Meskipun beliau termasuk orang alim ‘allamah
dan masyhur sebagai wali Allah, mungkin belum banyak yang tahu tentang
jejak-rekam riwayat hidup beliau. Namun jika disebut nama al-Habib Umar bin
Hafidz, mayoritas Muslimin dunia mengetahuinya. Padahal keduanya merupakan
ulama yang memiliki hubungan erat satu sama lainnya, hubungan antara guru dan
murid serta antara mertua dan menantu.
Daftar Isi:
a.
Nasab Al-Habib Muhammad Al-Haddar
b.
Kelahiran Al-Habib Muhammad Al-Haddar
c.
Guru-guru dan Kegigihan Belajar Al-Habib
Muhammad Al-Haddar
d.
Perjuangan Dakwah Al-Habib Muhammad Al-Haddar
e.
Karya-karya Al-Habib Muhammad Al-Haddar
f.
Akhir Hayat Al-Habib Muhammad Al-Haddar
a.
Nasab Al-Habib Muhammad Al-Haddar
Nasab lengkap beliau adalah
al-Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar bin Syaikh bin Muhsin bin Ahmad bin
Muhammad bin Ali bin Shaleh bin Ahmad bin Syaikh Abubakar bin Salim bin Abdullah
bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah
bin Ali Shahib ad-Dark bin Alwi al-Ghuyur bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin
Ali bin Muhammad Shahib Marbat bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad Shahib
ash-Shauma’ah bin Alwi bin Ubaidillah bin al-Muhajir Ilallah Ahmad bin Isa ar-Rumi
bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir
bin Ali Zainal Abidin bin al-Imam Husain bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw. suami
Sayyidah Fathimah az-Zahra binti Rasulullah Saw.
b.
Kelahiran Al-Habib Muhammad Al-Haddar
Al-Habib Muhammad al-Haddar lahir di desa ‘Azzah,
dekat Kota al-Baidha’ di utara Yaman, pada tahun 1340 H/1921 M. Ayah beliau
adalah al-Habib Abdullah dan ibu beliau adalah Hababah Nur binti Abdullah Ba
Sahi, seorang wanita shalihah yang dikenal karena amal dan ibadahnya. Ibunya
sangatlah pemurah hingga sering membantu orang-orang yang kelaparan, terutama
pada saat bencana kelaparan di Yaman selama Perang Dunia Kedua.
Pada masa kecilnya, al-Habib Muhammad al-Haddar
belajar al-Quran dan ilmu-ilmu dasar agama dari ayahandanya sendiri dan para ulama
Baidha’. Di salah satu malam terakhir bulan Ramadhan sewaktu dirinya berada di masjid
disaksikan cahaya yang cemerlang, malam Lailatul Qadar. Merupakan hal yang
sangat utama dan mulia tatkala seorang hamba diberikan anugerah oleh Allah Swt.
dapat menyaksikan malam yang satu malamnya lebih baik daripada seribu bulan.
c.
Guru-guru dan Kegigihan Belajar Al-Habib
Muhammad Al-Haddar
Semangat dan hausnya dalam mencari ilmu mendorongnya
untuk melakukan perjalanan ke Tarim pada usia 17 tahun. Setelah melakukan perjalanan
dengan perahu layar dari ‘Adn ke al-Mukalla, dengan terpaksa beliau harus
menghentikan langkahnya. Karena masa itu di tempat yang akan dituju beliau
sedang terjadi pertikaian politik, dihimbau untuk kembali ke rumah.
Namun dengan semangatnya yang tinggi, beliau
pun tidak patah arang untuk tetap melanjutkan pengembaraannya. Kemudian beliau melanjutkan
perjalanan melalui darat. Ayahnya turut serta menemaninya dalam perjalanan.
Ketika tiba saatnya bagi mereka untuk berpisah,
sang ayah pun menghadap ke kiblat dengan linangan air mata dan berkata: “Ya
Allah, orang yang mengirimkan anak-anak mereka ke Amerika dan tempat-tempat lain
demi mendapatkan uang. Dan saya mengirimnya untuk belajar sampai ia mendapat kefutuhan
dan menjadi seorang ulama, yang bertindak sesuai dengan pengetahuan mereka.”
Meski dalam perjalanannya menghadapi kepayahan
dan kelaparan yang membuat dirinya hampir mati kehausan di jalan pegunungan
antara Seiwun dan Tarim, akhirnya tibalah ia di Tarim dengan selamat. Langsung saja
beliau menuju ke ribath terkenal dan bertemu dengan seorang guru utamanya, al-Habib
Abdullah bin Umar asy-Syathiri.
Al-Habib Muhammad al-Haddar menghabiskan 4 tahun
untuk belajar di Rubath Tarim dengan usaha
yang sangat gigih. Kegigihan itu tergambarkan setiap sebelum dimulainya
pelajaran beliau selalu mempersiapkan pelajaran-pelajaran itu dengan membacanya
setidaknya hingga delapan belas kali. Dan sehari-harinya beliau hanya tidur
sekitar dua jam, satu jam di siang hari dan satu jam di malam harinya. Sehingga
menjadikan al-Habib Abdullah asy-Syathiri, sang guru, mengakui kemampuannya dan
memberinya perhatian khusus serta tanggung jawab penuh.
Selain kepada ayahandanya sendiri dan kepada
pengasuh Rubath asy-Syathiri, beliau juga telah belajar dengan para ulama yang
masyhur pada zamannya. Diantaranya adalah:
1.
Al-Habib Alwi bin Abdullah Shihabuddin.
2.
Al-Habib Ja’far bin Ahmad Alaydrus.
3.
Asy-Syaikh Mahfudz bin Salim az-Zubaidi.
4.
Dan masih banyak lainnya.
d.
Perjuangan Dakwah Al-Habib Muhammad Al-Haddar
Setelah gurunya, al-Habib Abdullah bin Umar
asy-Syathiri, wafat tahun 1361 H/1941 M maka al-Habib Muhammad bin Abdullah
al-Haddar kembali ke kampung halaman. Hatinya penuh dengan keinginan untuk
menyebarkan pengetahuan dan membatu orang-orang menuju ke jalan Allah Swt.
Pada tahun 1362 H/1942 M, beliau mendirikan
sebuah madrasah di tempat kelahirannya di ‘Azzah. Beliau juga termasuk berjasa
dalam penyelesaian konflik antar suku pada waktu itu.
Beliau melakukan perjalanan dengan berjalan
kaki untuk melakukan haji pada tahun 1365 H/1945 M. Sekembalinya dari berhaji, beliau
menghabiskan beberapa waktu di Ta’izz untuk belajar kepada al-Habib Ibrahim bin
Aqil bin Yahya.
Pada tahun 1375 H/1955 M, beliau melakukan haji
untuk yang kedua kalinya. Dan setelahnya beliau selalu menyempatkan diri untuk
berhaji tiap tahunnya. Disamping berhaji,
tak lupa beliau mengambil ilmu dari para ulama Hijaz. Diantaranya beliau
belajar kepada al-Muhaddits as-Sayyid Alwi bin Abbas al-Maliki al-Hasani.
Pada tahun 1370 H/1950 M, beliau melakukan
perjalanan ke Somalia dan menjadi imam Masjid Mirwas di Mogadishu. Akhirnya beliau
menetap di sana selama satu tahun setengah. Selain itu, kesibukan beliau di
sana adalah istiqamah mengajar dan mengawasi pembentukan ribath (pesantren) di Kota
Bidua. Di sinilah beliau bertemu seorang guru besar bernama al-Habib Ahmad
Masyhur bin Thoha al-Haddad.
Al-Habib Muhammad al-Haddar sudah lama ingin
mendirikan ribath di Kota al-Baidha. Beliau mencari dukungan keuangan di ‘Adn
dan Ethiopia. Usahanya nampak berhasil dengan selesainya konstruksi awal pada
tahun 1380 H/1960 M. Beliau meminta agar al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafiz (ayah
dari al-Habib Umar bin Hafidz) mengirim seseorang dari Tarim. Pada saat itu al-Habib
Zein bin Ibrahim bin Smith adalah orang yang dipilih al-Habib Muhammad bin
Salim bin Hafidz untuk menjadi guru di ribath dan menetap di al-Baidha sekitar
20 tahun.
Pada tahun 1402 H/1981 M, al-Habib Umar bin
Muhammad bin Salim bin Hafidz meninggalkan Hadhramaut yang saat itu sedang
bergejolak perang saudara, dan datang ke al-Baidha. Beliau menghabiskan 10
tahun untuk belajar kepada al-Habib Muhammad al-Haddar. Akhirnya al-Habib Umar bin
Hafidz pun bukan hanya menjadi murid gurunya itu, melainkan juga sebagai
menantu dengan menikahi putri sang guru. Di ribathnya al-Habib Umar bin Hafidz juga
diminta untuk mengajar.
Al-Habib Muhammad al-Haddar salalu setia dalam
oposisinya terhadap pemerintah sosialis yang berkuasa di Yaman Selatan tahun
1387 H/1967 M. Hal ini menyebabkan beliau dipenjara di al-Mukalla dalam
kunjungannya ke Hadhramaut pada tahun 1390 H/1970 M). Di dalam penjara beliau tak
pernah putus dalam mengajar hingga para narapidanalah yang menjadi sebagai
muridnya.
Hingga pada akhirnya beliau dibebaskan melalui
perantara dari al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf Jeddah dan al-Habib Ja’far
Alaydrus. Kemudian beliau pun kembali ke al-Baidha setelah berterimakasih
kepada mereka atas usahanya dan telah memperingatkan para ulama Tarim dan
Seiwun dari bahaya yang tersisa di Hadhramaut.
Pada tahun 1395 H/1974 M, beliau pergi ke
Kepulauan Comoros untuk mengunjungi seorang ulama besar di sana, al-Habib Umar
bin Ahmad bin Smith. Setelah itu beliau menuju Kenya untuk mengunjungi gurunya,
al-Habib Ahmad Masyhur al-Haddad.
Hubungannya sangat dekat dan erat dengan ulama
besar Jeddah, al-Habib Abdul Qadir Assegaf. Mereka berdua pernah bepergian
bersama ke Irak dan Suriah pada tahun 1396 H/1975 M. Al-Habib Abdul Qadir juga sudah
dua kali mengunjungi al-Baidha dan ribath yang didirikan oleh al-Habib Muhammad
al-Haddar.
Al-Habib Muhammad al-Haddar termasuk salah satu
ulama yang mengapresiasi dan sangat menghormati gerakan Jama’ah Tabligh (JT).
Terbukti di tahun 1402 H/1981 M, beliau menuju ke Pakistan, Bangladesh,
Thailand dan Malaysia untuk mengunjungi para ulama gerakan itu dan menghadiri
pertemuan mereka.
e.
Karya-karya Al-Habib Muhammad Al-Haddar
Diantara kitab yang beliau ajarkan adalah Shahih
al-Bukhari, Ihya ‘Ulumiddin, asy-Syifa’ DAN Minhaj ath-Thalibin karya Imam an-Nawawi. Beliau juga telah mengumpulkan sejumlah
koleksi dari adzkar (wiridan-wiridan) untuk dibaca pada siang hari dan
malam hari yang terkumpul dalam kitabnya yang berjudul al-Fawaid al-Itsna
‘Asyar dan Nasyi-at al-Lail. Dan wiridan yang dibaca saat dalam perjalanan dikumpulkannya
dalam kitab Jawahir al-Jawahir. Wiridan-wiridan itu hingga kini masih banyak
dibaca di Darul Musthafa, ribath yang didirikan oleh sang menantu.
Beliau juga menyusun koleksi adzkar dan doa-doa
untuk Ramadhan yang dikumpulkannya dalam kitab an-Nafahat ar-Ramadhaniyyah.
Dan juga wirid-wirid dan doa untuk haji dalam kitab Miftah al-Haji.
Beliau pun menulis sebuah risalah tentang
pencapaian akhlak mulia dalam kitabnya yang berjudul al-‘Ajalat Sibaq. Risalah
lain yang ditulisnya adalah tentang kinerja haji berjudul Risalat al-Hajj
al-Mabrur dan risalah kompilasi pilihan hadits berjudul asy-Syifa Saqim.
f.
Akhir Hayat Al-Habib Muhammad Al-Haddar
Sakit bisa datang kepada siapa saja dari hamba
Allah, termasuk al-Habib Muhammad al-Haddar. Sebelum kewafatannya pun beliau menderita
sakit. Hingga menjelang akhir hidupnya beliau masih sempat pindah ke Mekkah.
Kata-kata terakhir yang sering beliau lafadzkan
setiap hari pada masa akhir hidupnya adalah:
لا إِلَهَ إِلاّ الله أَفْنِي بِها عُمْري
لا إِلَهَ إِلاّ الله أَدْخُل بِها قَبْري
لا إِلَهَ إِلاّ الله أَخْلو بِها وَحْدي
لا إِلَهَ إِلاّ الله أَلْقى بِها رَبِّي
“La Ilaha Illallah, dengan itu aku mengakhiri
hidupku.
La Ilaha Illallah, dengan itu aku masuk ke
dalam kuburku.
La Ilaha Illallah, dengan itu aku memisahkan
diriku.
La Ilaha Illallah, dengan itu aku bertemu
Tuhanku.”
Hingga akhirnya beliau tersungkur bersujud dan
ruhnya meninggalkan tubuhnya. Beliau pun wafat meninggalkan dunia yang fana ini
pada tanggal 08 Rabi’ul Akhir tahun 1418 H/1997 M. Jenazahnya dimakamkan di
dekat makam ibundanya.
Wallahu al-Musta’an A’lam. Lahu al-Fatihah…
Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 09
Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar