Cukup menarik apa yang dituliskan oleh Gus Ahmad
Shampton bin KH. Mashduqi Mahfudz perihal “nikah” dalam persepektif ilmu nahwu.
Di suatu malam, saat beliau lenger-lenger melihat para santri putra pada
berdiri tidak hafal nadzam. Sementara para santri putri hafalan wush wush...
lancar semua.
Memandangi bagan yang beliau buat, dari
pemahaman nadzam Syarat Mutsanna, kok tiba-tiba terpikir, othak-athik
matuk, ketentuan-ketentuan mutsanna (membuat kata benda yang bermakna dua) ini
bisa digunakan untuk Syarat Menikah:
شرط المثني ان يكون معربا *
ومفردا منكرا ما ركب
موافقا في اللفظ و المعني له * مماثلا لا
يغني عنه غيره
Syaratnya bagi orang
yang ingin menikah (mutsanna=berpasangan) adalah:
1.
Mu’rab: kata yang menerima tanda perubahan kedudukan
dalam susunan kalimat. Berbeda dengan kata yang mabni, dalam kedudukan
apapun kata ini tidak menerima tanda kecuali yang sudah tercetak dalam kata
itu. Seperti pula orang yang ingin menikah, dia tidak boleh egois (mabni),
harus bisa fleksibel menerima perbedaan dari siapapun. Mampu memposisikan diri
sesuai dengan keadaan, sebagai suami, sebagai menantu, sebagai orang tua bagi
anak-anaknya nanti.
2.
Mufrad: kata yang akan dibentuk bermakna dua tidak
boleh berasal kata yang bermakna lebih dari satu. Begitulah seorang yang akan
dinikahi harus single, karena seorang perempuan tidak bisa menikah lebih
dari satu.
3.
Nakirah: kata yang akan dibentuk bermakna dua tidak
boleh kalimat yang makrifat atau sudah spesifik, harus kata yang masih bermakna
umum. Seorang yang akan dinikahi belum ada yang meminang atau sedang dalam
proses pinangan orang lain.
4.
Ma Rukkiba: kata yang akan dibentuk bermakna dua tidak
boleh berasal dari kata majemuk (berasal dari dua kata yang dijadikan satu
rangkaian kata). Seorang yang akan menikah tidak boleh berstatus “bersuami”
atau berstatus “beristri”. Dalam Tarkib Mazji (dua rangkaian kata yang
digunakan untuk satu nama) untuk menjadi bermakna dua harus menggunakan kata dzu.
Dzu mempunyai makna asal “mempunyai”, maka yang berpoligami harus
memiliki/mempunyai harta lebih.
5.
Muwaffiqan fi al-Lafdzi wa al-Ma’na Lahu: kata yang akan dibentuk menjadi kata yang
bermakna dua, harus cocok dalam lafadznya maupun maknanya. Maka bila tidak
bermakna sama meski lafadznya sama, kata ini tidak bisa dijadikan Mutsanna.
Seorang yang akan melakukan perjanjian nikah harus memenuhi unsur kafa-ah,
kesetaraan. Terkadang pernikahan yang mengabaikan kesetaraan rumah tangganya “susah”
untuk menjadi sakinah, seperti suami isteri tetapi mereka berhubungan seperti
orang lain. Kalimat yang tidak semakna dan lafadznya sama hanya bisa Mulhaq
(dipersamakan mutsanna). Seperti keluarga tetapi tak mampu membangun bangunan
keluarga yang baik.
6.
Mumatsilan: kata yang akan dibuat Mutsanna haruslah
menunjukkan dzat yang lebih dari satu. Bila hanya satu di dunia ini, maka tidak
bisa ditatsniyahkan. Seorang yang ingin menikah haruslah memilliki sifat
yang sama dengan manusia lain dan mampu memanusiakan orang lain, bukan orang
yang angkuh yang merasa hanya dirinya yang ada dan penting di dunia ini hingga
kepentingan orang lain menjadi tidak penting.
7.
La Yughni ‘Anhu Ghairuhu: bila ada kata semakna yang bisa ditatsniyahkan,
maka tidak perlu mentatsniyahkan kata yang sudah memiliki sinonim yang
bisa dibuat makna dua. Bila seseorang hatinya sudah tertaut kepada seseorang,
maka tidak ada manfaatnya dia dinikahi, karena dia hanyalah akan menyakiti
hati. Seperti juga orang yang sudah tertaut hatinya kepada Allah, dan
dikhawatirkan pernikahan hanya akan mengganggu intensitas hubungannya dengan
Khaliq, dia tidak butuh menikah.
Othak-athik mathuk. Santai saja… Bagi yang
tidak hafal nadzam berdiri bukanlah ta’ziran, tetapi kesempatan bisa mensyukuri
nikmat bisa kuat berdiri dan tegak dari Allah.
Terakhir, pesan Romo KH. Maimoen
Zubair: “Boleh-boleh saja mengharap di surga akan ditemani bidadari atau
bidadara. Tapi jika dibandingkan dengan kenikmatan bersama keluarga besar,
bidadari dan bidadara itu nikmatnya seperti snack saja. Eman sekali kalau nda
nikah.”
Sya’roni
As-Samfuriy
maaf ustadz kayaknya ada yang kurang pas, masalahnya disitu ma rukiba, sedangkan kaum laki-laki boleh saja menjadi murokkib, nanti tak boleh poligami dong .....
BalasHapusBener Akhi Thohir..
Hapus