Jika Willy Surendra, menulis dalam puisinya “Dalam
kalbu yang murni, usia cinta lebih panjang dari usia percintaan”, maka,
Mbah Mun memberikan penjelasan dari sudut pandang yang lain tentang
kelanggengan cinta.
Pernikahan adalah ibadah. Ibadah yang
persyariatannya telah dimulai sejak manusia pertama, Nabiyullah Adam As. dengan
Siti Hawa. Allah sendiri yang menjadi wali Siti Hawa dalam pernikahan pertama
manusia ini. Setiap Nabi dan Rasul juga diperintah oleh Allah Ta’ala untuk
menikah - bahkan, Nabi Isa As. kelak akan kembali turun ke bumi untuk melakukan
pernikahan. Syariat pernikahan lalu disempurnakan melalui risalah yang dibawa
Rasulullah, dan akan terus langgeng hingga di surga.
Pernikahan menjadi contoh suatu ibadah yang
mengandung dua unsur sekaligus, unsur lahir hingga batin, sejak dunia hingga
akhirat. Dengan demikian, berbeda dengan ibadah yang lain, legitimasi syariat
pernikahan tidak mengenal tanggal kadaluarsa. Usianya bahkan lebih panjang
daripada usia sejarah manusia di muka bumi.
Terdapat begitu banyak petunjuk Ilahiyah dan
Nubuwiyah bagi kita untuk memahami bahwa Islam meletakkan pernikahan sebagai
sesuatu yang sakral dan sangat mulia. Dengan menikah seseorang berusaha untuk
menyempurnakan separuh agamanya.
Al-Quran memberi tuntunan bahwa pernikahan
merupakan mitsaqan ghalidza, ikatan yang sangat kuat. Al-Imam al-Bulqini
menyatakan dalam at-Tadrib: “Tak ada akad penghambaan atau ibadah
yang membandingi akad pernikahan setelah akad keimanan.”
Tiap-tiap pasangan semestinya berusaha agar
perjodohan mereka langgeng. Baik laki-laki dan perempuan memiliki persamaan,
yaitu dalam asal penciptaan sebagai manusia dan sama sebagai hamba Allah, serta
sama dalam hak-hak kewargaan mereka dalam masyarakat dan negara.
Persamaan-persamaan semacam ini mesti senantiasa diingat mengiringi kenyataan
bahwa antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan, baik yang secara
kodrati maupun akibat dari proses kebudayaan. Persamaan dan perbedaan itu mesti
dikelola dengan sepenuh pemahaman dan kesadaran. Karena laki-laki dan perempuan
sama maka tak perlu “dibeda-bedakan”. Karena laki-laki dan perempuan juga
memiliki perbedaan, sehingga tak perlu “disama-samakan”. Membeda-bedakan dan
menyama-nyamakan secara berlebihan biasanya lahir karena sikap terlalu
menuntut.
Karena itulah, dalam pernikahan, saling
memahami posisi masing-masing merupakan tugas bersama. Yang sangat perlu
dipahami oleh suami-istri ialah senantiasa memelihara keseimbangan antara hak
dan kewajiban masing-masing. Ini dilakukan dengan kebersamaan, dan rasa kasih
sayang.
Sebaik-baiknya perhiasan adalah istri yang shalehah,
sebaik-baik harta adalah anak yang shaleh-shalehah pula. Inilah kenikmatan
akhirat yang kelak akan dialami keluarga mukmin. Mereka yang telah
berkakek-nenek dan beranak-cucu pasti akan merasakan kebahagiaan yang luar
biasa indahnya manakala seluruh keluarga berkumpul, seperti ketika hari raya.
Maka, kenikmatan serupa yang kelak dianugerahkan di surga oleh Allah Ta’ala
dengan derajat yang berkali-kali lipat.
Boleh-boleh saja mengharap di surga akan
ditemani bidadari atau bidadara. Tapi jika dibandingkan dengan kenikmatan bersama keluarga besar, bidadari dan bidadara
itu nikmatnya seperti snack saja. (Disarikan dari dawuh KH. Maimun Zubair dalam
buku “Nasehat Pernikahan, 9 Guru” Kado dari Mas Nabil Haroen dan Mbak Nina).
Sya’roni
As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 06 Maret 20014
http://vairuzabadie.blogspot.com/2014/01/KH.-Maimun-Zubair-tentang-Cinta-yang-Langgeng.html
0 komentar:
Posting Komentar