Cinta Mbah KH.
A. Masduqie Mahfudz
الضمير بضمير من لا يعرف مرجع الضمير فليس له ضمير
Sosok itu adalah yang dikenal orang sebagai
sosok yang keras, selama hidupnya jarang orang yang mengetahui bahwa dia adalah
orang yang penuh rahmat dan kasih. Beliau sangat sering sekali menampakkan
kasih sayangnya di dalam marahnya, khususnya terhadap orang yang benar ia
cintai.
Di keluarga besar, ia seakan membedakan rasa
kasih yang ditampakkan terhadap setiap putra dan cucunya, tetapi itu adalah
suatu keistimewaan darinya. Seperti kasih Tuhan terhadap Nabi Adam, Ibrahim,
Sulaiman, Ayyub, Muhammad Saw. Cinta terhadap nabi-nabi ini tidak sama, Dia
memberikan cinta yang sesuai terhadap kepribadian khusus para nabi tersebut.
Nabi Adam As. mendapatkan cinta dari Tuhan
berbentuk manusia pertama yang merasakan nikmatnya surga ketika hidup, hingga
turun kedunia untuk menjalankan titahnya sebagai khalifah fil ardh. Nabi
Ibrahim, mendapatkan cintaNya berbentuk orang yang merasakan sisi ketuhanan
melalui aspek ilmiah setelah penantian panjang “pencarian Tuhan”nya hingga
diberi gelar Khalilullah (Kekasih Allah). Sampai Nabi Ibrahim dibakar
dengan api nikmat, diutus menyembelih anaknya sebagai bukti cinta Tuhan
kepadanya.
Nabi Sulaiman As. yang dianugerahi suatu
kerajaan yang konon meliputi seluruh bumi warisan dari ayahnya Daud As. dan menyebarkan
cinta Tuhannya terhadap seluruh makhluk di muka bumi ini hingga semut yang ada
di leng-nya. Nabi Ayyub As. mendapatkan cinta Tuhan dari penyakit yang
dideritanya selama bertahun-tahun hingga ditinggal istri dan sebagian ummatnya.
Tetapi, inilah kisah cinta Tuhan dan hamba,
selalu banyak cerita berkesan di dalamnya. Nabi Ayyub As. diberi kesembuhan
secara ajaib dari air yang telah disiapkan Tuhan kepadanya. Berakhir di Nabi
Muhammad Saw., sosok yang paling dicinta Tuhan. Hingga Allah Swt. pernah
berfirman kepadanya: “Kalau tidak karena engkau, apabila bukan karena engkau
Muhammad, aku tidak akan menciptakan langit dan bumi seisinya.”
Sebuah Love Story yang abadi walau Nabi
Muhammad Saw. telah kehilangan ayah ketika di kandungan, kehilangan ibu ketika
bocah, dilanjut kehilangan kakek, paman yang sangat dicintainya hingga istri
dan anak-anak beliau yang telah kembali mendahului. Ini adalah bentuk cinta
dari Tuhan terhadapnya yang masih bisa dirasa hingga sekarang.
Dia, Mbah Masduqie Mahfudz mencintai seperti
itu, beliau paham siapa yang harus diberikan cinta dengan cinta, cinta dengan
marah, cinta dengan diam. Hanya terkadang orang yang dicinta tidak paham dan
ingin dicinta dengan cara lain tetapi tidak cocok untuknya. Saya adalah sosok
yang mendapat jatah “Cinta dengan Marah” oleh beliau. Jarang beliau memuji, ngelem,
kepada sosok seperti saya beliau paham.
Hingga suatu ketika ketika saya diberi
kesempatan untuk mendaftar beasiswa ke Maroko dan sowan kepada Mbah Masduqie
Mahfudz, di sana bukan puji dan semangat yang saya dapat dan angankan, tetapi
marah yang beliau tampakkan. Mungkin untuk menjadi penyeimbang antara kemauan
belajar dan nafsu beasiswa keluar negeri serta keinginan yang kuat untuk
belajar di sana.
Setelah itu tidak lama berselang ketika ada
acara perkumpulan sufi sedunia di Jakarta, beliau Mbah Masduqie Mahfudz seraya
berujar kepada Ketum PBNU KH. Said Aqil Siroj: “Aku punya cucu yang ingin
kuliah di Maroko, dengar-dengar ada beasiswa dari PBNU?”
Sontak KH. Said Aqil Siroj menjawab: “Iya Kyai.
Kalau bisa saya bantu, saya kasih jatah buatnya.”
Ini suatu bentuk cinta dari beliau yang seperti
bertolak belakang dari apa yang ditampakkan di muka. Akan tetapi di hati jutaan
butir cinta telah bertaburan yang siap disemai. Begitu banyak cinta yang tak
tersampaikan karena orang yang dicinta tidak paham dicintai dan menunutut cinta
yang sama dengan orang lain yang menurutnya dicinta. Sekarang beliau telah
pulang ke tujuan, sudah tidak berjalan lagi didunia, menunggu orang orang yang
dicintainya. (Cerita Gus Vairuzabadie el-Naguib).
Canda Mbah KH.
A. Masduqie Mahfudz
Di kisah yang lain, suatu siang, Ning Nuvisa
Luthfillah Masduqie tiba-tiba ditimbali Eyangkungnya (kakek) di kamar untuk
membenahi kancing baju beliau. Ketika semua terpasang, mata Ning Nuvisa tertuju
pada posisi sare-an (tempat tidur) beliau yang kurang nyaman. “Eyang
posisinya sampun (sudah) PW?” tanya Ning Nuvisa.
“PW iku opo, Nok?” tanya balik Mbah Masduqi Mahfudz.
Sambil meringis-ringis Ning Nuvisa jawab: “PW
niku Posisi Wenak, Eyang.”
Seketika itu beliau langsung memposisikan diri
senyaman mungkin. “Nah, iki wes PW, tapi luwih PW maneh nek kowe jejer
sebelahe Eyang” (Nah, ini sudah PW. Tapi akan lebih PW lagi jika kamu jejer
bersebelahan denganku).
Ning Nuvisa langsung stay di sebelah eyangnya
itu. Mbah Masduqi pun langsung ngendikan: “Nek iku mau PE, Posisi Enak.
Saiki PW, Posisi Wenak, soale disandingi putu sing paling ayu” (Kalau tadi
PE, Posisi Enak. Sekarang PW, Posisi Wenak, karena bersandingan dengan cucu
yang paling cantik).
“Wkwkwk…” seketika orang-orang yang menyaksikannya tertawa
kecil.
Untuk Mbah Masduqie
Mahfudz al-Fatihah…
Sya’roni
As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 08 Maret 2014
0 komentar:
Posting Komentar