Sekarang saya
ada sedikit waktu soal gonjang-ganjing sertifikat halal. Saya mencoba memahami
soal ini dari data yang saya punya dan mencoba bersikap netral.
Tahun 1988,
tulisan Tri Susanto dalam Buletin Canopy, Universitas Brawijaya melansir
makanan dan minum yang beredar mengandung keharaman. Dampak dari artikel ini,
80% pasar makanan dan minuman turun, terutama di Jatim dan ini meresahkan
secara ekonomi. Peristiwa ini dibaca oleh MUI:
1.
Umat Islam
butuh informasi masalah halal.
2.
Ternyata hal
halal dan haram determinan dalam mempengaruhi pasar.
MUI mengambil
inisiatif mendirikan lembaga pengkajian pangan pada tahun 1989, dengan modal yang
keinginan ikut melerai masalah halal dan haram.
Orang-orang yang
menjadi pengurus LPPOM awal adalah orang kompeten, terutama dari kalangan
terpelajar terbuka, modernis dan rata-rata alumni HMI. Mereka misalnya Dr. Amin
Aziz, Prof. Jimly dan seorang ahli fiqih dari Muhammadiyah dan guru besar IAIN
Jakarta, Prof. Peunoh Daly. Tugas LPPOM yang mereka rumuskan pun lumayan bagus:
a.
Melakukan studi
dan riset soal makanan, minuman dan obat-obatan.
b.
Menformulasikan
konsep produksi, komodifikasi dan utilisasi produk yang dikonsumi masyakarat.
c.
Menformulasikan
soal aturan bagi restoran dan hotel, dll.
LPPOM mengambil
inisiatif ini semua karena negara tidak mengambil tindakan serius. Kekosongan
ini dimanfaatkan oleh MUI. Akhirnya LPPOM berdiri dan memulai kerjanya dengan
sederhana, dari kecil dan juga banyak rintangan dan hambatan.
Pendirian LPPOM
oleh MUI secara teoritis bisa justifiable:
a.
Orang Islam
berhak memiliki informasi soal barang yang dimakannya dan informasi ini
seharusnya diberikan pihak produsen dan karena soal halal dan haram belum
diatur UU, maka sebagai lembaga umat Islam, MUI boleh menuntut masalah ini.
b.
Legitimasi agama,
orang Islam wajib makan barang halal, studi antropologi banyak mengupas soal halal
(purity) dan impurity dimana watak orang beragama selalu mencari dan memastikan
hal yang dikonsumsi harus tidak menghalangi hubungan mereka dengan Tuhan.
Saya kutipkan
Mary Douglas, antropolog kelas kakap, penulis buku “Purity and Dangers: An
Analysis of Concepts of Pollution and Taboo”, “holiness and impurity are at
opposite poles,” (kesucian dan ketidakmurnian berada pada sisi yang
berlawanan). Mary Douglas berkata, badan kita butuh steril dari “impurity” jika
kita ingin dekat dengan Tuhan.
Ahli lain,
Douglas Davies, dari proyek riset tentang purity dan impurity Universitas
Heidelberg yang besar sekali, berkata, mengapa orang beragama rewel sekali soal
masalah halal dan haram karena masalah ini berkaitan dengan soal supernatural
presence.
Studi yang saya
kemukakan di atas bukan dilakukan di kalangan Muslim, namun di kalangan
non-Muslim. Apa yang mau saya katakan soal pengaturan halal dan haram itu
fenomena universal. Masalahnya yang krusial bagi kita mungkin “siapa yang
berhak mengatur”? Di sinilah lalu peran yang dimainkan MUI menjadi bermasalah
terutama upaya monopolinya dalam mengeluarkan sertifikat yang tidak bermandat
hukum.
Ada sisi lain
dari LPPOM ini, ketika masih kecil, orang mencuekkan dan bahkan meremehkan.
Kini ketika menjadi kuasa, kita bingung. Dalam negara yang demokratis, kelompok
civil society harusnya ikut bertarung dalam masalah ini. Muhammadiyah tidak
tertarik, NU baru tertarik dengan masalah ini ketika LPPOM sudah begitu kuat
menancapkan kuasanya.
Menurut data
terakhir MUI, barang yang sudah diberi sertifikat sebanyak 75,514 (import dan
eksport) dengan kisaran biaya 2.5-5 juta perproduk. Ini jumlah yang tidak
sedikit dan mengalami petumbuhan 100% dari tahun ke tahun. 2009 berjumlah
10,550, thn 2010 berjumlah 21,837. Menariknya, ini semua terjadi ketika mandat
hukum bagi LPPOM untuk sertifikasi tidak jelas, alias voluntarily. Jika dalam
keadaan suka rela ini peran LPPOM begitu kuatnya, apalagi ketika punya mandat
hukum. Ini soal legal ignorance.
Bagi masyarakat
Islam yang tidak puas sebetulnya bisa mempermasalah ini, namun sekali lagi,
ormas Islam kita saling bertenggang rasa. Lalu di mana letaknya jika skandal
itu mungkin terjadi? Saya tidak berminat bicara kasus yang diangkat Tempo, karena
saya tidak memiliki data soal itu. Saya ingin bicara masalah general possiblity
saja.
Pada dasarnya,
LPPOM mengatur proses pengajuan sertifikat secara jelas, langkah-langkahnya
juga jelas, soal tarif juga dipasang jelas. Saya berpendapat upaya ini patut
dihargai karena paling tidak LPPOM ingin menjadi halal certifier yang kredibel
dan bekerja secara profesional.
Bukan hanya
prosedur, mereka juga punya experts dan alat pembuktian yang berupa
laboratorium disamping mufti. Mereka bekerja bukan asal stempel, tapi ada
proses verifikasi dan halal audit dan deliberasi lewat lembaga fatwa. Kurangnya,
mereka tidak terbuka, tidak mengumumkan ke publik kerjaan mereka. Ini salah dalam
konteks negara demokrasi.
Pihak MUI
merasa ini bukan masalah yang harus diketahui, tapi perasaan MUI seperti ini harus
dikoreksi, karena publik bukan client. Pandangan demikian salah, harus
dikoreksi, publik berhak tahu apapun yang mereka kerjakan, terutama MUI adalah khadimul
ummah. Jangan tunggu masyarakat ingin tahu baru diberi tahu, tapi
kasihtahulah masyarakat sebelum mereka ingin tahu, prinsipnya seperti itu.
Balik lagi,
masalah skandal bisa terjadi dalam banyak tingkatan proses pengurusan
sertifikat halal. Saya pernah interview dengan pihak tertinggi di MUI soal
komplain high cost sertifikasi halal ini, MUI tahu komplain ini. Narasumber
saya menjawab, biaya tinggi terjadi karena pihak produsen menggunakan jasa
pihak ketiga, terutama lawyer (law firm).
Mereka harusnya
berurusan dengan LPPOM secara langsung, datang dan daftar sendiri, tidak usah
pakai jasa law firm. Namun demikian, kesalahan juga pada pihak LPPOM, jika mereka
tahu bahwa bisa terjadi biaya tinggi karena itu law firm, maka harusnya LPPOM membuat
aturan jika pengurusan akta halal harus dilakukan oleh produsen dan tidak boleh
memakai jasa pihak ketiga.
Jika aturan ini
tidak diberlakukan setelah melihat kelemahan, maka LPPOM melakukan pembiaran
dan di sinilah skandal bisa terjadi. Celah skandal lain bisa terjadi dalam
proses halal audit. Halal audit ini membutuhkan pengliatan secara langsung pada
proses produksi. Halal audit sendiri adalah langkah yang profesional, namun
menjadi tidak profesional karena kunjungan ini bisa dijadikan alat berunding honorarium
dan lump sum yang menurut saya kecil bagi auditor.
Namun pengakuan
di koran dari pihak LPPOM, pihak produsen yang menyediakan ongkos jalan. Saya belum
tahu mana yang bener lalu. Tapi, dalam audit visit ini kemungkinan bisa banyak
terjadi; dari pihak MUI bisa membawa otoritas mereka dari pihak produsen bisa
menawarkan fasilitas karena mereka ingin proses sertifikasi berjalan lancar dan
aman-aman saja dan mereka siap menyediakan kompensasi untuk itu. Harusnya LPPOM
meniru KPK, membuat aturan, jika pihak auditor tidak boleh menerima traktiran
apapun, baik sifatnya materi maupun non materi. Audit visit ke luar negeri
lebih memungkinkan terjadinya skandal. Biasanya ini terjadi pada halal
certifier di luar negeri.
Perlu
diketahui, di Negara-negara maju seperti Jerman, Australia, Amerika dll, mereka
ada food certifier agencies yang bekerja untuk produsen-produsen produksi
mereka ke negara Muslim. Mereka ini bekerja dengan local certifier negara
tujuan. Pola kerjanya foreign halal certifier akan menghubungi local certifier
yang otoritatif dan legal yang menjadi tujuan dagang mereka. Untuk Indonesia,
mereka berhubungan dengan MUI. Mereka minta agar MUI memberikan hak
mensertifikasi produk di negara mereka yang akan dijual di Indonesia. Untuk
memberikan itu, LPPOM aturannya dan salah satunya adalah verifikasi dan audit
lembaga-lembaga pemberi sertifikat di luar negeri tersebut.
Di Jerman, yang
saya ketahui, LPPOM memiliki tiga partner. Untuk verifikasi dan audit visit ke
luar negeri ini biasanya yang berangkat adalah para pemimpin MUI. Cara ini harus
dikaji ulang. Pihak foreign halal certifier biasanya melayani mereka dengan
baik dengan harapan layanan baik itu mempermudah proses sertifikasi bagi mereka.
Mereka harus maksimal karena jika mereka gagal mendapat mandat dari LPPOM, maka
mereka kehilangan pasar yang luar biasa. Clients mereka bukan perusahaan
tanggung-tanggung, tapi perusahaan multinasional.
Sekali lagi,
jika proses ini tidak diatur secara terbuka dan jelas, skandal dan
penyalahgunaan sangat bisa terjadi. Saya berharap MUI terbuka dengan masalah
ini ke publik dengan secara terbuka. Jika MUI tidak mau terbuka, publik bisa
melakukan class action. MUI tidak boleh melindungi oknumnya yang melakukan mal
praktik, jangan korbankan MUI untuk kepentingan oknumnya. Selain itu, negara harus
mengambil jalan penyelesaian atas masalah ini, terutama soal siapa yang berhak
mengeluarkan sertifikat.
Buat saya,
sertifikat tidak boleh dimonopoli oleh satu lembaga dan peran negara membuat
regulasi umum soal prasyarat-prasyarat menjadi certifier. MUI harus
menghentikan wacana bahwa mereka yang paling berhak. Wacana ini dengan alasan
apapun tidak masuk akal dan lucu. MUI harus menerima jika lembaga-lembaga lain
melakukan sertifikasi halal seperti NU dan Muhammadiyah. Bagaimana dengan
sejarah dan investasi MUI dalam hal ini? Tetap sejarah dan investasi harus
dihargai dengan tetap memberi izin buat MUI untuk menjadi salah satu halal
certifier dari pelbagai halal certifier yang ada.
Dari sudut
fiqih dan usul fiqih, beragama mufti tidak ada masalah pula. Umat bisa memilih
mufti mana yang perlu dia anggap kredibel. Di Jerman, negara yang punya
pengalaman sertifikasi termaju di dunia, peran negara hanya sebatas membuat
regulasi saja. Satu bidang kerja dan produk, bisa memiliki puluhan lembaga sertifikasi
dan itu bisa berjalan secara baik.
Mari kita
mendorong MUI menjadi lembaga agama yang terbuka termasuk pada kritik. Saya
melihat cara MUI menanggapi masalah ini justru kontra produktif karena berusaha
memainkan isu mayoritas. MUI harus belajar banyak dari pengalaman buruk mereka
soal politisasi agama bagi contenders mereka. Semoga MUI ke depan menjadi lembaga
yang terbuka, kredibel dan accountable. Sekian.
Sumber: Twitter Gus Syafiq (syafiqhasyim_de)
Sya’roni As-Samfuriy
http://chirpstory.com/li/191618
Sebenarnya tidak ada masalah biaya sertifikasi halal. Yang tidak elok adalah biaya itu tidak masuk kas negara. Itu saja.
BalasHapusIde pemerintah untuk menjadikan MUI semacam BSN dan KAN justru berbahaya. Jika ditempatkan sebagai LEMBAGA AKREDITASI halal seperti KAN, lantas siapa LEMBAGA SERTIFIKASI nya? Jika Lembaga Sertifikasinya seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dsb justru itu merusak ormas saja. Fokus mereka jadi bisnis. bakal runyam kayak waktu masuk politik.
Jika Lembaga Sertifikasinya adalah swasta, justru lebih gawat lagi. Berkaca dari sertifikasi ISO, jual beli sertifikat dan adanya toleransi2 dari Lembaga Sertifikasi kepada klien berpotensi terjadi. Semua karena persaingan bisnis Lembaga Sertifikasi, agar jasanya digunakan klien. Klien tidak akan mencari Lembaga Sertifikasi Halal yang ketat, saya yakin itu karena bisnisman Indonesia juga bukan orang muslim yang taat semua. Apalagi jika pemilik bukan muslim, tentu sudut pandangnya semakin berbeda dalam memandang Halal.
Mengawasi kinerja Lembaga Sertifikasi bukan hal mudah. Bahkan KAN saya nilai tidak maksimal mengawasi Lembaga Sertifikasi ISO, apakah MUI mau ikut-ikutan?
Jangan korbankan umat muslim Indonesia.
(graduated from Giri 1 TARAZ)www.checklist-magazine.com