Teringat dulu
sewaktu pertama masuk kuliah dan mendapatkan tugas membuat makalah. Pertama
yang menggelayut dalam fikiran adalah: “Bagaimana cara membuatnya? Bagaimana
aku mengetiknya di komputer, sedangkan diajari saja belum. Dlsb.” Tapi mau
tidak mau, karena rasa keingin-bisaanku, akhirnya dengan segala keterbatasan
dan kekurangan kukerjakan makalah itu dengan peluh yang tak sedikit.
Kuputuskan
pergi ke rental komputer yang telah disediakan pesantren. Di situ berjam-jam kuhabiskan
untuk mengetik teks makalah. Tidak masalah meski akhirnya tidak jadi, betapa
tidak berjam-jam lamanya hanya mendapatkan selembar halaman. Bukan hanya itu,
cara ngesave data ke flashdisc saja belum bisa. Eh komputernya tiba-tiba mati, “tamatlah
riwayatku!” sambil kupegang kepalaku yang telah panas.
Esoknya, saya
fotocopy halaman-halaman buku yang dijadikan referensi untuk makalah itu.
Dengan segala cara telah kulakukan, dan saya merasa inilah satu-satunya jalan
terakhir demi selesainya pembuatan satu makalah, mengingat waktu yang mepet.
Kugunting paragraf demi paragraf yang dibutuhkan, dan saya tempel dengan sangat
hati-hati dan serapi mungkin menjadi 7 halaman (batas minimal pembuatan makalah
dengan ukuran spasi 1,5). Lalu saya fotocopy agar tidak terlalu mencolok
guntingan-guntingan itu.
Tentu lucu
sekali, jika saya mengingat itu, karena meski bekas tempelan lem tidak terlalu nampak
tapi font huruf tidak bisa saya rubah dari aslinya. Buku-buku referensi itu
bentuk font huruf maupun ukurannya berbeda-beda, lucu sekali bukan? Tapi harap
dimaklumi, masih tahap belajar!
Setahun berlalu,
masih belum mudah bagiku mengetik suatu naskah di komputer. Datanglah pusingku
yang baru, mandat dari pengurus pusat jam’iyyah memutuskanku menjadi sekretaris
I jam’iyyah dan ketua umum majalah dinding pondok pesantren. “Tamatlah
riwayatku!” Langsung kuberusaha menenagkan dan menghibur diri. Lirihku
dalam hati: “Ini kesempatan besar untukmu. Pondok sudah menyediakan komputer
khusus untuk memudahkan menjalankan tugasmu. Kamu tak perlu lagi repot-repot
pergi ke rental komputer. Teruslah belajar, gratis!”
Hampir setiap
malam kusempatkan waktunya untuk masuk ke dalam kantor dan belajar mengetik di komputer,
tentu juga dalam rangka membuat naskah yang akan diterbitkan di mading dan
surat-surat undangan keperluan jam’iyyah. Alhamdulillah, dalam waktu yang
tidak terlalu lama saya pun sudah merasa terbiasa dengan dunia komputer. Sampai
akhirnya saya pun dinobatkan menjadi ketua umum jam’iyyah, tapi juga sebagai
ketua umum mading pondok pesantren hingga 4 periode. Yang memotivasi saya saat
itu adalah diantaranya dawuh Kyai: “Wakullu syai-in minal kulino”, (Kunci)
segala sesuatu itu karena terbiasa.
Tatkala saya
sowan menghadap kepada kyai pengasuh pesantren, KH. Rofi’i Ya’qub, untuk
berpamitan, yang saya mohon hanya satu: “Kyai, mohon izinkan saya untuk
diakui menjadi santri Panjenengan.”
“Ya, insya
Allah. Kita harus tetap saling mendoakan. Ballighu ‘anniy walau ayatan (kama
qala Nabi Saw.), sampaikanlah kepada masyarakat apa yang sudah kamu dapatkan
di pesantren ini, meski satu ayat,” jawab beliau.
Lalu beliau
mengangkat kedua tangannya untuk berdoa, dan saya pun mengaminkan dengan
sepenuh hati. Usai berdoa saya pun pamit undur diri, kucium tangannya dan kuucapkan
salam “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Ini hanya
sekedar contoh aplikasi saya terhadap kaidah “Wakullu syai-in minal kulino” di
ilmu dunia (komputer). Nabi Saw. pun pernah menyabdakan: “Antum a’lamu
bi-umuri dunyakum”, kalian sendiri yang lebih mengetahui terhadap perkara
dunia kalian.
Lalu bagaimana
saya tetap bersantai-santai dengan urusan akhiratku? Bukankah telah kurasakan
sendiri betapa payahnya mengamalkan kaidah “Wakullu syai-in minal kulino” meski
untuk urusan dunia? Banyak orang mengatakan: “Ilmu dunia itu mudah
dipelajari, karena ia bisa terlihat dan nampak jelas. Yang sulit itu ilmu agama
atau ilmu akhirat, sangat diperlukan perjuangan yang besar dan waktu yang tidak
sebentar.”
Wahai Sya’roni
pemalas, bukankah kamu menginginkan kefahaman (tafaqquh) terhadap
agamamu? Tapi kenapa kamu masih bersantai-santai?
Wahai Sya’roni
pemalas, bukankah kamu menginginkan pengamalan terhadap ajaran agamamu? Tapi
kenapa kamu hanya mau yang serba instan dalam mencari ilmu?
Wahai Sya’roni
pemalas, bukankah kamu menginginkan menjadi orang yang baik (shaleh)? Tapi
kenapa kamu tidak mau berusaha, bersusah-payah faham dan mengamalkan ajaran
agamamu?
Ya, memang
benar dunia semakin modern. Semua menjadi serba mudah didapatkan tanpa bersusah-payah,
semua menjadi serba instan. Tapi adakah perubahan dari kuno ke modern untuk
akhirat? Jawabnya jelas, “Tidak!” Lalu masihkah tetap memiliki fikiran “serba
instan” untuk urusan akhirat?
“Wakullu
syai-in minal kulino” adalah kata kunci. Semua halnya perlu “pembiasaan”. Untuk urusan
dunia saja sangat perlu kaidah itu, apalagi untuk urusan akhirat. Ibadah yang terasa
berat pertanda belum menjadi suatu “kebiasaan”. Bisa karena terbiasa. Wallahu
al-Musta’an A’lam.
Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 01 April 2014
0 komentar:
Posting Komentar