Daftar Isi:
1.
MANOKWARI
PAPUA, IRIAN BARAT
a.
Selasa
7 Oktober 2008
b.
Rabu
8 Oktober 2008
c.
Kamis
9 Oktober 2008
d.
Jum’at
10 Oktober 2008
2.
KOKODA,
IRIAN BARAT
a.
Selasa
26 Januari 2010
b.
Rabu
27 Januari 2010
c.
Kamis
28 Januari 2010
d.
Jum’at
29 Januari 2010
e.
Sabtu
30 Januari 2010
1.
MANOKWARI
PAPUA, IRIAN BARAT
a.
Selasa
7 Oktober 2008
Selasa 7
Oktober 2008, kami tiga personil; Mundzir al-Musawa, Saudara Saeful Zahri dan Saudara
Hamidi Sanusi. Selasa, 22.45 WIB kami meninggalkan Bandara Soekarno Hatta
Jakarta menuju Ujung Pandang untuk pindah pesawat.
Kami tiba di
Ujung Pandang pukul 23.45 WITA/00.45 WIB, lalu meneruskan perjalanan menuju
Manokwari Irian Barat.
b.
Rabu
8 Oktober 2008
Rabu 8 Oktober 2008,
pagi kami tiba di Manokwari pukul 07.45 WIT/05.45 WIB. Pelukan hangat dan haru
dari KH. Ahmad Baihaqi membuat saya bertanya-tanya, beliau mendahului saya ke
Manokwari ini hanya sekitar dua minggu, namun beliau memeluk saya seakan-akan
sudah bertahun-tahun tak jumpa. Firasat saya mengatakan bahwa beliau menemui
medan dakwah yang sangat berat. Dan memang ternyata firasat saya benar, ketika
kami keluar dari Bandara kami melihat dari beberapa mobil yang diparkir
(bandara di sana sangat sepi), saya melihat ada dua buah mobil Land Cruiser hijau
dan merah yang menyolok dari mobil lainnya, kekar dan gagah dilengkapi lampu
kabut dan lampu biru sirene di atasnya. Dan memang mobil itulah yang kemudian
mengantar kami ke medan dakwah yang sangat berat.
Harga penyewaan
mobil itu 4 juta rupiah per hari, maka dua mobil itu digunakan dua hari total
18 juta rupiah. Dan memang tak ada mobil yang bisa melintas ke wilayah-wilayah
itu kecuali mobil-mobil tertentu karena medan yang demikian berat. Dan memang
mobil sangat sedikit pula, dan jarang yang mau menyewakan untuk jarak jauh kecuali
dengan harga yang mahal.
Kami dijamu
makan pagi di rumah salah seorang tokoh Muslim di Manokwari. Lalu kami
melanjutkan perjalanan ke wilayah Ransiki, yaitu kampung halaman puluhan santri
KH. Ahmad Baihaqi yang baru saja beliau asuh di kediaman beliau di Jakarta
selama dua tahun berselang.
Jalan yang
beraspal namun sangat sempit itu sangat jarang dilalui mobil. Barangkali dalam
10-15 menit kita baru menemui motor atau mobil lain yang melintas. Sepanjang jalan
saya lebih banyak menangis daripada bicara, walau diselingi canda dan
percakapan, namun airmata ini terus tak tertahan. Hati bagaikan teriris-iris
melihat banyaknya gereja, besarnya lambang salib, dan papan-papan pengumuman
besar yang bertuliskan: “Manokwari Kota Injil”, dan tak ada iklan lain yang
terpampang di hampir setiap tikungan jalan di perjalanan itu selain kalimat
itu. Kalimat yang sangat menyesakkan hati.
Saya terus
berharap dan berharap jika melihat ada beberapa rumah (di sana yang disebut
perkampungan adalah beberapa rumah saja), saya sangat berharap melihat masjid,
dan ternyata setiap ada bangunan besar mestilah gereja, walau ada beberapa
masjid saja namun sungguh sangat terkucil dan sedikit.
Di tengah-tengah
hutan atau kampung yang kita lewati jika tampak ada orang, maka saya berharap-harap
dengan mata yang sibuk mencari-cari ingin melihat seorang Muslim, dengan
pakaian peci putih atau peci hitam, atau wanita berjilbab, namun sepanjang
jalan sekitar 3 jam perjalanan tak saya temukan pemandangan itu.
Saya terus
membatin dan merintih, bumi ini milik Allah, kenapa yang makmur adalah rumah
rumah penyembahan pada selain Allah? Bukankah Indonesia adalah negeri Muslimin terbesar
di dunia? Lalu ke mana Muslimin di pulau terbesar ini?
Kupandangi
wajah-wajah mereka yang kita lewati, dan hati terus berdoa: “Wahai Allah,
jadikan orang ini Muslim, jadikan ia mengenal sujud, jadikan ia ummat NabiMu.
Wahai Allah jangan matikan ia kecuali dalam agama ini (Islam).”
Doa ini tak
habis-habisnya terbersit di hati. Jika melihat anak-anak yang bermain gembira
di sekitar sekolah gereja maka aku menangis lagi: “Rabbiy anak-anak ini, wahai
Tuhanku anak-anak ini, jangan Engkau jadikan mereka pastur-pastur yang
memerangi Muslimin kelak, hingga akan murtad di tangan mereka banyak Muslimin.
Wahai Tuhanku, jangan.”
Ingin rasanya
saya turun dari mobil dan bersujud dan menangis sekeras-kerasnya dalam sujud. Tidak
saya melihat ada baliho besar atau papan pengumuman kecuali bertuliskan: “Manokwari
Kota Injil.” Kiri-kanan, gereja dan gereja. Ingin rasanya aku buta agar tak
pernah melihat pemandangan yang mengiris hati seperti ini.
Setelah hampir 3
jam perjalanan dan sudah mendekati wilayah Ransiki, maka tiba-tiba muncul
pemandangan yang mengharukan. Beberapa pemuda dengan motor dan bendera bendera
tampak parkir. Bendera apakah gerangan? Sudut mata saya yang sedari tadi
mencari Muslim ke segenap penjuru dan selalu tak menemukan apa-apa, hanya
memandang dengan setengah hati pada pemuda-pemuda bermotor dengan bendera itu. Ketika
kami semakin dekat, maka bendera semakin jelas. Subhanallah... ternyata
bendera Majelis Rasulullah Saw.!
Beberapa pemuda
dari penduduk asli diantaranya berjaket Majelis Rasulullah Saw. menyambut
kedatangan kami. Subhanallah, saya tertegun tidak bisa turun dari mobil.
Saya hampir tak percaya dengan yang saya lihat. Apakah saya mimpi? Saya hanya
diam di mobil dan menyambut uluran tangan mereka dengan haru. Peci-peci
putih..! Muslimin..! Bendera Majelis Rasulullah...! Jaket Majelis Rasulullah..!
Di wilayah terpencil ini? Beribu puji untukMu wahai Rabbiy.
Tak lama
kemudian puluhan motor lainnya dengan bendera Majelis Rasulullah Saw. pun ikut
menyambut kami, diikuti sebuah mobil bak terbuka yang dipenuhi santri KH. Ahmad
Baihaqi yang memang sedang mudik di kampung halaman mereka ini. Dengan baju-baju
gamis putih, peci putih dan rebana Thala’al Badru ‘Alaina.
KH. Ahmad
Baihaqi adalah seorang pemuda yang aktif dalam perluasan dakwah di banyak wilayah,
beliau adalah murid Almarhum Gus Maksum Lirboyo (KH. Ma’shum Jauhari). Rumah beliau
adalah di wilayah Manggarai Jakarta selatan. Beliau seorang yang sangat gigih
dalam perjuangan dakwah, dengan kehidupan yang sangat sederhana dan semangat
juang yang tinggi beliau terus menembus wilayah-wilayah Irian Barat untuk
menyebarkan dakwah, khususnya pada pemuda-pemudi.
Dan beliau
bersedia pula menjadikan rumahnya di Manggarai sebagai tempat mukim para santri
tersebut, luar biasa. Bukan hal yang mudah memandu, mendidik dan membimbing 30
santri dari Irian Barat, mengajari mereka mengaji, shalat, ceramah, maulid,
qasidah, dan mereka belajar tanpa dibebani biaya apa-apa. KH. Ahmad Baihaqi
berjuang untuk menafkahi santri-santri itu, dan Pihak Majelis Rasulullah Saw. sering
turut membantu dan tak ada artinya dibanding perjuangan beliau.
Kenapa beliau
mengajarkan pula maulid, qashidah dan rebana? Karena untuk berdakwah di wilayah
mereka kelak akan sangat cepat menarik masyarakat jika dengan alat musik
rebana. Karena hal itu juga menjadi hiburan, yang dengan itu bisa merangkul
banyak masyarakat di setiap wilayah.
Beliau sering
kunjung ke Manokwari untuk berdakwah, dan beliau aktif pula sebagai koordinator
Majelis Rasulullah Saw. di pusat, juga sebagai pimpinan cabang Manggarai dan
Manokwari Irian Barat. Jiwa saya seakan menyatu dengan beliau dengan semangat yang
satu pula, pembenahan ummat dan menjadikan Rasul Saw. sebagai idola dan
panutan, dan berjalan dengan manhaj Guru Mulia al-Hafidz al-Musnid al-Habib Umar
bin Hafidz.
Dua tahun yang
silam saya berkunjung ke Manokwari bersama beliau dan mengunjungi beberapa
tokoh ulama, diantaranya adalah Gus Jumhari, Almarhum Gus Ali (Abah Ali), yang
masing-masing telah mempunyai pesantren di perkampungan Transmigran sekitar
kota Manokwari. Dan kemudian disetujuilah untuk membawa santri-santri ke
Jakarta dari anak-anak penduduk asli. Maka merekapun berdatangan ke Jakarta dan
berdomisili di kediaman KH. Ahmad Baihaqi. Dan kemudian Abah Ali wafat, setelah
puluhan tahun berdakwah di wilayah-wilayah Irian Barat. Santri-santri tersebut
memang sedang pulang kampung pada awal dan pertengahan Ramadhan, dan berlebaran
di sana bersama keluarga mereka yang sebagian besar masih beragama Nasrani.
Ketika
rombongan kami, yaitu dua mobil Land Cruiser (karena medan yang kami tempuh tak
bisa dilewati selain mobil 4 wd), tiba di Ransiki, maka seluruh masyarakat
keluar menyambut, kira kira sekitar 200 orang Muslimin-muslimat. Saya turun
dari mobil tidak boleh menginjak tanah kecuali mesti menginjak piring yang
terbuat dari keramik mewah dan berusia ratusan tahun.
Dan ketika
ditanya sudah berapa lama usianya merekapun tidak tahu, dan mereka hanya
berkata piring-piring itu sudah ada sebelum mereka dan ayah ayah mereka lahir. Demikian
adat di sana memuliakan tamu agung, piring besar berdiamater 50 cm itu
disiapkan di bawah pintu mobil, Subhanallah. Kemudian piring itu
dijadikan cindera mata bagi tamu agung tersebut. Sungguh sangat hangat sambutan
mereka, airmata saya terus mengalir karena haru dan gembira bisa berkumpul
dengan Muslimin.
Jamuan makan
pagi pukul 11.00 WIT, diteruskan acara halal bihalal, maulid Dhiyaul Lami’ dan
taushiyah saya di masjid jami’ Ransiki, diakhiri dengan shalat jamaah Dzuhur,
dan kesemua Muslimin-muslimat hadir. Setelah shalat Dzuhur maka kami meneruskan
perjalanan ke Bintuni, jarak tempuh Manokwari-Ransiki 100 km, dan Manokwari-Bintuni
adalah 300 km.
Perjalanan
diteruskan, kami mengunjungi pula sebuah mushalla di wilayah Siwi, satu-satunya
mushalla di jarak tempuh berjam-jam itu sangat dijaga dan dirawat oleh beberapa
Muslimin di wilayah Siwi tersebut, Subhanallah. Dalam puluhan
perkampungan yang jaraknya sangat berjauhan dan berjam-jam perjalanan itu, dan
terpisah-pisah dengan rimba belantara itu hanya ada satu mushalla saja, dan
belum ada masjid.
Sebagian para
santri ada yang tidak dibolehkan lagi kembali ke Jakarta oleh Muslimin di salah
satu wilayah itu. Kenapa? Karena mereka tak punya imam untuk shalat. Dengan
suara lirih dan tertunduk mereka berkata: “Kami sudah masuk Islam tapi kami
ingin tahu caranya shalat, kami belum tahu.”
Maka selama
anak itu bersama mereka, ia menjadi imam. Dan jika anak itu sakit maka tak ada
shalat di wilayah itu. Dan anak itu pula mengajari Tarawih, mereka tak pernah
tahu shalat Tarawih. Dan mereka baru pertamakali pula mengadakan Takbiran di
malam Idul Fithri. Dan jika anak itu meninggalkan mereka ke Jakarta maka tak
ada lagi shalat di wilayah itu. Subhanallah.
Airmata saya
terus mengalir, kita di Jakarta makmur dengan para ulama, habaib, kyai dan para
dai, ternyata ada di wilayah saudara-saudara kita yang sudah belasan tahun
masuk Islam namun ingin shalat tak ada yang mengajarinya. Wilayah kita makmur
dengan masjid dan mushalla serta majelis taklim, namun di sini mushalla ada
untuk wilayah yang mesti ditempuh berjam-jam naik mobil.
Setelah sekitar
1 jam dari Ransiki, kami mengunjungi sebuah perkampungan, yang di kampung itu
hanya ada satu rumah Muslim. Namun Allah Swt. memberikan anugerah padanya,
karena ia dan KH. Ahmad Baihaqi berhasil merekrut beberapa keluarganya untuk
masuk Islam, dan saat kunjungan itu pula dilangsungkan pernikahan antara dua
pemuda muslim dengan dua wanita yang baru masuk Islam. Saya mendapat kehormatan
untuk menikahkannya. Sungguh sangat mengharukan. Kami pun disambut dengan
tarian adat oleh mereka yang masih Nasrani namun mulai mendekati keislaman.
Kami meneruskan
perjalanan ke Bintuni. Jalanan yang sangat sulit dilewati, kubangan lumpur yang
terus menghalangi mobil yang melintas sangat parah dan sulit dilalui. Beberapa kali
mobil Land Cruiser itu menggerung karena terjebak dalam kubangan lumpur. Tinggi
lumpur mencapai 50 cm atau lebih, dan berkali-kali mobil itu miring dan hampir
terguling karena terjebak pada dalamnya lumpur.
Dua mobil kami
terus terseok-seok melintasi medan lumpur sepanjang puluhan kilometer, dan
konon dalam sekali melintas bisa berkali-kali ganti ban karena ban mobil
tercabik batu-batu gunung yang tajam di tengah kubangan lumpur.
Kami tiba di
Bintuni pukul 20.30 WIT, setelah jarak tempuh sekitar 12 jam dari Manokwari. Kami
diperkenankan istirahat di hotel Kabira, satu-satunya hotel di kota Bintuni
yang dilengkapi AC, kami beristirahat.
c.
Kamis
9 Oktober 2008
Kamis 9 Oktober
2008, dinihari sebelum Shubuh saya terkaget dari tidur, ternyata suara gemuruh hujan
deras yang seakan-akan menghancurkan atap dari dahsyatnya. Saya kembali tidur
beberapa saat dan kemudian bangun untuk qiyamullail. Lalu termenung sambil
berdzikir dan doa, sungguh perjalanan yang sangat melelahkan, namun haru dan
gembira.
Ternyata mereka
yang tidak tidur malam itu untuk memasang umbul-umbul Majelis Rasulullah Saw.
dan spanduk serta baliho Majelis Rasulullah Saw. Mereka mengatakan malam itu
hanya hujan gerimis, tak ada hujan deras. Lalu hujan deras apa yang membuat
saya bangun dari tidur semalam? Wallahu A’lam.
Pukul 08.30 WIT/06.30
WIB, riuh suara arak-arakan masyarakat untuk menyambut kedatangan kami sudah
semakin ramai, sekaligus acara halal bihalal. Tabuhan hadhrah yang khas Papua
sangat mengharukan. Ratusan Muslimin sudah memenuhi halaman parkir hotel dan
mereka berdiri memegang spanduk dan baliho menyambut kedatangan saya. Subhanallah...
subhanallah... kami keluar menyambut mereka. Maka riuh sambutan mereka dan
saya berpelukan dengan para tokoh masyarakat setempat, mereka menangis haru,
sebagian orang orang tua menjerit dalam tangis. Ada apakah gerangan?
Sambil berjalan
dengan iring-iringan hadhrah dan arak-arakan kegembiraan mereka menuju masjid,
salah seorang tokoh masyarakat menjelaskan sambil memegang tangan saya, ia
berkata lirih: “Kami sedari dulu hanya dengar saja dari datuk-datuk kami
tentang habib. Kami tak pernah jumpa dengan para habib, kami hanya dengar saja
dari orang-orang tua kami. Dan pagi ini kami bisa berjumpa dengan yang
dinamakan habib, dan inilah pertama kali seorang habib mengunjungi Bintuni
setelah ratusan tahun tak pernah ada kunjungan ke wilayah ini.” Kali ini
saya yang menangis haru. Subhanallah.. oleh sebab itulah mereka
menangis.
Arak-arakan
yang semakin riuh ketika semakin dekat pada masjid, dan para jamaah hadhrah
adalah orang-orang sepuh. Acara dimulai dengan sambutan-sambutan, berdirilah
salah seorang tokoh dan menyampaikan sekilas sambutan, lalu berdiri tokoh
lainnya. Dan dari penyampaian mereka dijelaskan bahwa Islam masuk Papua sebelum
Kristen, dan Islam sudah ada di Bintuni pada abad ke-16 Masehi, kemudian hilang
dan tak tercatatkan sejarah.
Lalu
tercatatkan pula di Bintuni pada abad ke-18 Masehi, dan ada beberapa wilayah
yang diberi nama dengan nama dari bahasa Arab, yaitu wilayah yang dipakai untuk
jalan menuju Bintuni dinamakan wilayah Babo. Mereka berkata bahwa yang dimaksud
adalah Baabussalam, yaitu pintu keselamatan, karena pendatang di masa
lalu mesti melalui wilayah itu untuk masuk ke Bintuni.
Kemudian Maulid
Dhiyaul Lami’ dilantunkan bersama jamaah hadhrah dari putra-putra Ransiki Papua.
Kemudian saya menyampaikan taushiyah dan diakhiri doa. Kami dijamu makan siang
oleh para tokoh, lalu saya berkata pada mereka: “Saya minta dipilihkan
makanan untuk saya oleh tokoh-tokoh, karena saya ingin makan makanan yang
dipilihkan oleh tokoh-tokoh agar saya mendapat keberkahan dari tangan
bapak-bapak yang mulia.” Maka disendokkan pada saya “Papeda” yaitu bubur
sagu yang dihidangkan dengan semacam sop Ikan, masya Allah.
Setelah acara
jamuan maka kami kembali ke hotel, dan saya duduk bercengkerama dengan beberapa
tokoh Islam. Dan mereka menyampaikan beberapa cerita tentang perjuangan Islam,
diantaranya bagaimana Muslimin dihimpit oleh kalangan Nasrani. Mereka menyebut
suatu kejadian beberapa tahun yang silam bahwa di sebuah wilayah antara Sorong
dan Papua terdapat sebuah suku di pinggir pantai. Kebanyakan di wilayah itu
Muslimin namun mereka tak ada lagi yang mengajarkan Islam hingga turun temurun.
Mereka Muslim
tapi tak tahu agama Islam. Mereka sudah tidak kenal syahadat, mereka hanya
mengenal satu ajaran adat, yaitu tak boleh makan babi. Padahal babi adalah
santapan yang masyhur di Irian, mereka menganggap itu hukum adat, padahal itu
hukum Islam. Dan kepala suku mempunyai satu barang yang dikeramatkan, ia adalah
sebuah kotak yang menyimpan pusaka turun temurun yang dipegang oleh kepala suku
dari generasi ke generasi, mereka tak tahu benda apa itu.
Ketika mulai
banyak para nelayan Muslimin yang kunjung, mereka minta sebidang tanah pada
kepala suku untuk mushalla, maka kepala suku mengizinkan. Lalu mereka kunjung
ke rumah kepala suku. Dalam sambutan hangat itu kepala suku menunjukkan pusaka
yang disimpan ratusan tahun dan diwariskan dari datuk-datuknya. Ketika kotak
itu dibuka, maka para nelayan pun kaget dan bertakbir, ternyata isinya adalah
al-Quran yang sudah sangat tua. Subhanallah... mereka ternyata sejak
berabad-abad sudah Muslimin, namun karena mungkin tak ada para dai-dai
pengganti, maka ajaran Islam pun hilang dan tak lagi dikenali. Tinggallah pusaka
yang diwasiati turun-temurun itu yang ada pada mereka, ternyata ia adalah
Kitabullah, al-Quran al-Karim.
Maka kepala
suku ini pun kembali memeluk Islam. Tak lama kabar sampai kepada Koramil dan
kecamatan yang Camat dan Danramil adalah Nasrani, mereka memanggil kepala suku
itu dan mendampratnya habis-habisan karena telah memberi sebidang tanah untuk
Muslimin membangun mushalla. Dan kepala suku dipaksa untuk mengusir mereka dan
kepala suku tetap pada pendiriannya. Maka kepala suku itu ditelanjangi hingga
hanya celana dalamnya yang disisakan.
Lalu ia disiksa
dan dicambuki dengan kulit ikan pari. Ikan pari terkenal dengan kulitnya yang
penuh duri tajam yang beracun. Kepala suku tetap tidak mau merubah
keputusannya, ia tetap ingin mempertahankan pusaka al-Quran dan tak mau
mencabut izin untuk pembangunan mushalla. Subhanallah... dengan kejadian
penjelasan tentang al-Quran itu maka 80 kepala keluarga di suku itu kembali
pada Islam.
Juga diantara
keluh kesah tokoh agama tersebut, mereka berkata: “Di mana dai-dai Muslimin
dari Jakarta? Di mana para hartawan dari Jakarta? Mereka hanya mau
teriak-teriak di televisi. Dan sebagian dari kami tak ada listrik, jikapun
wilayah yang sudah ada listrik belum tentu punya televisi. Lalu dari mana kami
akan mengenal dan belajar Islam?
Kami hanya
dengar dari teman-teman yang punya televisi, bahwa para hartawan di Jakarta
selalu mengirimkan dana uang banyak ke Palestina, Bosnia, Afghanistan,
bagaimana mereka memberi bantuan ke sana dan melupakan kami.
Kami Muslimin yang
sebangsa dengan mereka. Kami masyarakat Papua menerima Republik Indonesia karena
kami tahu Republik Indonesia adalah Muslimin. Namun setelah kami jadi saudara
mereka kami dikucilkan dan ditinggalkan. Mereka jauh jauh mengirim uang banyak
ke luar negeri dan kami di sini susah dan tak mampu membangun mushalla pun.” Masya
Allah…
Pukul 13.30 WIT
kami menuju pulang, diantar tangis airmata para tokoh Muslimin. Setelah
berpelukan, mobil melaju dan kami melihat dari kejauhan mereka masih berdiri
termangu mengantar kepergian kami. Selamat tinggal Kota Bintuni. Kami sempat
mampir ke rumah salah seorang ustadz di perkampungan Transmigran, yaitu di SP 5
(SP=Satuan Pemukiman), lalu kami meneruskan perjalanan pulang.
Akibat hujan
deras semalam, maka medan jalur pulang lebih buruk dari saat kemarin. Land
Cruiser yang saya tumpangi sempat terperosok dan terjebak lumpur dan tak bisa
keluar dari lumpur. Kami beristirahat dan makan siang di pinggir jalan tempat
mobil kami terjebak.
Setelah makan
siang, maka mobil Land Cruiser yang juga bersama kami pun menarik mobil itu
keluar dari cengkeraman lumpur. Usaha yang cukup sulit itu pun akhirnya
berhasil setelah lumpur itu dipacul terlebih dahulu untuk memudahkan mobil
keluar dari jebakan lumpur tersebut. Seakan-akan Bintuni tak mau kami meninggalkannya
dan berusaha menahan mobil kami.
Kami berhenti
sesaat di wilayah Mamai, menurunkan seorang anak santri bimbingan KH. Ahmad
Baihaqi. Ayahnya masih Nasrani, dan sudah mulai tertarik masuk Islam, dan ia
mengizinkan anaknya belajar di Jakarta di bawah bimbingan KH. Ahmad Baihaqi. Saya
berdoa untuk ayahnya dan berfoto bersama, lalu kami pamit dan meneruskan perjalanan,
Kami singgah di
wilayah Kiwi, yaitu mushalla yang dijaga oleh Muslimin yang kami mampiri
kemarin, kami berpamitan. Ternyata mushalla itu dibangun oleh seorang pengusaha
wanita dari Jakarta, Ibu Tuti, demikian mereka menyebutnya. Ibu Tuti
berkediaman di Tebet Jakarta selatan, dan ia sedang di wilayah ini dalam
usahanya, semoga Allah melimpahkan kepadanya keberkahan dan kesuksesan karena
telah mendirikan mushalla yang menjadi satu-satunya mushalla di radius puluhan
kilometer wilayah sekitar.
Kami meneruskan
perjalanan menuju Ransiki. Di tengah perjalanan itu saya sekilas tertidur dan
bermimpi. Saya melihat seorang habib, ia pemuda tampan seusia dengan saya. Ia
dengan pakaian putih berkata pada saya: “Saya dahulu berdakwah di wilayah
ini dan saya dikejar-kejar dan akhirnya saya dibunuh di sini.”
Saya terbangun
dan melihat ke arah kiri tempat perjumpaan kami dalam mimpi, ternyata hanya
semak belukar dan rimba yang gelap. Airmata saya mengalir lagi sambil
melafadzkan al-Fatihah untuknya. Ia membawa dakwah Nabi Saw. di tengah-tengah
pedalaman seperti ini, lalu wafat sebagai syahid dan kuburnya tak dikenali
orang di dalam rimba belantara Irian Barat.
Kami tiba di
Ransiki untuk makan malam dan berpamitan dengan para orang tua santri. Saya
diperlihatkan al-Quran yang disobek-sobek oleh Nasrani di wilayah Ransiki. Saya
tak tahan, saya menciumi al-Quran itu dan menangis sekeras-kerasnya. Merekapun
turut menjerit dan menangis. Saya terlintas untuk marah dan menginstruksikan
balas, namun akhirnya saya tenang, dan berdoa agar Allah hujankan hidayah bagi
semua yang menyembah selain Allah, agar Allah hujani hidayah dan memenuhi Papua
dengan Muslimin dan agar Allah jadikan penduduk Papua sebagai Ahlussujud.
Dan agar Allah jadikan Papua bukan Manokwari kota Injil, tapi sebagai wilayah
Sayyidina Muhammad Saw.
Ketika kami
sudah di mobil, mereka melepas kepergian kami dengan adzan. Lalu selesai adzan
mobil meluncur pelahan dan puluhan muslimin menjerit tangis pilu melepas
kepergian kami di gelapnya malam. Suara jerit tangis mereka benar-benar
menyayat hati. Mereka sangat cinta pada saya dan sayapun demikian.
Saat saya turun
dari mobil anak-anak pemuda papua berebutan menaruh kaki saya di telapak tangan
mereka, karena mobil Land Cruiser itu sangat tinggi hingga saya agak kepayahan
saat turun dari mobil. Mereka berebutan menaruh kaki saya di telapak tangan
mereka, saya menghalau mereka namun mereka tidak perduli menjadikan tangan-tangan
mereka sebagai injakan kaki saya sebelum ke bumi.
Wahai Rabbiy
alangkah suci hati mereka, mereka muallaf, mereka baru memeluk Islam, betapa
mereka mencintai karung dosa ini. Bahkan mereka selalu berusaha menciumi saya,
pundak, tangan punggung, dada, jika mereka ada kesempatan dekat mereka terus
menciumi saya di tubuh sekenanya. Saya menjadi akrab pula dengan mereka, saya
bercanda dengan mereka, berfoto dalam berangkulan dengan mereka, dan mereka
semakin gembira.
Ketika mobil meluncur
meninggalkan Ransiki dan para pemuda setempat, maka tubuh saya terus meriang. Di
tengah hentakan dan guncangan mobil yang terus melewati medan berat, saya terus
dihantui perasaan yang beraneka ragam, sedih, haru, semangat juang, tangis, dan
terus terbayang di wajah saya betapa sulitnya para dai terdahulu di wilayah ini.
Wilayah yang terjauh di Indonesia. Terbayang kepala suku yang baru masuk Islam,
ia dilucuti pakaiannya, disiksa dan dicambuk dengan kulit ikan pari yang
berduri karena membela al-Quran. Ia tetap bertahan dan menahan sakit, padahal
ia baru saja memeluk Islam.
Terbayang
seorang habib muda yang dikejar-kejar lalu dibantai dan dibunuh di tengah rimba
sebagaimana mimpi saya. Terbayang wilayah-wilayah Muslimin yang ingin belajar
shalat namun tak ada yang mengajarinya. Mereka hanya bisa shalat jika berjamaah
dan belum bisa shalat sendiri. Maka jika imam itu (pemuda belasan tahun) sakit
maka tidak ada shalat di kampung itu. Anak muda itu muallaf dan baru saja
belajar shalat. Ia sudah berjuang di wilayahnya mengajarkan shalat.
Terbayang pula
keluhan mereka tentang tidak adanya pengajaran Islam untuk mereka. Mereka hanya
bisa lihat Islam di TV. Dan sebagian besar wilayah perkampungan tidak punya TV,
bahkan listrik hanya ada hingga jam 12 malam, lalu padam. Dan mereka mengeluh: “Lalu
bagaimana kami belajar Islam?”
Terbayang wajah
para santri dari Ransiki Papua yang selalu hadir di majelis malam selasa di
masjid al-Munawar Pancoran Jakarta. Mereka baru belajar dasar agama saja, namun
mereka sudah menjadi dai-dai di wilayahnya dan wilayah sekitar, mengislamkan
keluarganya, mengajak kakaknya masuk Islam, mengajak ibunya masuk Islam, Subhanallah...
betapa mulianya mereka.
Bayangan-bayangan
itu benar-benar mengiris hati saya. Terlintas di hati untuk meninggalkan
Jakarta dan berdakwah di Papua, biarlah saya mati dibunuh dalam dakwah dan
terkubur tanpa dikenali orang di mana kubur saya. Duh... betapa habib muda yang
syahid itu dimanjakan dan dicintai Allah.
Duh... betapa
mulianya anak-anak muda cilik itu yang menjadi kesayangan Rasul Saw. kelak
karena baktinya pada Nabi Muhammad Saw. Mereka mengajarkan shalat, mereka
mengajar ngaji, menyebar Maulid Dhiyaul Lami’, mereka mengibarkan bendera
Majelis Rasulullah Saw., memasang umbul-umbul Majelis Rasulullah Saw. di
wilayah-wilayah mereka. Subhanallah... Saya terus menangis dan tubuh ini
meriang. Setiba di Manokwari kami langsung beristirahat di kediaman Bapak H. Shahib,
dan bermalam.
d.
Jum’at
10 Oktober 2008
Jumat 10
Oktober 2008, pelukan terakhir perpisahan dengan KH. Ahmad Baihaqi dan beberapa
penduduk Ransiki sangat mengharukan. Berat sekali saya ingin melepas pelukan KH.
Ahmad Baihaqi, dia akan terus berjuang lagi sebagaimana saya datang ia sangat
erat memeluk saya. Firasat saya bahwa ia sudah melewati masa-masa berat, dan
ternyata benar. Kini ia harus kembali berjuang sendiri, kami harus
meninggalkannya.
Saya sangat
tidak tega dan berat meninggalkannya, saya terus memeluknya dan saya tak bisa
menahan tangis, dan iapun menangis keras. Saya mulai merasa goncangan dahsyat
di hati, saya harus melepas pelukan ini dan pergi. Hati saya benar-benar pilu
dan pandangan mulai pudar. Saya risau jika saya teruskan maka saya akan jatuh
pingsan, maka saya melepas pelukannya dan berbalik berjalan ke pesawat tak
berani membalikkan tubuh untuk memandangnya lagi. Saya tidak kuat melihat
pemuda mulia itu tegak sendiri memandang kepergian kami. Ia akan terus berjuang
sendiri hingga 23 Oktober 2008 mendatang, ia akan kembali ke Jakarta bersama
santri santri Ransiki.
Saya duduk di
kursi pesawat, saya tulis akhir dari laporan ini. Selamat tinggal Bintuni,
selamat tinggal Ransiki, selamat tinggal mushalla Siwi, selamat tinggal para
pejuang dakwah, selamat tinggal para muallaf yang terus berjuang di tengah
panasnya cuaca hutan tropis. Selamat tinggal Manokwari. Wahai Manokwari, kau
digelari kota Injil. Betapa mencekik gelarmu.
Rabbiy hujani
Papua dengan Hujan Hidayah, bangkitkan kemuliaan Muslimin, menegakkan kedamaian
dan keimanan di wilayah mereka. Tumbuhkan generasi muda-mudi yang mencintai
Rasulullah Saw. Cabut keinginan mereka untuk menyembah selainMu Rabbiy. Hujani
mereka dengan keberkahan dan kemakmuran, singkirkan tangan-tangan kuffar yang
terus meracuni akidah mereka.
Saya
membatalkan keinginan untuk tinggal di Papua, karena jika saya wafat di sana
maka perkembangan ini akan terhambat pula. Biarlah saya di Jakarta, namun kami
akan menyiapkan santri-santri dan muda-mudi yang akan menjadi laskar Muhammad
Saw. di wilayah mereka. Kini pun sebagian dari mereka telah berpencar ke
wilayah-wilayah sekitar mereka, memimpin shalat, mengajarkan iman, mengajak
kepada Islam, dan kita akan terus menyatukan barisan dan memperkuatnya hingga
Manokwari bukan lagi bernama Manokwari Kota Injil, tapi Irian Barat wilayah
Sayyidina Muhammad Saw. Aamiin.
Pesawat kami
mendarat dengan selamat di Bandara Soekarno Hatta Jakarta pada Jum’at petang pukul
20.00 WIB.
B. KOKODA, IRIAN BARAT
a.
Selasa
26 Januari 2010
Selasa 26
Januari 2010 pukul 06.00 WIB, kami empat personil; Mundzir al-Musawa, Saeful
Zahri, Hamidi Sanusi, Muhamad Ainiy, kami meninggalkan Bandara Soekarno Hatta
Jakarta dengan penerbangan Garuda Air menuju Makasar (Ujungpandang). Kami
diantar oleh beberapa crew penyambutan khusus Divisi Majelis Rasulullah Saw.
dari para staf Bandara Soekarno untuk diantarkan ke pintu pesawat dan
memperlancar segala sesuatunya. Mereka pula yang selalu menjadi crew
penyambutan kedatangan para tamu Majelis Rasulullah Saw. termasuk saat
kedatangan Guru Mulia ke Jakarta. Pesawat lepas landas tepat 06.00 WIB menuju
Makasar untuk meneruskan menuju Sorong Irian Barat dengan penerbangan Merpati
Air.
Kami tiba tepat
waktu sesuai jadual, yaitu 09.15 WITA/08.15 WIB, di Bandara Sultan Hasanuddin
Makasar. Lalu segera berpindah ke pesawat Merpati Air dengan jadual keberangkatan
pukul 09.35 WITA/08.35 WIB. Keberangkatan tepat waktu menuju Sorong.
Saya duduk di
sebuah kursi bersebelahan dengan Bang Ipul (Saeful Zahri), lalu tiba-tiba
seorang penumpang mengarahkan foto pada saya dan memfoto sambil terburu-buru
izin memfoto. Selepas itu saya tanyakan padanya apakah ia wartawan? Ternyata bukan
wartawan, dan beliau (saya tidak berkenan menyebut namanya sebab tidak sempat
minta izin untuk menampilkan namanya di laporan ini risau beliau tidak
berkenan), ia seorang karyawan di suatu perusahaan penerbangan dan merupakan
orang yang berada. Terbukti pengakuannya bahwa beliau ke Sorong adalah untuk tamasya
memancing, beliaupun dari Jakarta bersama temannya.
Beliau sangat
mengejutkan saya ketika saya tanya siapa diri beliau, bapak setengah baya itu
berkata: “Saya (…..) saya semalam terjebak macet 1 jam di Pancoran Pasar
Minggu saat majelis ustadz berlangsung.”
Saya bagai
disambar halilintar, saya gemetar walau ia tak melihatnya, saya bertanya: “Maksudnya
terhambat atau bagaimana pak?”
Ia berkata
dengan jelas: “Saya terjebak macet tidak bergerak mobil saya 1 jam lebih
saat bubaran majelis bapak ustadz.”
Saya pun mohon
ampun dan ridha dan terus beristighfar pada Allah Swt. Saya sangat takut dan
sudah berkali-kali menyampaikan pada crew dan aktifis, agar lalu lintas tak
tertutup saat majelis. Sungguh itu dosa besar yang harus saya tanggung, dan
berapa ratus orang yang akan memintai pertanggungan jawab di hari kiamat pada
saya akan hal ini?
Saya terus
menjelaskan bahwa sungguh kami tak bermaksud demikian, namun saat bubaran
memang massa tak tertampung. Saat majelis berlangsung pun Masjid Almunawar
tidak bisa menampung jamaah yang kini berjumlah sekitar 30.000 personil setiap
malam Selasanya dan terus bertambah. Maka saat bubaran massa yang menyeberang
dan lain sebagainya mungkin membuat jalan tertutup, dan itu ternyata bukan
kemungkinan, tapi sudah terjadi, dan mungkin sudah berkali-kali terjadi.
Saya terus
minta maaf padanya dan iapun dengan lapang dada memaafkan dan membuat kami
semakin akrab. Ia tinggal di Depok, dan selama saya berbicara akrab airmata
saya terus mengalir karena sedih dan takut. Bagaimana dengan ratusan orang
lainnya yang saya tak sempat minta maaf padanya? Neraka bagi Mundzir pendosa
ini!
Saya berjanji
pada diri saya dan padanya bahwa malam Selasa yang akan datang kami akan
berusaha membenahi lalu lintas dengan sebaik-baiknya, bersama personil dari
Polda Metro Jaya dan Polres Jaksel dan Polsek setempat.
Kami mendarat
tepat waktu di Bandara Sorong, yaitu 12.35 WIT/10.35 WIB, disambut oleh KH.
Ahmad Baihaqi yang sudah mendahului kami seminggu yang lalu. Kami
kunjung ke rumah bapak seorang anggota DPRD yang almarhum ayah dan kakeknya
membangun beberapa masjid di Sorong dan ia meneruskan perjuangan mereka.
Sekilas saya
terhenyak mendengar keadaan keputusan banyak hal yang lebih cenderung berfihak
pada non Muslim dalam beberapa keputusan dan kebijaksanaan yang diambil
pemerintah setempat. Saya bertanya: “Apakah anggota DPRD setempat kebanyakan
non Muslim?”
Ia menjawab: “Ya.”
Saya bertanya
lagi: “Apakah muslimin minoritas di Sorong?”
Ia menjawab:
“Tidak, bahkan mayoritas.”
“Lalu kenapa
anggota DPRD-nya kebanyakan non Muslim?”
Beliau menjawab
sambil menunduk malu: “Saudara-saudara kita Muslimin yang memilih mereka.”
Saya terhenyak
kaget, airmata tak bisa tertahan lagi, ingin rasanya saya menangis sekeras-kerasnya
atas kejadian ini.
Kami dijamu
makan siang di rumahnya. Ia menyiapkan mobil-mobilnya untuk menjemput dan
mengantar kami. Semoga rahmat dan kebahagiaan selalu berlimpah padanya dan
keluarga beliau, Aamiin.
Dan kami
meneruskan perjalanan ke Teminabuan, sekitar 200 km dari Sorong. Kami mengendarai
mobil sewaan (Mitsubishi Ranger 4x4), sopirnya adalah saudara Asri, ia polos
dan baik. Pemuda itu sangat santun dan membuat saya akrab dengannya. Ia asli
Makassar yang bekerja sebagai sopir sewaan mobil di Sorong.
Perjalanan kami
memakan waktu 6 jam karena kondisi jalan banyak yang rusak dan berkelok-kelok. Walau
sebagian jalan sudah baik namun sebagian masih dalam pembenahan. Namun jauh
lebih baik kondisinya dibanding perjalanan saya 2 tahun yang lalu antara
Manokwari-Bintuni.
Di sepanjang
jalan di luar kota Sorong kami tak menemukan kampung Muslimin. Hanya wilayah non
Muslim dan tempat peribadatan mereka yang megah yang terus terlihat sepanjang
jalan. Namun masyarakat ramah, walau kami semua berpakaian Islami namun mereka
tetap ramah walau mereka non Muslim.
Di tengah
perjalanan mobil kami berhenti, karena seorang tokoh agama non Muslim wanita
yang sudah berusia sekitar 50-an tahun ingin menumpang ke Taminabuan. Maka Asri
memohon izin saya menaikkannya. Karena mobil sudah dicarter untuk kami, tentu
saya mengizinkan. Maka ibu biarawati tersebut naik di bak belakang mobil 4x4
itu bersama barang.
Perjalanan kami
teruskan, lalu sekitar 1 jam kemudian rintik-rintik hujan mulai turun. Hati saya
terasa tercekik, sungguh walau ia non Muslim maka bagaimana ia seorang wanita yang
usianya cukup tua duduk di bak terbuka di belakang dengan terpaan hujan? Ia seorang
pemuka dan guru agama non Muslim, ia tabah dan berdakwah membela agamanya
dengan semangat juang yang luar biasa. Dari kampung ke kampung terus mengajar
dengan sukarela sepanjang hidupnya mengabdi pada agamanya, sampai rela duduk di
bak belakang mobil dalam keadaan hujan dan panas. Ia wanita, sudah cukup lanjut
usia, demikian tabahnya dai non Muslim ini. Hati saya seperti tercabik-cabik,
saya malu, malu sekali.
Hujan mulai
deras, saya tak tahan lagi dan memegang tangan Asri: “Berhenti Asri, berhenti.”
Maka Asri
menghentikan mobil, saya katakan padanya: “Saya mau pindah ke belakang bak terbuka
menggantikan posisi ibu itu, biar ia naik di depan tempat saya duduk.”
Asri kaget dan
marah: “Tidak mungkin habib turun pindah ke bak belakang! Habib sudah carter
mobil saya. Ini hujan habib!”
3 personil yang
bersama saya dan KH. Ahmad Baihaqi yang duduk di jok belakang. Saya pun turun
dan merekapun turun untuk beramai-ramai pindah ke bak belakang. Saya memerintahkan
mereka tetap dalam posisinya, cukup satu orang yang menemani saya di bak belakang.
Sudah ada satu orang penjaga barang di belakang, dan mereka pun sangat
bersempit-sempitan 4 orang di kursi belakang saya.
Ibu itu tak mau
pindah, ia malu dan haru. Maka saya terus memaksanya pindah atau saya tak mau
naik mobil. Maka ia pun pindah ke depan. KH. Ahmad Baihaqi bersama saya di
belakang, perjalanan berlangsung sebentar maka mobil berhenti. Bang Ipul turun
untuk meminta saya pindah ke tempatnya, maka saya tetap tidak mau. Saya duduk
dan mengatakan malas berdiri lagi, ganti saja KH. Ahmad Baihaqi ke depan, saya
tidak mau pindah, maka demikian bergantian beberapa waktu terus 4 personil
bergantian pindah ke belakang, dan saya tetap pada posisi saya tak mau pindah,
mereka saja bergantian.
Saya duduk di
bak belakang untuk membalas pilu saya akan semangat seorang wanita tua itu yang
penyeru kepada agama non Muslim. Aku seorang penyeru ke jalan Allah, aku malu
pada Allah, patutnya aku berjalan kaki 200 km bukan duduk di bak terbuka yang
masih bisa santai.
Hujan menerpa
wajahku dan angin, terakhir asri berhenti dan turun dari mobil: “Habib saja
bawa mobil, saya ingin gantikan posisi habib.”
Saya menghardiknya
sambil bercanda: “Tetaplah pada posisimu menyupir bang Asri, bawalah mobil
sekencangnya, saya sedang menikmati perjalanan ini! Asri tidak mau lihat saya
senangkah?”
Ia pun menurut
dan meneruskan perjalanan dengan sekencang-kencangnya, mobil terhempas-hempas
di jalan dan saya sering memegangi peci saya agar tidak tertiup angin. Derasnya
hujan terus menerpa wajah ini, terpaksa saya buka kacamata karena terus
dibasahi hujan. Saya memakai jaket Majelis Rasulullah, dan saya membatin pada
diri ini: “Kau di Jakarta dimanjakan, ribuan orang berebutan ingin mencium
tanganmu, kau dimuliakan dan disanjung, perjuangan dakwahmu hanya sebatas naik
turun mimbar dalam kemuliaan dan sanjungan. Sekarang patut kau rasakan dakwah
yang seperti ini, inilah medan seorang dai penyeru ke Jalan Allah. Wahai tubuh
rapuh yang sakit-sakitan, kau terlalu dimanjakan, kau harus merasakan juga
dakwah yang seperti ini!”
Lalu setan
membisikiku: “Kau sudah banyak penyakit, ada peradangan di otak belakang, asma,
bahkan pernah dua kali terkena stroke, sering tertatih-tatih berjalan dan
sering tidak mampu berdiri karena lemah saat menyampaikan ceramah. Duduklah di tempat
yang layak bagimu di kursi depan.”
Maka kujawab
dengan menghardik diriku sendiri: “Rasakan lezatnya dakwah, duduk di tempat
itu dan bertahan, wahai Mundzir pendosa, pemalas dan manja!”
Tubuh serasa
hancur dihempas-hempas dalam speed tinggi di bak belakang. Angin terus menerpa,
menggigil tubuh kedinginan terkena terpaan angin petang dan hujan. Bertahanlah wahai
Mundzir pemalas!
Kami tiba di
Teminabuan pukul 20.45 WIT/18.45 WIB. Ibu itu turun dan mengucap terimakasih
haru. Saya hanya tersenyum, inilah kerukunan ummat beragama, Muslim harus lebih
sopan dari non Muslim, dai Muslimin harus lebih berkorban demi kaum wanita
apalagi sudah lanjut usia walau non Muslim. Semoga ia mendapat hidayah. Ia turun
sambil tercenung dan berkata lirih berkata pada Asri sambil tertunduk malu:
“Pak haji itu baik sekali ya.”
Aku teringat
riwayat bahwa Sayyidina Ali Kw. tidak mau melewati seorang tua yang berjalan
tertatih-tatih, hingga ia terlambat menemui shalat jamaah bersama Rasul Saw. Dan
Rasul Saw. melamakan rukuknya. Selepas shalat para sahabat bertanya: “Wahai
Rasulullah, engkau melamakan rukuk tidak seperti biasanya?” Rasul Saw. menjawab:
“Bahuku ditahan oleh Jibril As. untuk tidak i’tidal, demi menanti Ali bin
Abi Thalib hingga ia tiba dan masuk di shaf, karena adab kesopanannya terhadap
orang tua.”
Aku teringat
akhlak Rasul Saw. yang ketika seorang yang selalu memusuhi dakwah beliau Saw., yaitu
tokoh Quraisy non Muslim membuat jebakan untuk beliau Saw. agar terpuruk dalam
lobang. Namun ia sendiri yang terjatuh dalam lobang yang digalinya. Siapa yang
menolongnya? Rasulullah Saw. yang menolongnya dari jebakannya sendiri yang
diperuntukkan untuk Rasul Saw. Padahal ia kafir Quraisy yang terus menyusahkan
dan mempersulit dakwah Rasul Saw.
Kami masuk ke
sebuah hotel, sederhana namun dilengkapi AC. Saya cukup kaget mendengar harga
sewa 1 kamar antara 300 hingga 400 ribu rupiah. Kamar standar hotel berbintang
tiga di Jakarta seharga itu, namun jauh lebih mewah dari ini. Kamar seperti ini
di Jakarta mestilah berkisar 100 ribu atau kurang. Namun karena jauhnya dari
Jakarta dan susah serta mahalnya barang-barang karena jauh dari Ibukota,
membuat semua harga menjadi mahal di sini, sebagaimana sewa mobil 4x4 itu
sebesar 1,5 jt rupiah, itupun sudah dikorting oleh Asri karena kami Muslimin sebgaimana
iapun seorang Muslim.
Saya membayar dengan
sedikit melebihkannya, Asri menangis, ia tertegun: “Habib sudah duduk di bak
belakang, bagaimana habib membayar lebih pula.”
Saya katakan
sungguh karena saya senang dalam perjalanan ini, dan saya menyayangi Asri yang
berbudi baik dan polos. Ia pun diberi peci putih oleh H. Hamidi, ia gembira
memakainya dan tertawa-tawa bangga. Kami semakin akrab. Saya tunjukkan cuplikan
beberapa detik majelis besar event Majelis Rasulullah Saw. di Monas 4 Februari 2010
lalu dari hp saya. Ia bertakbir dan menjerit dan menangis, haru betapa
dahsyatnya dan jumlah massa ratusan ribu yang terlihat hadir, dan lebih haru
bahwa orang yang di hadapannya adalah pimpinan majelis itu.
Lalu kami masuk
hotel itu untuk mandi dan shalat jamak Maghrib dan Isya, lalu kunjung ke
undangan makan malam di rumah Bapak Syamsuddin. Dihadiri pula oleh Raja Tarof (Ketua
Kampung Tarof) dan beberapa tokoh sepuh setempat. Jamuan akrab dan airmata tak
berhenti mengalir haru melihat hangatnya jamuan mereka.
b.
Rabu
27 Januari 2010
Keesokan harinya,
Rabu 27 Januari 2010, kami bertolak dengan kapal sewaan menuju Kokoda. Sekitar 200
km lagi yang mesti kami tempuh dalam perjalanan menyusuri pantai dan sungai
menuju Kokoda. Biaya sewa kapal yang dilengkapi 4 motor itu sekitar 10 juta
rupiah. Namun Bapak Syamsuddin berkata bahwa tidak perlu keluarkan biaya, ia yang
menanggungnya.
Hancur hati ini,
wahai Allah muliakan ia dengan semulia-mulia keadaan, dunia dan akhirat. Aku malu,
di Jakarta seorang Muslim sulit mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah untuk
membantu dakwah Nabi Saw., namun di sini seorang tokoh masyarakat yang bukan
merupakan ulama besar, bukan pula pengusaha besar, rela mengorbankan dana
sebesar itu demi sampainya saya ke Kokoda. Wahai Allah, jamulah ia setiap detik
dalam keluhuran dan kebahagiaan, dan sebagaimana ia menjamin perjalanan kami
maka jaminlah ia dan keluarganya dunia dan akhirat dalam jamuan kebahagiaan. Aamiin.
Pendanaan
keberangkatan ini sebagian dari partisipasi jamaah milis Majelis Rasulullah Saw.
sebesar 16 juta rupiah, sisanya dari beberapa donator dan pribadi, dan sisanya
pinjam dari beberapa jamaah Majelis Rasulullah Saw.
Rabu 27 Januari
2010, dinihari saya terbangun untuk memujiNya. Lalu saya menulis laporan di kursi
plastik, menghadap sungai yang demikian derasnya di bawah hotel ini. Dan saya
tumpahkan semua yang masih terekam di fikiran saya hari itu. Lalu kami shalat Shubuh
di masjid dekat hotel Nusa Indah, Teminabuan, kira-kira beberapa orang saja yang
hadir.
Lalu selepas Shubuh
mereka meminta saya menyampaikan sedikit taushiyah, lalu jamaah berpisah dan
kami kembali ke hotel, meneruskan dzikir. Dan pukul 7 pagi waktu setempat kami
dijamu sarapan di rumah Bapak Syamsudin. Kami membaca Maulid Dhiyaul Lami’ yang
pertamakalinya dikumandangkan di Teminabuan, sekaligus mendoakan rumah barunya
itu yang kelak akan ditinggalinya.
Selepas maulid
saya menyampaikan taushiyah sekilas, lalu sarapan pagi. Selepas itu tampak
Bapak Syamsudin kebingungan saat menerima telpon, wajahnya pucat dan bingung: “Maaf
habib, kapal yang mesti habib tumpangi kandas di pantai!”
Saya pun kaget,
lalu kami bersama sama diikuti Asri menuju Pelabuhan. Benar saja, kapal itu
kandas di pemarkiran kapal. Sebab semestinya semalam nahkoda menyiapkannnya di dermaga,
namun ia ketiduran, maka kapal dibiarkan di pemarkiran kapal. Maka saat pagi laut
surut dan kapalpun kandas.
Ia tampak risau
dan bingung, para Muslimin pun berteriak-teriak: “Kita dorong bersama-sama..!”
Mereka pun turun.
Subhanallah… saya diminta menunggu di masjid dekat pantai. Saya bisa ke
toilet atau i’tikaf di masjid sementara menunggu kapal didorong. Usaha baru
selesai jam 09.30 WIT. Saya turun dari masjid kapal sudah di dermaga siap
mengantar kami.
Kami meluncur
menuju Kokoda, Kapal Dishub adalah yang terbaik di Teminabuan. Ia dilengkapi 3
mesin, maka perjalanan menjadi lebih cepat. Umumnya membutuhkan waktu 8-12 jam,
namun jam 13.30 WIT kami sudah tiba di Kokoda.
Sepanjang 4 jam
perjalanan saya terus termangu-mangu memikirkan keadaan, wilayah yang
terpencil, telepon belum masuk, listrik baru di Teminabuan dan itupun hanya
malam saja, guru pengajar berupa ulama atau pesantren tidak ada di Taminabuan,
namun mereka bertahan dengan bimbingan dari Bapak Syamsudin dan Raja Tarof.
Di tengah derasnya
hempasan kekuatan dakwah agama non Muslim, sekolah-sekolah non muslim bahkan universitas
berdiri, dan Muslimin terlihat sangat terkucil di wilayah ini dan terus semakin
terpuruk. Saya percaya kedua orang baik dan beberapa gelintir orang mulia dan
beriman di wilayah itu akan terus bertahan. Semoga santri-santri yang dibawa ke
Jakarta akan segera kembali dan berdakwah pula di Teminabuan. Semoga Matahari
Dakwah telah terbit dengan berkumandangnya Maulid Dhiyaul Lami’ di Teminabuan. Aamiin.
Kami meluncur
menuju Kokoda, wilayah Muslim ketiga yang dimasuki ulama Hadhramaut yang tiba
dari Gujarat ke Fakfak, lalu Babo, lalu Kokoda. Mereka membangun masjid an-Nur di
Kokoda. Dan kata-kata yang masyhur dari ucapan para ulama Hadhramaut itu adalah:
“Kami Taruhkan Cahaya di Kokoda”, maka di sana terdapat masjid an-Nur. Saya
semakin penasaran untuk sampai di Kokoda, wilayah yang ratusan tahun lalu
dikunjungi para habaib, dari keluarga Assegaf, al-Habsyi, al-Hamid, dll. yang
kemudian tidak disentuh para habaib ratusan tahun berselang.
Konon wilayah
kokoda semakin tak mengenal shalat lima waktu, hanya shalat Jum’at yang masih
dikenal di wilayah itu. Namun kedatangan KH. Ahmad Baihaqi membawa beberapa
santri dari Kokoda, dan kembali ke sana beberapa waktu yang lalu, benar-benar
membuat hidup masyarakat Kokoda. Mereka para sepuh dan dan tetua kampung
terharu dan mendukung penuh dengan semangat yang kembali terbit, setelah
ratusan tahun tempat itu tak pernah lagi dikunjungi para habaib.
Salah seorang
santri yang dibawa ke Jakarta mengirim surat pada ayahnya di Kokoda, diantara
tulisan di suratnya: “Ayah, jangan tinggalkan shalat lima waktu, dan pesan
Habib Mundzir perbanyak dzikir Yaa Allah Yaa Allah.”
Sejak itu
ayahnya dan keluarganya tak lagi minum minuman keras, mulai mendirikan shalat
lima waktu, Subhanallah.
Kami mendekat
ke Kokoda, pemandangan yang sangat mengharukan, 3 perahu rakit dengan bendera
Majelis Rasulullah Saw. menyambut kami dengan para anak murid didik KH. Ahmad
Baihaqi dari Jakarta yang sudah berada di lokasi menjemput kedatangan kami
dengan Thala’al Badru ‘Alaina.
Kami merapat di
pelabuhan Kokoda pukul 14.30 WIT. Maka masyarakat seluruhnya sudah ramai di
pelabuhan menyambut kedatangan kami. Mereka bertakbir dan shalawat. Ucapan
takbir dan shalawat adalah ucapan sambutan terhangat untuk tamu-tamu besar.
Para tokoh masyarakat
bahkan ketua tokoh agama yaitu Ayahanda Bapak Abas Totorago, yang merupakan
anak dari Bapak Raja Tarof, turut menyambut kedatangan kami. Kami terus diarak
dengan hadhrah ke masjid an-Nur. Sambutan sekilas, lalu kami dipersilakan ke
rumah yang disediakan khusus untuk kami. Pemilik rumah sudah wafat beberapa
waktu yang lalu. Rumah ini cukup bagus di wilayah Kokoda, namun tidak ada
listrik, tidak ada jaringan handphone apalagi telepon.
KH. Ahmad Baihaqi
membawa mesin diesel untuk penerangan kami di rumah ini. Kampung ini
keseluruhannya mayoritas Muslimin, dan seberang kampung adalah mayoritas Nasrani,
namun tidak ada permusuhan. Kerukunan ummat beragama sangat terjaga di wilayah
ini.
Maghrib, jamaah
sudah memenuhi masjid, setelah diumumkan saya akan menyampaikan taushiyah di masjid
an-Nur. Pria dan wanita sudah ramai, shalat Maghrib berjamaah dilakukan dengan
sangat tertib dan khusyu. Banyak orang Muslim yang baru pertama kali shalat
walau mereka sudah lanjut usia. Dan masih tersisa banyak yang duduk di rumah
saja tanpa ikut shalat. Segala puji bagiMu wahai Allah.
Kemudian saat
adzan Isya dikumandangkan, semakin banyak masyarakat berdatangan. Mereka yang
saat Maghrib tidak datang mungkin merasa terpanggil untuk datang, juga diajak
oleh teman temannya, maka para anak-anak, pemuda-pemudi, sampai yang sudah
lanjut usia memenuhi masjid dan masjid an-Nur tidak lagi bisa menampung jumlah
mereka. Bahkan Ketua Kampung datang dan para imam dari wilayah Kabupaten Kokoda
Sorong Selatan pun berdatangan setelah mendapat info dari KH. Ahmad Baihaqi
bahwa saya akan datang di wilayah ini. Mereka senang, bangga dan gembira,
dengan lapang dada.
Ayahanda Putra
Raja Tarof menyampaikan sambutan, bahwa sudah ratusan tahun Kokoda tidak lagi
dikunjungi para habaib. Dan kini habib tiba bersama kita. Acara diteruskan dengan
Maulid Dhiyaul Lami’. Mereka semakin semarak dan gembira, lalu saya
menyampaikan taushiyah, mereka termenung, menangis dan terharu.
Saat acara
selesai pukul 21.15 WIT, maka airmata masih mengalir di wajah mereka. Berebutan
gembira untuk bersalaman pun terjadi sebagaimana di Jakarta. Mereka berdesakan
maju untuk bersalaman dengan saya. Setelah kesemuanya kebagian bersalaman, kami
makan malam di rumah Bapak Kadir Anggiluli, ia sangat membantu kami. Lalu kembali
ke rumah yang disediakan untuk beristirahat, kami beristirahat.
Pukul 03.00 WIT,
dinihari saya terbangun dan diantar KH. Ahmad Baihaqi ke kamar kecil (toilet). Konon
itu adalah satu-satunya toilet yang ada, dan sebagian mereka bersuci dan
mencuci di sungai.
Kutulis laporan
ini dengan haru, kami dijaga oleh 6 orang penjaga, yaitu dua orang di depan,
dua orang di pintu belakang, dan dua orang di samping rumah. Demikian perintah
ketua kampung. Saya mengatakan agar tak perlu kami dijaga, namun mereka
bertahan: “Kami menjaga hamba Tuhan, kami menjaga tamu Allah, kami gembira.”
Pagi ini kami insya
Allah akan subuh di masjid an-Nur. Lalu makan pagi dan meneruskan perjalanan ke
Nebes, wilayah yang juga pernah dikunjungi para habaib dari Gujarat yang
berasal dari Hadhramaut Yaman. Perjalanan kira-kira 1 jam dengan perahu motor
kecil. Insya Allah.
c.
Kamis
28 Januari 2010
Pagi Kamis 28
januari 2010, Shubuh berjamaah yang cukup banyak dan merupakan Shubuh terbanyak
setelah ratusan tahun hampir tak ada shalat Shubuh di masjid an-Nur.
Suatu hal yang
menarik dan mengejutkan adalah hewan-hewan yang berkhidmat pada kami. Ketika saya
keluar menuju masjid untuk shalat Shubuh, sungguh hati ini membatin: “Wahai
Allah, rumah ini tidak ada kuncinya, terbuka begitu saja hanya dilengkapi
pengganjal pintu dari dalam dan luar. Sedangkan di kamar ada laptop dan benda-benda
elektronik berharga lainnya. Dan para penjaga semua shalat Shubuh. Kutititpkan
padaMu wahai Allah.”
Sepulang dari
masjid saya kaget, di pos penjagaan depan rumah duduk dua ekor kambing yang
bangun sambil duduk menjaga dengan kepala tegak. Lalu seekor kambing lagi duduk
siaga di depan pintu rumah sambil bersimpuh. Tak ada orang bisa masuk kecuali
harus menginjaknya lebih dahulu.
Saya terpana,
sungguh jika sekilas merupakan hal biasa. Namun jika difikirkan dengan logika,
tak ada kambing berkeliaran di pagi buta, apalagi dua ekor duduk bersimpuh di
pos jaga yang kosong, dan satu di pintu rumah dengan keadaan duduk bersimpuh
dengan keadaan siaga, yaitu kepala terangkat. Saya teringat laba-laba yang
menjaga Rasulullah Saw.
Dan teringat
cerita nyata sahabat saya yang berdakwah ke Pulau Komodo, Nusa Tenggara, tidak
ada orang yang datang ke masjid. Saat maulid dikumandangkan maka tak satupun
orang hadir, maka keluarlah rusa-rusa liar dari hutan, berdatangan ke luar masjid,
dan banyak komodo bahkan Raja Komodo yang sudah 40 tahun tak pernah keluar dan
terlihat. Hewan sangat besar dan langka itu datang dan muncul bersimpuh di
dekat masjid mendengarkan Maulid Nabi Saw. hingga selesai. Masyarakat dan turis
yang sedang di Pulau Komodo berdatangan bukan ingin hadir maulid tapi kaget
menonton Raja Komodo itu.
Demikianlah
alam, mereka tunduk dan hormat pada Sayyidina Muhammad Saw. dan dakwah sang
Nabi Saw. Teringat pula kisah seorang sahabat Ra. yang ketika ia tersesat dalam
dakwah setelah wafatnya Rasul Saw., maka seekor singa besar datang. Lalu sahabat
Rasul Saw. itu bekata: “Aku adalah khadim (pembantu) Rasulullah Saw.” Maka
singa itu menunduk dan merendahkan kepalanya dan punggungnya sambil mengaum
pelahan, seakan memerintahkan sahabat Rasul Saw. itu naik ke punggungnya. Maka iapun
naik, dan singa mengantarnya ke pemukiman terdekat. Sedemikian banyak riwayat shahih
lainnya akan hal ini.
Pukul 07.30 WIT
kami meluncur ke Nebes (Negara Besar), kira-kira 90 menit dengan perahu kecil
dari Kokoda, mengunjungi wilayah yang cukup terpencil namun mayoritas Muslimin,
juga wilayah yang pernah dikunjungi para habaib terdahulu dan terdapat masjid
tua al-Jihad pula di sana. Hadir pula menyambut kami Imam Dobak Bapak Aliman
Gogoba dan Imam Kopdan Bapak Ahmad Kokoba. Kiri saya Ketua Kampung Kokoda yaitu
Bapak Rauf Biyawa dan beberapa santri akan dibawa dari Nebes, Kokoda,
Teminabuan, Bintuni dll. Insya Allah Minggu depan mereka menuju Jakarta dengan kapal
laut bersama KH. Ahmad Baihaqi. Kami juga sempat melewati dua masjid yang baru
ada pancangnya yang akan dibangun di Nebes, kami berdoa.
Semalam kami
sempat berjumpa dengan Imam Siwatori Bapak Muharam Namugur, beliau mengundang
dan meminta kami kunjung ke Siwatori. Namun dengan sangat menyesal kami tak
bisa, karena waktu dan jauhnya perjalanan yang mesti ditempuh 4 jam berjalan
kaki dari Kokoda ke Siwatori, tidak ada angkutan kecuali berjalan kaki.
Perjalanan
sungguh sangat berat, khususnya saat pulang. Matahari panas terik hutan tropis
menyorot tepat ke belakang kepala ini, maka sakit kepala saya mulai kambuh. Ketua
Kampung Kokoda yang ikut dengan kami memayungi saya dan saya menolak. “Biarlah
sama-sama dengannya karena ia lebih sepuh.”
Saya hanya bisa
menutupkan rida’ (kain sorban) di kepala dan leher belakang demi
matahari tidak terus menyoroti belakang kepala saya, yang memang terkena
peradangan di otak belakang beberapa waktu berselang. Saya menahan sakit terus
sepanjang jalan karena obat-obatan ditinggal di Kokoda.
Kami tiba di
Kokoda pukul 10.30 WIT, langsung menuju Teminabuan dengan perahu Speed Boat
selama 5 jam. Saya sempat rebah tak berdaya di Speed Boat, dan setiba di
Teminabuan pukul 16.30 WIT kami shalat Dzuhur dengan Ashar jamak, dan makan di
sebuah restoran dan meneruskan pulang ke Sorong bersama Asri.
400 km dari Kokoda
ke Sorong kami tempuh, 200 km dengan Speed Boat, 200 km dengan mobil, cukup
membuat tubuh terasa hancur terkena hempasan ombak sungai, laut, dan jalanan hingga
tiba di Sorong.
d.
Jum’at
29 Januari 2010
Laporan ini
saya tulis di penginapan di Sorong dinihari Jum’at 28 Januari 2010. Esok Jum’at
siang, pesawat Insya Allah membawa kami ke Makasar, untuk menghadiri Majelis majelis
besar di Makasar bersama Habib Mahmud al-Hamid di Makasar.
Jum’at 29
Januari 2010, siang kami sudah di Bandara Sorong. Pelukan haru dan tangis keras
KH. Ahmad Baihaqi yang berat sekali berpisah dengan kami, ia akan meneruskan
tugas ini sendiri, belum lagi ongkos membawa 30 santri ke Jakarta, dari Kokoda,
Teminabuan, Nebes, Bintuni, dll. Saya akan coba membantunya dari Jakarta jika
ada kelebihan dana akan saya kirimkan. Belum lagi menghadapi orang tua murid yang
barangkali tidak mudah begitu saja melepas kepergian anaknya kecuali dengan
perjanjian berat.
Kami berangkat
menuju Makassar dan tiba di Makasar sore, disambut oleh Habib Mahmud al-Hamid,
seorang penggerak dakwah di kota Makassar. Usianya di atas saya beberapa tahun
saja, namun semangatnya sangat berkobar menerobos wilayah yang hampir pudar
dari gelombang dakwah Sang Nabi Saw. Beliau menyiarkan maulid, qashidah dll. di
masjid-masjid Makassar yang hampir pudar dari hal-hal yang berbau Ahlussunnah wal
Jama’ah. Semoga Allah Swt. mencurahkan keluhuran, kemudahan dan kesuksesan pada
perjuangan beliau di kota Makassar, Aamiin.
e.
Sabtu 30 Januari 2010
Saya tiba di
Bandara Soekarno Hatta sore Sabtu 30 Januari 2010. Hati terus termenung dan
risau, wilayah-wilayah seluruh Indonesia bahkan dunia sangat butuh para penyeru
untuk masuk dan memberi mereka kejelasan. Mereka haus dan siap menanti
kedatangan para dai. Namun di lain fihak keterbatasan semangat, waktu dan dana
yang membuat terhambatnya perluasan dakwah ini.
Tangisan airmata
dan doa selalu untukmu wahai Kokoda, wahai Teminabuan, Wahai Nebes, Wahai
Makasar, Wahai Denpasar, Wahai Jakarta, wahai seluruh wilayah barat dan timur. Semoga
Allah Swt. memberi kekuatan dan kemudahan pada hamba dhaif pendosa ini yang
tertatih-tatih berusaha dengan segala kedhaifannya membenahi wilayah semampunya.
Juga semoga kemudahan dan semangat terhujankan kepada seluruh para dai di muka
bumi untuk bersama-sama bangkit membenahi ummat di wilayahnya dan wilayah-wilayah
Muslimin, Aamiin.
Kami baru
mendapat kontak dengan KH. Ahmad Baihaqi, beliau mengabarkan bahwa 15 menit
setelah kami meninggalkan Kokoda, terjadi hujan deras, lalu panas sesaat, lalu
hujan deras lagi, demikian hingga tiga kali berturut-turut, hingga masyarakat
berebutan mengambil air hujan.
Sementara itu
di masjid at-Taqwa Teminabuan, masyarakat memenuhi masjid waktu Maghrib hari
itu karena menyangka saya akan hadir menyampaikan taushiyah di masjid tersebut.
Mereka memenuhi masjid dan semua banyak membawa air mineral untuk minta air doa.
Mereka kecewa karena saya sudah meninggalkan Teminabuan sore itu menuju Sorong.
Subhanallah... Mundzir pendosa telah meninggalkan mereka, namun Allah Swt.
akan terus merahmati mereka, Aamiin.
Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 23 September 2013
Diedit ulang dari :
Koleksi foto perjalanan
dakwah Manokwari 2008 bisa dilihat di fp ini:
Dokumentasi
perjalanan dakwah al-Habib Mundzir al-Musawa ke Kokoda, Irian Barat bulan Januari
2010, berbentuk video bisa didownload di www.majelisrasulullah.org atau di
youtube.
izin share
BalasHapusizin share....
BalasHapusSilakan halal semuanya
BalasHapus