Halaman

Minggu, 09 Februari 2014

MANAQIB AL-IMAM AL-HABIB MUHAMMAD BIN ABDULLAH AL-HADDAR (1340 H/1921 M - 1418 H/1997 M)



Meskipun beliau termasuk orang alim ‘allamah dan masyhur sebagai wali Allah, mungkin belum banyak yang tahu tentang jejak-rekam riwayat hidup beliau. Namun jika disebut nama al-Habib Umar bin Hafidz, mayoritas Muslimin dunia mengetahuinya. Padahal keduanya merupakan ulama yang memiliki hubungan erat satu sama lainnya, hubungan antara guru dan murid serta antara mertua dan menantu.

Daftar Isi:

a.      Nasab Al-Habib Muhammad Al-Haddar
b.      Kelahiran Al-Habib Muhammad Al-Haddar
c.       Guru-guru dan Kegigihan Belajar Al-Habib Muhammad Al-Haddar
d.      Perjuangan Dakwah Al-Habib Muhammad Al-Haddar
e.       Karya-karya Al-Habib Muhammad Al-Haddar
f.       Akhir Hayat Al-Habib Muhammad Al-Haddar

a.      Nasab Al-Habib Muhammad Al-Haddar

Nasab lengkap beliau adalah al-Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar bin Syaikh bin Muhsin bin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Shaleh bin Ahmad bin Syaikh Abubakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali Shahib ad-Dark bin Alwi al-Ghuyur bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Marbat bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad Shahib ash-Shauma’ah bin Alwi bin Ubaidillah bin al-Muhajir Ilallah Ahmad bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin al-Imam Husain bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw. suami Sayyidah Fathimah az-Zahra binti Rasulullah Saw.

b.      Kelahiran Al-Habib Muhammad Al-Haddar

Al-Habib Muhammad al-Haddar lahir di desa ‘Azzah, dekat Kota al-Baidha’ di utara Yaman, pada tahun 1340 H/1921 M. Ayah beliau adalah al-Habib Abdullah dan ibu beliau adalah Hababah Nur binti Abdullah Ba Sahi, seorang wanita shalihah yang dikenal karena amal dan ibadahnya. Ibunya sangatlah pemurah hingga sering membantu orang-orang yang kelaparan, terutama pada saat bencana kelaparan di Yaman selama Perang Dunia Kedua.

Pada masa kecilnya, al-Habib Muhammad al-Haddar belajar al-Quran dan ilmu-ilmu dasar agama dari ayahandanya sendiri dan para ulama Baidha’. Di salah satu malam terakhir bulan Ramadhan sewaktu dirinya berada di masjid disaksikan cahaya yang cemerlang, malam Lailatul Qadar. Merupakan hal yang sangat utama dan mulia tatkala seorang hamba diberikan anugerah oleh Allah Swt. dapat menyaksikan malam yang satu malamnya lebih baik daripada seribu bulan.

c.       Guru-guru dan Kegigihan Belajar Al-Habib Muhammad Al-Haddar

Semangat dan hausnya dalam mencari ilmu mendorongnya untuk melakukan perjalanan ke Tarim pada usia 17 tahun. Setelah melakukan perjalanan dengan perahu layar dari ‘Adn ke al-Mukalla, dengan terpaksa beliau harus menghentikan langkahnya. Karena masa itu di tempat yang akan dituju beliau sedang terjadi pertikaian politik, dihimbau untuk kembali ke rumah.

Namun dengan semangatnya yang tinggi, beliau pun tidak patah arang untuk tetap melanjutkan pengembaraannya. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan melalui darat. Ayahnya turut serta menemaninya dalam perjalanan.

Ketika tiba saatnya bagi mereka untuk berpisah, sang ayah pun menghadap ke kiblat dengan linangan air mata dan berkata: “Ya Allah, orang yang mengirimkan anak-anak mereka ke Amerika dan tempat-tempat lain demi mendapatkan uang. Dan saya mengirimnya untuk belajar sampai ia mendapat kefutuhan dan menjadi seorang ulama, yang bertindak sesuai dengan pengetahuan mereka.”

Meski dalam perjalanannya menghadapi kepayahan dan kelaparan yang membuat dirinya hampir mati kehausan di jalan pegunungan antara Seiwun dan Tarim, akhirnya tibalah ia di Tarim dengan selamat. Langsung saja beliau menuju ke ribath terkenal dan bertemu dengan seorang guru utamanya, al-Habib Abdullah bin Umar asy-Syathiri.

Al-Habib Muhammad al-Haddar menghabiskan 4 tahun untuk belajar  di Rubath Tarim dengan usaha yang sangat gigih. Kegigihan itu tergambarkan setiap sebelum dimulainya pelajaran beliau selalu mempersiapkan pelajaran-pelajaran itu dengan membacanya setidaknya hingga delapan belas kali. Dan sehari-harinya beliau hanya tidur sekitar dua jam, satu jam di siang hari dan satu jam di malam harinya. Sehingga menjadikan al-Habib Abdullah asy-Syathiri, sang guru, mengakui kemampuannya dan memberinya perhatian khusus serta tanggung jawab penuh.

Selain kepada ayahandanya sendiri dan kepada pengasuh Rubath asy-Syathiri, beliau juga telah belajar dengan para ulama yang masyhur pada zamannya. Diantaranya adalah:
1.      Al-Habib Alwi bin Abdullah Shihabuddin.
2.      Al-Habib Ja’far bin Ahmad Alaydrus.
3.      Asy-Syaikh Mahfudz bin Salim az-Zubaidi.
4.      Dan masih banyak lainnya.

d.      Perjuangan Dakwah Al-Habib Muhammad Al-Haddar

Setelah gurunya, al-Habib Abdullah bin Umar asy-Syathiri, wafat tahun 1361 H/1941 M maka al-Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar kembali ke kampung halaman. Hatinya penuh dengan keinginan untuk menyebarkan pengetahuan dan membatu orang-orang menuju ke jalan Allah Swt.

Pada tahun 1362 H/1942 M, beliau mendirikan sebuah madrasah di tempat kelahirannya di ‘Azzah. Beliau juga termasuk berjasa dalam penyelesaian konflik antar suku pada waktu itu.

Beliau melakukan perjalanan dengan berjalan kaki untuk melakukan haji pada tahun 1365 H/1945 M. Sekembalinya dari berhaji, beliau menghabiskan beberapa waktu di Ta’izz untuk belajar kepada al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya.

Pada tahun 1375 H/1955 M, beliau melakukan haji untuk yang kedua kalinya. Dan setelahnya beliau selalu menyempatkan diri untuk berhaji tiap tahunnya. Disamping berhaji, tak lupa beliau mengambil ilmu dari para ulama Hijaz. Diantaranya beliau belajar kepada al-Muhaddits as-Sayyid Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani.

Pada tahun 1370 H/1950 M, beliau melakukan perjalanan ke Somalia dan menjadi imam Masjid Mirwas di Mogadishu. Akhirnya beliau menetap di sana selama satu tahun setengah. Selain itu, kesibukan beliau di sana adalah istiqamah mengajar dan mengawasi pembentukan ribath (pesantren) di Kota Bidua. Di sinilah beliau bertemu seorang guru besar bernama al-Habib Ahmad Masyhur bin Thoha al-Haddad.

Al-Habib Muhammad al-Haddar sudah lama ingin mendirikan ribath di Kota al-Baidha. Beliau mencari dukungan keuangan di ‘Adn dan Ethiopia. Usahanya nampak berhasil dengan selesainya konstruksi awal pada tahun 1380 H/1960 M. Beliau meminta agar al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafiz (ayah dari al-Habib Umar bin Hafidz) mengirim seseorang dari Tarim. Pada saat itu al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith adalah orang yang dipilih al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz untuk menjadi guru di ribath dan menetap di al-Baidha sekitar 20 tahun.

Pada tahun 1402 H/1981 M, al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz meninggalkan Hadhramaut yang saat itu sedang bergejolak perang saudara, dan datang ke al-Baidha. Beliau menghabiskan 10 tahun untuk belajar kepada al-Habib Muhammad al-Haddar. Akhirnya al-Habib Umar bin Hafidz pun bukan hanya menjadi murid gurunya itu, melainkan juga sebagai menantu dengan menikahi putri sang guru. Di ribathnya al-Habib Umar bin Hafidz juga diminta untuk mengajar.

Al-Habib Muhammad al-Haddar salalu setia dalam oposisinya terhadap pemerintah sosialis yang berkuasa di Yaman Selatan tahun 1387 H/1967 M. Hal ini menyebabkan beliau dipenjara di al-Mukalla dalam kunjungannya ke Hadhramaut pada tahun 1390 H/1970 M). Di dalam penjara beliau tak pernah putus dalam mengajar hingga para narapidanalah yang menjadi sebagai muridnya.

Hingga pada akhirnya beliau dibebaskan melalui perantara dari al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf Jeddah dan al-Habib Ja’far Alaydrus. Kemudian beliau pun kembali ke al-Baidha setelah berterimakasih kepada mereka atas usahanya dan telah memperingatkan para ulama Tarim dan Seiwun dari bahaya yang tersisa di Hadhramaut.

Pada tahun 1395 H/1974 M, beliau pergi ke Kepulauan Comoros untuk mengunjungi seorang ulama besar di sana, al-Habib Umar bin Ahmad bin Smith. Setelah itu beliau menuju Kenya untuk mengunjungi gurunya, al-Habib Ahmad Masyhur al-Haddad.

Hubungannya sangat dekat dan erat dengan ulama besar Jeddah, al-Habib Abdul Qadir Assegaf. Mereka berdua pernah bepergian bersama ke Irak dan Suriah pada tahun 1396 H/1975 M. Al-Habib Abdul Qadir juga sudah dua kali mengunjungi al-Baidha dan ribath yang didirikan oleh al-Habib Muhammad al-Haddar.

Al-Habib Muhammad al-Haddar termasuk salah satu ulama yang mengapresiasi dan sangat menghormati gerakan Jama’ah Tabligh (JT). Terbukti di tahun 1402 H/1981 M, beliau menuju ke Pakistan, Bangladesh, Thailand dan Malaysia untuk mengunjungi para ulama gerakan itu dan menghadiri pertemuan mereka.

e.       Karya-karya Al-Habib Muhammad Al-Haddar

Diantara kitab yang beliau ajarkan adalah Shahih al-Bukhari, Ihya ‘Ulumiddin, asy-Syifa’ DAN Minhaj ath-Thalibin karya Imam an-Nawawi. Beliau juga telah mengumpulkan sejumlah koleksi dari adzkar (wiridan-wiridan) untuk dibaca pada siang hari dan malam hari yang terkumpul dalam kitabnya yang berjudul al-Fawaid al-Itsna ‘Asyar dan Nasyi-at al-Lail. Dan wiridan yang dibaca saat dalam perjalanan dikumpulkannya dalam kitab Jawahir al-Jawahir. Wiridan-wiridan itu hingga kini masih banyak dibaca di Darul Musthafa, ribath yang didirikan oleh sang menantu.

Beliau juga menyusun koleksi adzkar dan doa-doa untuk Ramadhan yang dikumpulkannya dalam kitab an-Nafahat ar-Ramadhaniyyah. Dan juga wirid-wirid dan doa untuk haji dalam kitab Miftah al-Haji.

Beliau pun menulis sebuah risalah tentang pencapaian akhlak mulia dalam kitabnya yang berjudul al-‘Ajalat Sibaq. Risalah lain yang ditulisnya adalah tentang kinerja haji berjudul Risalat al-Hajj al-Mabrur dan risalah kompilasi pilihan hadits berjudul asy-Syifa Saqim.

f.       Akhir Hayat Al-Habib Muhammad Al-Haddar

Sakit bisa datang kepada siapa saja dari hamba Allah, termasuk al-Habib Muhammad al-Haddar. Sebelum kewafatannya pun beliau menderita sakit. Hingga menjelang akhir hidupnya beliau masih sempat pindah ke Mekkah.

Kata-kata terakhir yang sering beliau lafadzkan setiap hari pada masa akhir hidupnya adalah:

لا إِلَهَ إِلاّ الله أَفْنِي بِها عُمْري
لا إِلَهَ إِلاّ الله أَدْخُل بِها قَبْري
لا إِلَهَ إِلاّ الله أَخْلو بِها وَحْدي
لا إِلَهَ إِلاّ الله أَلْقى بِها رَبِّي

“La Ilaha Illallah, dengan itu aku mengakhiri hidupku.
La Ilaha Illallah, dengan itu aku masuk ke dalam kuburku.
La Ilaha Illallah, dengan itu aku memisahkan diriku.
La Ilaha Illallah, dengan itu aku bertemu Tuhanku.”

Hingga akhirnya beliau tersungkur bersujud dan ruhnya meninggalkan tubuhnya. Beliau pun wafat meninggalkan dunia yang fana ini pada tanggal 08 Rabi’ul Akhir tahun 1418 H/1997 M. Jenazahnya dimakamkan di dekat makam ibundanya.

Wallahu al-Musta’an A’lam. Lahu al-Fatihah…

Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 09 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar