Daftar Isi:
1.
Kelahiran KH. Achmad Masduqi Mahfudz
2.
Nasab dari Ayah
3.
Nasab dari Ibu
4.
Kehidupan Keluarga
5.
Pendidikan Formal
6.
Pendidikan non Formal
7.
Kisah Saat Mondok di Krapyak
8.
Berawal dari Mushalla, Merintis Pesantren Nurul
Huda
9.
Ulama yang Mumpuni Ilmu Agama dan Ilmu Dunia
10. Kyai yang Teguh Berprinsip
11.
Isyarat Kewafatan KH.
Achmad Masduqi Machfudz
1.
Kelahiran KH. Achmad Masduqi Mahfudz
Drs. KH. Ahmad Masduqi Mahfudz dilahirkan di
Desa Saripan (Syarifan) Jepara Jawa Tengah pada 1 Juli 1935. Di desa tersebut,
terdapat sebuah makam kuno yang banyak dikenal orang dengan Mbah Jenggolo.
Alkisah, berkat karomah dari Mbah Jenggolo ini, dulu
ketika baru ada radio dan televisi, siapa saja yang membawa ke desa ini pasti
gila. Penyakit gila ini baru akan sembuh kalau kedua alat elektronik
dikeluarkan dari Saripan. Keadaan seperti ini masih bisa ditemui semasa Kyai
Masduqi masih kecil. Namun perlahan-perlahan seiring dengan perubahan zaman,
karomah ini berangsur surut hingga hilang sama sekali. Melihat lingkungannya
yang seperti itu, ditambah dengan lingkungan keluarga yang taat dan fanatik
terhadap agama serta memiliki semangat juang yang tinggi untuk menegakkan
kebenaran dan menyebarkan agama Allah.
2.
Nasab dari Ayah
Jika dilihat dari jalur keturunan Ayah, tidak
dapat diketahui secara terperinci tetapi yang jelas seluruh keluarga beliau
adalah termasuk orang-orang yang gigih berjuang dalam mensyiarkan agama Allah.
Jalur keturunan ayah ini terputus hingga kakek beliau saja. Kakek beliau ini
termasuk tokoh agama yang disegani dalam lingkungan masyarakat mereka.
Perjuangannya tidak hanya terhadap orang awam saja, melainkan kepada seluruh
lapisan masyarakat bahkan yang jahat sekalipun. Beliau bahkan dengan gigih
menaklukkan orang-orang jahat yang banyak berkeliaran saat itu. Hingga beliau
mampu merubah pola tingkah laku mereka itu menjadi orang yang taat menjalankan
agama Allah.
Semangat jihad, fanatik dan ketaatan
menjalankan agama serta keberanian membela kebenaran ini secara terus-menerus
ditempa dan ditekankan oleh Kyai Machfudz, ayah Kyai Masduqi. Maka tidak heran
bila sifat-sifat tersebut sangat melekat pada diri Kyai Masduqi dalam
menegakkan agama Allah.
3.
Nasab dari Ibu
Bila ditelusuri dari garis keturunan ibu, dapat
dilihat dari Syaikh Abdullah al-Asyik bin Muhammad. Beliau adalah seorang
Jogoboyo dari kerajaan Mataram. Alkisah, salah satu keampuhan beliau
adalah setiap ada marabahaya yang akan mengancam kerajaan, beliau memukul bedug
untuk mengingatkan penduduk cukup dari rumahnya. Suara bedug ini terdengar ke seantero
kerajaan Mataram. Pada makamnya yang terletak di Tayu Pati, tertulis “Makom
niki dipun bangun Bagus Salman bongso jin” (makam ini dibangun Bagus Salman
bangsa Jin).
Dari Syaikh Abdullah al-Asyik inilah menurunkan
nenek KH. Achmad Masduqi Machfudz, yaitu Nyai Taslimah. Di kalangan masyarakat,
Nyai Taslimah sebagai seorang pewaris perjuangan Syaikh Abdullah al-Asyik bin
Muhammad, dikenal sebagai seorang penyebar agama. Di tangannya tidak sedikit
orang yang diislamkan. Mereka yang asalnya belum beragama dengan baik akhirnya
menjadi santri Nyai Taslimah.
Dari pernikahannya dengan Kyai Asmo Dul, Nyai
Taslimah dikaruniai dua orang putri, yaitu Chafshoh dan Masfufah. Beliau juga
mengangkat seorang anak angkat yang bernama Suyuti. Putri beliau yang
pertama, Chafsoh, dipersunting oleh Kyai Machfudz, putra dari Bapak Arso Husein
dengan Ibu Saumi. Dari pernikahan ini, keduanya dikarunia 14 putra-putri.
Mereka ini adalah:
1.
Muainamah (Alm.)
2.
Achmad Fahrurrazi (Alm.)
3.
Khadijah (Alm.)
4.
Achmad Masduqi (Alm.)
5.
Sa’adah (Jepara)
6.
Achmad Said (Alm.)
7.
Sofiyah (Alm.)
8.
Achmad Shohib (Alm.)
9.
Achmad Zahid (Malang)
10. Ahmed Mas’udi
(Jakarta)
11. Achmad Zahri
(Alm.)
12. Achmad Maskuri
(Alm.)
13. Aslihah
(Malang)
14. Achmad Mujab
(Jepara)
Dari keempat belas putra-putri Nyai Chafsoh
ini, tujuh diantaranya meninggal dunia ketika masih kecil dan remaja. Kyai
Masduqi merupakan putra keempat dan merupakan putra sulung yang hidup.
4.
Kehidupan Keluarga
KH. Achmad Masduqi Machfudz dikenal sebagai orang
yang cukup sederhana dalam kehidupan sehari-harinya. Corak kehidupan keluarga
yang beliau bangun sama sekali jauh dari citra kemewahan. Kesederhanaan yang
dicitrakan Kyai Machfudz sangat membias pada keluarga Kyai Masduqi. Terlebih
sejak kecil, Kyai Masduqi sangat gigih dalam menekuni bidang keilmuan terutama
ilmu agama. Salah satu prinsip hidup beliau adalah: “Kalau kita sudah meraih
berbagai macam ilmu terlebih ilmu agama, maka kebahagiaan yang akan kita capai
tidak saja kebahagiaan akhirat, akan tetapi kebahagiaan duniapun akan teraih.”
Dari hasil pernikahannya dengan Nyai Chasinah putri
dari KH. Chamzawi Umar pada 7 Juli 1957 dalam usia 22 tahun, beliau dikaruniau
9 orang anak, yaitu:
1.
Mushoddaqul Umam, S.Pd. Ia lahir di Tarakan
Kalimantan Timur, tanggal 21 Juli 1958. Saat ini di kediamannya di Jl. Danau
Kerinci IV, E15, disamping kesibukan sehari-hari menjadi Wakil Kepala Sekolah
SMU 10 dan pengajar pada MA Al-Maarif Singosari, S1 bahasa Inggris yang pernah
mondok di Pesantren Roudhatut Tolibin Rembang ini, juga merintis majlis ta’lim untuk
orang tua dan siswa SD, SMP, SMU dan mahasiswa.
2.
Muhammad Luthfillah, SE. Ia dilahirkan di
Rembang Jawa Tengah pada tanggal 28 Oktober 1959. Sarjana Ekonomi dari UNIBRAW
yang sebelumnya menempuh pendidikan di Pesantren Roudlotul Tolibin Rembang ini,
saat ini menjadi pengurus PP. Pagar Nusa dan anggota DPRD Jatim dari fraksi
FKB.
3.
dr. Moch. Shobachun Niam SpB-KBD. Ia dilahirkan
di Samarinda Kalimantan Timur pada 25 Agustus 1961, sambil berdinas di RSU
Polmas Sulawesi, alumnus Pesantren Roudlotut Tolibin Rembang ini juga menjadi
pengurus wilayah NU Sulawesi Selatan.
4.
M. Taqiyyuddin Alawiy, dilahirkan di Malang
pada 8 April 1963. Setelah menyelesaikan studi di Pesantren Al-Anwar Sarang
Rembang, ia meneruskan studi di Fakultas Tehnik UNISMA Malang. Saat ini,
disamping menjadi dosen di Institusi yang sama, juga menjadi Rais Syuriah MWC
Kedung Kandang Malang.
5.
Dra. Roudlotul Hasanah, dilahirkan di Malang
pada 8 Maret 1965. Setelah mondok di Pesantren Tambakberas Jombang, ia memperoleh
gelar Sarjana Bahasa Inggris di IAIN Malang (sekarang UIIS). Dalam kesehariaannya
mengajar di MTSN Sepanjang Gondalegi Malang, juga menjadi salah seorang tenaga
pengajar pada Pesantren Nurul Huda Malang.
6.
Isyroqunnadjah, M.Ag., dilahirkan di Malang
pada 18 Februari 1967. Ia menyelesaikan studi S2 di PPS IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta. Saat ini alumnus Pesantren Lirboyo Kediri ini, disamping menjadi
Ketua Program Bahasa Arab pada UIIS, juga menjadi wakil sekretaris Rabithah Ma’ahidil
Islam, Cabang Malang.
7.
Dra. Badiatus Shidqoh, dilahirkan di Malang
pada 11 April 1968. Saat ini alumnus Pesantren Tambakberas Jombang ini menjadi
tenaga pengajar pada STIE Malangkucecwara Malang.
8.
Fauchatul Fithriyyah. S.Ag. dilahirkan di
Malang pada 25 Agustus 1970. Ia memperoleh gelar sarjana di STAIN Malang
(sekarang UIIS) setelah sebelumnya mondok di PP. Maslakul Huda Kajen Pati
Jateng. Kesibukannya yaitu mengelola beberapa TPQ binaan Pesantren Nurul Huda,
juga menjadi tenaga pengajar pada Pesantren Nurul Huda Malang.
9.
Achmad Shampton Masduqi, SHI. Ia dilahirkan di
Malang pada 23 April 1972. Selepas SMP ia mondok di Pesantren Lirboyo Kediri
dan beberapa pesantren di sekitar Kediri. Memperoleh gelar sarjana di STAIN
Malang (sekarang UIIS), saat ini menjadi khodim Pesantren Nurul Huda.
Sebelum memasuki dunia perkuliahan seluruh
putra dan putri beliau tanpa kecuali diharuskan mengenyam pendidikan di
pesantren. Ini merupakan prinsip yang ditanamkan Kyai Masduqi kepada para putra-putrinya.
Dari pengalaman mengaji di pesantren ini, meskipun background pendidikan putra-putri
beliau beragam, mereka mampu menjalankan amanah dakwah di tengah-tengah
masyarakat.
5.
Pendidikan Formal
KH. Achmad Masduqi Machfudz terlahir di
tengah-tengah keluarga religius yang taat dan fanatik terhadap agama Islam.
Sehingga sejak kecil beliau sudah dihiasi dengan tingkah laku, sikap dan
pandangan hidup ala santri. Karena itu pula, Kyai Machfudz orangtuanya, tidak
menghendaki Kyai Masduqi kecil untuk bersekolah di sekolah umum, cukup di
sekolah agama saja.
Tetapi larangan ini tidak mematahkan semangat
Kyai Masduqi kecil untuk mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan yang tidak
terbatas hanya di bidang agama saja. Dengan semangat tinggi, Kyai Masduqi
menimba ilmu di pesantren dan sekolah umum dengan biaya sendiri dengan
menyempatkan berkeliling menjual sabun dan kebutuhan yang lain tanpa
sepengetahuan kyai atau orangtuanya sendiri.
Adapun pendidikan formal yang telah beliau
selesaikan antara lain:
1.
Sekolah Rakyat di Jepara (1942-1948)
2.
SMP di Jepara (1950-1953)
3.
Sekolah Guru Hakim Agama/SGHA di Yogyakarta (1953-1957)
4.
IAIN Sunan Ampel Malang (1962-1966)
5.
IAIN Sunan Ampel Malang program doktoral (1975-1977).
Ketekunan, keuletan dan semangat juang yang
tinggi, Kyai Masduqi akhirnya mampu meraih berbagai macam ilmu pengetahuan baik
di bidang agama maupun pengetahuan umum.
6.
Pendidikan non Formal
KH. Achmad Masduqi Mahfudz sejak berusia 5
tahun tepatnya pada tahun 1939 sudah disekolahkan di madrasah ibtidaiyah di
kampungnya yang pada waktu itu dikenal dengan istilah “Sekolah Arab”, karena di
sini pelajarannya semua berbahasa Arab. Beliau belajar di sekolah ini selama
kurang lebih lima tahun yaitu dari tahun 1939-1944. Di sinilah beliau mulai
mempelajari dasar-dasar berbahasa Arab dan agama Islam.
Kemudian setelah beliau menyelesaikan
sekolahnya dan mempunyai dasar yang cukup, beliau meneruskan belajarnya di Pondok
Pesantren Jepara. Di sini beliau belajar kurang lebih selama 8 tahun, yakni
dari tahun 1945 - 1953, dan menyelesaikan Madrasah Tsanawiyah pondok selama 3
tahun.
Pondok Pesantren Jepara ini diasuh oleh Kyai
Abdul Qadir, di sini beliau belajar ilmu-ilmu alat yakni nahwu dan sharaf,
fiqih, tauhid dan lain-lain. Karena beliau belajar di sini sudah cukup lama,
maka tidak heran jika ilmu-ilmu tersebut sedikit banyak telah beliau kuasai.
Setelah menyelesaikan pelajarannya di pondok
pesantren Jepara, beliau masih merasa belum cukup ilmu pengetahuan agamanya,
dan akhirnya beliau pergi untuk belajar di Pondok Pesantren Krapyak.
7.
Kisah Saat Mondok di Krapyak
“Aku heran dengan cara Mbah Ali mendidikku.
Pada mulanya aku disuruh sorogan Ta’limul Muta’allim. Belum sampai khatam sudah
disuruh ganti Taqrib. Baru selesai bab haji disuruh ganti kitab lain lagi.
Begitu seterusnya aku gonta-ganti kitab tanpa satu pun mengkhatamkannya.
Rasanya manfaat yang kuperoleh bukan terutama dari kitab yang kubaca, tapi
karena sering memandangi wajah Mbah Ali saja.”
Kiyai A. Masduqi Machfudh (Pengasuh PPSSNH
Malang), Rais Syuriyah PBNU, menceritakan bahwa Mbah Ali memiliki maziyah
(keistimewaan) bisa mentransfer ilmu tanpa mengajar secara verbal. Pada waktu
pertamakali datang ke Krapyak –mungkin sekitar tahun 50/60-an, Santri Masduqi
diajak mengikat janji oleh Mbah Ali: “Kalau kamu sanggup tinggal di pondok
nggak pulang-pulang sampai tiga tahun penuh, kujamin kamu akan jadi lebih alim
ketimbang yang sudah mondok 15 tahun tapi bolak-balik pulang”, begitu
akadnya.
Santri Masduqi benar-benar melaksanakan akad
itu. Pada akhir tahun ketiga, barulah ia pamit pulang. Sebelum
mengijinkan, Mbah Ali meraih tangan Santri Masduqi dan membawanya ke meja makan:
“Ayo makan bareng aku”, kata beliau.
Tapi ketika Santri Masduqi hendak meraih
centong nasi, Mbah Ali melarangnya: “Kamu duduk saja!”
Lalu tanpa terduga beliau mengambilkan nasi
untuk santrinya itu, meladeninya dengan sayur dan lauk-pauk hingga minuman
sesudah makan, seolah Mbah Ali-lah yang menjadi khadam.
“Sejak saat itu”, kisah Pakdhe Masduqi, “tak ada kitab yang
sulit bagiku. Setiap ada lafadz yang tak kuketahui maknanya, seperti ada yang
membisiki telingaku, member tahu artinya…”
Aku percaya pada Pakdhe Masduqi, walaupun
barangkali beliau menceritakan ini sekedar untuk membesarkan hatiku ketika
beliau ta’ziyah meninggalnya ayahku. Mungkin juga aku percaya karena terdorong
ketidakpahamanku akan metode pendidikan Mbah Ali. Setiap santri seolah
diperlakukan khusus, dengan cara yang berbeda dari lainnya. Sepupuku yang
sekamar denganku tidak cukup disuruh menulis saja. Ia diperintahkan ngeblad
tulisan kitab. Santri lain disuruh mengumpulkan maqolah-maqolah dari berbagai
kitab. Seorang santri baru malah diperlakukan dengan “sangat demokratis”.
“Kamu sorogan ya, Nak”, kata Mbah Ali kepada anak yang baru lulus SD
itu.
“Sorogan itu apa, Mbah?”
“Setiap habis Shubuh kamu baca kitab di depanku”, Mbah Ali sabar.
“Kitab itu apa, Mbah?” Kuper nian anak itu.
“Kitab itu ya buku.”
“Yang dibaca buku apa?”
“Terserah kamu…”
Pagi itu, di tengah membaca kitabku di hadapan
Mbah Ali yang dirubung santri-santri, aku kaget oleh suara lantang anak baru di
sebelahku: “Pulau Buton menghasilkan aspal…!”
Kulirik “kitab” yang dipegangnya: PELAJARAN
GEOGRAFI KELAS I SMP! (Terong Gosong, digagas oleh mantan juru bicara
Presiden RI era Abdurrahman Wahid, KH. Yahya Cholil Staquf).
8.
Berawal dari Mushalla, Merintis Pesantren Nurul
Huda
Sejak tahun 1957 beliau mengajar di berbagai
sekolah di Kalimantan, seperti di Tenggarong, Samarinda dan Tarakan.
Tahun 1964 melanjutkan studi di IAIN Sunan
Ampel Malang, sekaligus sebagai dosen Tadribul Qiraah (Bimbingan Membaca
Kitab), bahasa Arab, akhlak dan tasawuf. Di tengah kesibukan sebagai dosen dan
pengasun pesantren, beliau “melayani” pengajian di berbagai masjid di daerah
Malang dan Jawa Timur terutama yang sulit dijangkau oleh kebanyakan dai,
mubaligh dan kyai.
Pemahamannya terhadap kitab gundul sangat
dalam, baik ketika dalam pembahasan masalah di forum Majlis al-Bahtsi wa al-Muhadlarah
ad-Diniyyah, kodifikasi hukum Islam, bahtsul masail, maupun tanya jawab hukum
Islam pada majalah Aula. Sehingga jabatan Katib Syuriyah selama 15 tahun, Rois
II Syuriyah sejak 1985, dan Rois Syuriyah PWNU Jawa Timur hingga 2007 sangat
tepat baginya.
Pesantren
Nurul Huda yang dirintisnya bermula hanya sebuah mushalla kecil yang berada di
Mergosono gang 3B. Mushalla yang sebelumnya sepi oleh aktivitas ibadah mulai
digalakkan semenjak ia berdomisili di situ ketika meneruskan pendidikannya di
IAIN Sunan Ampel Cabang Malang.
Karena
keahliannya dalam bidang agama, banyak mahasiswa yang nyantri kepadanya dan
kemudian terus ia semakin dikenal dan semakin banyak orang belajar agama sampai
akhirnya mushalla kecil tersebut menjadi pesantren yang sesungguhnya.
Uniknya,
dalam pendirian pesantren yang saat ini berlantai 3 itu, KH. Achmad Masduqi
Mahfudz belum pernah meminta sokongan dari masyarakat sedikitpun. Beliau hanya
mengandalkan dengan amalan bacaan shalawat sebanyak 10.000 kali. Dengan berkah
shalawat itulah beliau memohon kepada Allah untuk pesantrennya dan putra-putrinya.
Keampuhan shalawatnya terbukti dengan berdirinya Pesantren Nurul Huda yang megah
serta kesemua anaknya berhasil lulus sarjana.
9.
Ulama yang Mumpuni Ilmu Agama dan Ilmu Dunia
Beliau
merupakan salah satu ulama yang mumpuni dan dalam memberikan materi tidak
monoton tapi dari satu materi bisa menjabarkan luas. Jamaah pun menyimak dengan puas dan semua bisa menerima
materi yang disampaikannya. Karena cara penyampaiannya mengikuti
tingkat kemampuan jamaahnya.
Pengetahuan
yang beliau miliki sangat luas tidak saja dalam masalah ukhrawi tapi juga duniawi,
termasuk masalah teknologi, sosial budaya dlsb.
Di Malang
dekade tahun 80/90-an ada beberapa kyai yang memiliki kesamaan dalam memberikan
materi seperti beliau, seperti Kyai Durajak (KH. Abdurrazaq), Kyai Nabrawi
Kasin dan Kyai Mahfudz Blimbing (KH. Mahfudz Asasi).
Masih
ingat jelas, tahun 90-an beliau mengajar di Masjid Qudsi Malang. Kelihatan beliau
nampak letih dan menyampaikan materi kitab Irsyadul ‘Ibad nampak lelah
(mungkin hari itu jadwal beliau sangat padat). Takmir masjid berinisiatif menukar
air putih dengan
kopi dan disediakan tegesan (asbak). Kontan wajah beliau sumringah
dan “clinggg...” beliau menyalakan korek zipponya. Akhirnya beliau menyampaikan
materinya dengan semangat dan jamaah menerimanya dengan suka cita. (Penuturan
Ustadz Didik Isnanto).
10. Kyai yang Teguh Berprinsip
Al-Maghfurlah KH. Achmad Masduqi Mahfudz in Memoriam. Ketika seorang santri membela kiainya dari berbagai serangan kiri-kanan, apa yang diharapkan nanti dari doanya?
Dalam Muktamar NU di Solo tahun 2004, KH. Masduqi Mahfudz diserang anak-anak muda liberal sebagai kiai jumud dan anti-progresif. Pasalnya, sang kiai kharismatik ini menolak hermeneutika dan Islam liberal masuk dalam agenda Muktamar.
Saya lalu membela sang kiai dalam forum Muktamar itu. Lalu saya tuangkan dalam buku “Islam Pascakolonial” di bab 7, pas buku ini terbit di tahun 2005. Waktu membela beliau itu, doa saya hanya satu: “Ya Allah mudahkanlah saya membaca khazanah keilmuan pesantren dalam literatur-literatur bahasa Belanda dari abad 16 hingga abad 20. Semoga, ketika sang kiai bertemu Sang Khaliqnya, beliau bisa menyampaikan doa saya tersebut ke sana dan didengar oleh para malaikat,” kenang KH. Ahmad Baso, sang muallif Pesantren Studies.
11. Isyarat Kewafatan KH. Achmad Masduqi Machfudz
Gus Ahmad Mundzir
menceritakan tentang kesaksiannya di detik-detik mangkatnya KH. Achmad Masduqi Mahfudz.
Saat itu KH. Masduqi sedang dirawat di RS Saiful Anwar. Beliau berkata dalam
keadaan setengah sadar, bahwa beliau diajak rapat sama Gus Dur.
Kemudian
ibu bertanya: “Wonten nopo Bah?” (Ada apa Bah).
Jawab
KH. Masduqi: “Aku diajak rapat iki, ambek Gus Dur. (Saya sekarang diajak
rapat sama Gus Dur). Maafkan
Abah bila ada salah. Bagi yang merasa mempunyai hak adami atas Abah,
saya dan saudara-saudara bersiap menanggungnya, sampaikan kepada kami.”
Sebelumnya,
dalam kondisi masih sakit, KH. Achmad Masduqi Mahfudz berkata kepada putranya: “Setelah
7 harinya Mbah Sahal, akan ada barisan mergosono.” Ternyata barisan mergosono
itu adalah mu’azziyin (para pentakziah).
Akhirnya KH.
Achmad Masduqi Machfudz wafat pada hari Sabtu, tanggal 1 Maret 2014 sekitar pukul
17.27 WIB di Rumash Sakit Saiful Anwar Malang. Lahu al-Fatihah… (Dari
berbagai sumber).
Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 03 Maret 2014
Al fatikha .
BalasHapusAlhamdulillah saya bisa khidmah ke beliau, ya walau cuma nyetir buat ndere'aken beliau...
BalasHapusSaya minta doa semoga saya diakui santri oleh beliau ....