Suatu hari
seorang ustadz berjenggot lebat berkhutbah Jum’at di masjid DPRD DKI Jakarta.
Isinya sarat dengan cacian dan makian, terkhusus pada Gus Dur. Walhasil Gus Dur
dikafir-kafirkan oleh sang khatib dengan alasan Gus Dur menentang Rancangan
Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi serta Gus Dur pernah dibaptis oleh
orang Kristen. “Gus Dur kafir!” teriaknya lantang.
“Dan barangsiapa
yang ragu terhadap kafirnya Gus Dur, maka dia juga kafir!” imbuhnya
dalam khutbah tersebut.
Lalu ada salah
seorang jamaah yang memberanikan berdiri seraya berkata: “Batal ini khutbah!
Tidak sah, turun!”
Akhirnya khatib
itupun turun dan diganti oleh seorang ustadz bernama Nur Alam Bakhtir.
Setelah
kejadian itu, sang khatib pun mendatangi Gus Dur di kantor PBNU untuk meminta
maaf. Dan Gus Dur pun memaafkannya, karena Gus Dur memang orangnya adalah sangat
pemaaf. Gus Dur hanya berkata dengan kalemnya: “Yowis ojo maneh-maneh yo…”
(Ya sudah, jangan diulangi lagi yah). (Disadur dari taushiyyah Prof. Dr. KH.
Said Aqil Siradj).
Kisah kedua
diceritakan dari pengalaman pribadi Gus Rijal
Pakne Avisa (Rijal Mumazziq Zionis, presiden penerbit Imtiyaz
Surabaya). Beliau bertanya kepada Gus Dur: “Gus,
ada penulis buku yang selama ini spesialisasinya mengkritik pribadi dan
menghakimi pemikiran panjenengan, bahkan cenderung menghujat. Apa Gus Dur
mboten dhuko (tidak tersinggung/ marah)?”
“Bah
bahno ae (biarkan saja), mas. Nggak usah dipikirin. Dia kan cari nafkah dengan
cara nulis. Cari makan buat keluarganya. Gitu aja kok repot!” (Kenangan sowan Gus Dur, Kantor PBNU, 3 Januari 2009).
Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap
Jaktim 22 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar