengaruhi pasar.

MUI mengambil inisiatif mendirikan lembaga pengkajian pangan pada tahun 1989, dengan modal yang keinginan ikut melerai masalah halal dan haram.

Orang-orang yang menjadi pengurus LPPOM awal adalah orang kompeten, terutama dari kalangan terpelajar terbuka, modernis dan rata-rata alumni HMI. Mereka misalnya Dr. Amin Aziz, Prof. Jimly dan seorang ahli fiqih dari Muhammadiyah dan guru besar IAIN Jakarta, Prof. Peunoh Daly. Tugas LPPOM yang mereka rumuskan pun lumayan bagus:
a.       Melakukan studi dan riset soal makanan, minuman dan obat-obatan.
b.      Menformulasikan konsep produksi, komodifikasi dan utilisasi produk yang dikonsumi masyakarat.
c.       Menformulasikan soal aturan bagi restoran dan hotel, dll.

LPPOM mengambil inisiatif ini semua karena negara tidak mengambil tindakan serius. Kekosongan ini dimanfaatkan oleh MUI. Akhirnya LPPOM berdiri dan memulai kerjanya dengan sederhana, dari kecil dan juga banyak rintangan dan hambatan.

Pendirian LPPOM oleh MUI secara teoritis bisa justifiable:
a.       Orang Islam berhak memiliki informasi soal barang yang dimakannya dan informasi ini seharusnya diberikan pihak produsen dan karena soal halal dan haram belum diatur UU, maka sebagai lembaga umat Islam, MUI boleh menuntut masalah ini.
b.      Legitimasi agama, orang Islam wajib makan barang halal, studi antropologi banyak mengupas soal halal (purity) dan impurity dimana watak orang beragama selalu mencari dan memastikan hal yang dikonsumsi harus tidak menghalangi hubungan mereka dengan Tuhan.

Saya kutipkan Mary Douglas, antropolog kelas kakap, penulis buku “Purity and Dangers: An Analysis of Concepts of Pollution and Taboo”, “holiness and impurity are at opposite poles,” (kesucian dan ketidakmurnian berada pada sisi yang berlawanan). Mary Douglas berkata, badan kita butuh steril dari “impurity” jika kita ingin dekat dengan Tuhan.

Ahli lain, Douglas Davies, dari proyek riset tentang purity dan impurity Universitas Heidelberg yang besar sekali, berkata, mengapa orang beragama rewel sekali soal masalah halal dan haram karena masalah ini berkaitan dengan soal supernatural presence.

Studi yang saya kemukakan di atas bukan dilakukan di kalangan Muslim, namun di kalangan non-Muslim. Apa yang mau saya katakan soal pengaturan halal dan haram itu fenomena universal. Masalahnya yang krusial bagi kita mungkin “siapa yang berhak mengatur”? Di sinilah lalu peran yang dimainkan MUI menjadi bermasalah terutama upaya monopolinya dalam mengeluarkan sertifikat yang tidak bermandat hukum.

Ada sisi lain dari LPPOM ini, ketika masih kecil, orang mencuekkan dan bahkan meremehkan. Kini ketika menjadi kuasa, kita bingung. Dalam negara yang demokratis, kelompok civil society harusnya ikut bertarung dalam masalah ini. Muhammadiyah tidak tertarik, NU baru tertarik dengan masalah ini ketika LPPOM sudah begitu kuat menancapkan kuasanya.

Menurut data terakhir MUI, barang yang sudah diberi sertifikat sebanyak 75,514 (import dan eksport) dengan kisaran biaya 2.5-5 juta perproduk. Ini jumlah yang tidak sedikit dan mengalami petumbuhan 100% dari tahun ke tahun. 2009 berjumlah 10,550, thn 2010 berjumlah 21,837. Menariknya, ini semua terjadi ketika mandat hukum bagi LPPOM untuk sertifikasi tidak jelas, alias voluntarily. Jika dalam keadaan suka rela ini peran LPPOM begitu kuatnya, apalagi ketika punya mandat hukum. Ini soal legal ignorance.

Bagi masyarakat Islam yang tidak puas sebetulnya bisa mempermasalah ini, namun sekali lagi, ormas Islam kita saling bertenggang rasa. Lalu di mana letaknya jika skandal itu mungkin terjadi? Saya tidak berminat bicara kasus yang diangkat Tempo, karena saya tidak memiliki data soal itu. Saya ingin bicara masalah general possiblity saja.

Pada dasarnya, LPPOM mengatur proses pengajuan sertifikat secara jelas, langkah-langkahnya juga jelas, soal tarif juga dipasang jelas. Saya berpendapat upaya ini patut dihargai karena paling tidak LPPOM ingin menjadi halal certifier yang kredibel dan bekerja secara profesional.

Bukan hanya prosedur, mereka juga punya experts dan alat pembuktian yang berupa laboratorium disamping mufti. Mereka bekerja bukan asal stempel, tapi ada proses verifikasi dan halal audit dan deliberasi lewat lembaga fatwa. Kurangnya, mereka tidak terbuka, tidak mengumumkan ke publik kerjaan mereka. Ini salah dalam konteks negara demokrasi.

Pihak MUI merasa ini bukan masalah yang harus diketahui, tapi perasaan MUI seperti ini harus dikoreksi, karena publik bukan client. Pandangan demikian salah, harus dikoreksi, publik berhak tahu apapun yang mereka kerjakan, terutama MUI adalah khadimul ummah. Jangan tunggu masyarakat ingin tahu baru diberi tahu, tapi kasihtahulah masyarakat sebelum mereka ingin tahu, prinsipnya seperti itu.

Balik lagi, masalah skandal bisa terjadi dalam banyak tingkatan proses pengurusan sertifikat halal. Saya pernah interview dengan pihak tertinggi di MUI soal komplain high cost sertifikasi halal ini, MUI tahu komplain ini. Narasumber saya menjawab, biaya tinggi terjadi karena pihak produsen menggunakan jasa pihak ketiga, terutama lawyer (law firm).

Mereka harusnya berurusan dengan LPPOM secara langsung, datang dan daftar sendiri, tidak usah pakai jasa law firm. Namun demikian, kesalahan juga pada pihak LPPOM, jika mereka tahu bahwa bisa terjadi biaya tinggi karena itu law firm, maka harusnya LPPOM membuat aturan jika pengurusan akta halal harus dilakukan oleh produsen dan tidak boleh memakai jasa pihak ketiga.

Jika aturan ini tidak diberlakukan setelah melihat kelemahan, maka LPPOM melakukan pembiaran dan di sinilah skandal bisa terjadi. Celah skandal lain bisa terjadi dalam proses halal audit. Halal audit ini membutuhkan pengliatan secara langsung pada proses produksi. Halal audit sendiri adalah langkah yang profesional, namun menjadi tidak profesional karena kunjungan ini bisa dijadikan alat berunding honorarium dan lump sum yang menurut saya kecil bagi auditor.

Namun pengakuan di koran dari pihak LPPOM, pihak produsen yang menyediakan ongkos jalan. Saya belum tahu mana yang bener lalu. Tapi, dalam audit visit ini kemungkinan bisa banyak terjadi; dari pihak MUI bisa membawa otoritas mereka dari pihak produsen bisa menawarkan fasilitas karena mereka ingin proses sertifikasi berjalan lancar dan aman-aman saja dan mereka siap menyediakan kompensasi untuk itu. Harusnya LPPOM meniru KPK, membuat aturan, jika pihak auditor tidak boleh menerima traktiran apapun, baik sifatnya materi maupun non materi. Audit visit ke luar negeri lebih memungkinkan terjadinya skandal. Biasanya ini terjadi pada halal certifier di luar negeri.

Perlu diketahui, di Negara-negara maju seperti Jerman, Australia, Amerika dll, mereka ada food certifier agencies yang bekerja untuk produsen-produsen produksi mereka ke negara Muslim. Mereka ini bekerja dengan local certifier negara tujuan. Pola kerjanya foreign halal certifier akan menghubungi local certifier yang otoritatif dan legal yang menjadi tujuan dagang mereka. Untuk Indonesia, mereka berhubungan dengan MUI. Mereka minta agar MUI memberikan hak mensertifikasi produk di negara mereka yang akan dijual di Indonesia. Untuk memberikan itu, LPPOM aturannya dan salah satunya adalah verifikasi dan audit lembaga-lembaga pemberi sertifikat di luar negeri tersebut.

Di Jerman, yang saya ketahui, LPPOM memiliki tiga partner. Untuk verifikasi dan audit visit ke luar negeri ini biasanya yang berangkat adalah para pemimpin MUI. Cara ini harus dikaji ulang. Pihak foreign halal certifier biasanya melayani mereka dengan baik dengan harapan layanan baik itu mempermudah proses sertifikasi bagi mereka. Mereka harus maksimal karena jika mereka gagal mendapat mandat dari LPPOM, maka mereka kehilangan pasar yang luar biasa. Clients mereka bukan perusahaan tanggung-tanggung, tapi perusahaan multinasional.

Sekali lagi, jika proses ini tidak diatur secara terbuka dan jelas, skandal dan penyalahgunaan sangat bisa terjadi. Saya berharap MUI terbuka dengan masalah ini ke publik dengan secara terbuka. Jika MUI tidak mau terbuka, publik bisa melakukan class action. MUI tidak boleh melindungi oknumnya yang melakukan mal praktik, jangan korbankan MUI untuk kepentingan oknumnya. Selain itu, negara harus mengambil jalan penyelesaian atas masalah ini, terutama soal siapa yang berhak mengeluarkan sertifikat.

Buat saya, sertifikat tidak boleh dimonopoli oleh satu lembaga dan peran negara membuat regulasi umum soal prasyarat-prasyarat menjadi certifier. MUI harus menghentikan wacana bahwa mereka yang paling berhak. Wacana ini dengan alasan apapun tidak masuk akal dan lucu. MUI harus menerima jika lembaga-lembaga lain melakukan sertifikasi halal seperti NU dan Muhammadiyah. Bagaimana dengan sejarah dan investasi MUI dalam hal ini? Tetap sejarah dan investasi harus dihargai dengan tetap memberi izin buat MUI untuk menjadi salah satu halal certifier dari pelbagai halal certifier yang ada.

Dari sudut fiqih dan usul fiqih, beragama mufti tidak ada masalah pula. Umat bisa memilih mufti mana yang perlu dia anggap kredibel. Di Jerman, negara yang punya pengalaman sertifikasi termaju di dunia, peran negara hanya sebatas membuat regulasi saja. Satu bidang kerja dan produk, bisa memiliki puluhan lembaga sertifikasi dan itu bisa berjalan secara baik.

Mari kita mendorong MUI menjadi lembaga agama yang terbuka termasuk pada kritik. Saya melihat cara MUI menanggapi masalah ini justru kontra produktif karena berusaha memainkan isu mayoritas. MUI harus belajar banyak dari pengalaman buruk mereka soal politisasi agama bagi contenders mereka. Semoga MUI ke depan menjadi lembaga yang terbuka, kredibel dan accountable. Sekian.

Sumber: Twitter Gus Syafiq (syafiqhasyim_de)

Sya’roni As-Samfuriy

http://chirpstory.com/li/191618

1 komentar:

  1. Sebenarnya tidak ada masalah biaya sertifikasi halal. Yang tidak elok adalah biaya itu tidak masuk kas negara. Itu saja.

    Ide pemerintah untuk menjadikan MUI semacam BSN dan KAN justru berbahaya. Jika ditempatkan sebagai LEMBAGA AKREDITASI halal seperti KAN, lantas siapa LEMBAGA SERTIFIKASI nya? Jika Lembaga Sertifikasinya seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dsb justru itu merusak ormas saja. Fokus mereka jadi bisnis. bakal runyam kayak waktu masuk politik.

    Jika Lembaga Sertifikasinya adalah swasta, justru lebih gawat lagi. Berkaca dari sertifikasi ISO, jual beli sertifikat dan adanya toleransi2 dari Lembaga Sertifikasi kepada klien berpotensi terjadi. Semua karena persaingan bisnis Lembaga Sertifikasi, agar jasanya digunakan klien. Klien tidak akan mencari Lembaga Sertifikasi Halal yang ketat, saya yakin itu karena bisnisman Indonesia juga bukan orang muslim yang taat semua. Apalagi jika pemilik bukan muslim, tentu sudut pandangnya semakin berbeda dalam memandang Halal.

    Mengawasi kinerja Lembaga Sertifikasi bukan hal mudah. Bahkan KAN saya nilai tidak maksimal mengawasi Lembaga Sertifikasi ISO, apakah MUI mau ikut-ikutan?

    Jangan korbankan umat muslim Indonesia.

    (graduated from Giri 1 TARAZ)www.checklist-magazine.com

    BalasHapus