Halaman

Senin, 05 Agustus 2013

TRAGEDI EKSEKUSI AL-HALLAJ

TRAGEDI EKSEKUSI AL-HALLAJ

Oleh: KH. Husein Muhammad

Husein Manshur al-Hallaj, lahir 858 M, nama yang melegenda dalam dunia sufisme. Ia sufi yang mendeklair: “Ana al-Haqq” (Akulah Sang Kebenaran). Kata-kata ini mengguncang dan menggetarkan nurani jagat raya manusia. Ucapan itu bagai halilintar menggelegar yang menghantam dan meluluhlantakkan bumi manusia. Sahl at-Tustari, Syaikh Junaid dan Syibli, para guru sekaligus sahabat-sahabatnya, terpana dan shock berat. Oh, Hallaj, seharusnya kau tak sebarkan rahasia Tuhan itu kepada publik semacam itu. Mereka tak paham. Biarlah kata-kata itu menjadi milik hati kita saja?

Para penguasa pengetahuan keagamaan eksoterik, literal, konservatif dan ortodoks: para ahli fiqh dari segala aliran, para ahli hadits, dan para teolog, meradang dan marah luar biasa. Demonstrasi besar-besaran berlangsung di mana-mana, di seluruh negeri. Puluhan otoritas agama eksoterik itu menghimpun tandatangan dan berebut membubuhkannya, menuntut kematiannya. Mereka mengeluarkan fatwa: “Bunuh dia, darahnya halal ditumpahkan.”

Hallaj, keluarga dan para pengikutnya ditangkap dan dijebloskan di penjara. Peradilan terhadapnya kemudian digelar. Para jaksa menuduh: “Dia telah melakukan kejahatan berlapis.”

Secara politik dia dianggap agen gerakan Qaramit, salah satu sekte Syi’ah Ismaili, sayap garis keras dan brutal. Gerakan Politik Sparatis di bawah pimpinan Hamdan al-Qarmathi ini telah lama menentang kekuasaan dinasti Abbasiyah dan berusaha menggulingkannya. Mereka acap melakukan pemberontakan di mana-mana.

Secara agama al-Hallaj dituduh tukang sihir dan zindiq (Atheis). Pembelaan yang cerdas dan jujur tak mampu melawan tekanan massa emosional dan represi-represi politik pencitraan. Pengadilan akhirnya menjatuhkan vonis: “Husain Manshur al-Hallaj dihukum mati.” Tok tok tok. Kekuasaan politik mendukung putusan ini.

Khalifah al-Muqtadir Billah menandatangi vonis itu. Al-Hallaj tak gentar atas vonis ini. Dia sudah mengetahui dan sudah lama menginginkan kematian seperti ini. Meski gurunya Syaikh al-Junaid dari Baghdad memberi nasehat, dia tak surut, tak bergeming. Dia dengan lugas mengatakan:

وَاِنْ قُتِلْتُ اَوْ صُلِبْتُ اَوْ قُطِعَتْ يَدَاىَ وَرِجْلَاىَ لَمَا رَجَعْتُ عَنْ دَعْوَاىَ

“Biar pun aku dibunuh atau disalib atau dua tangan dan kakiku dipenggal,  aku tak surut untuk mendakwahkan kebenaranku.”

Pagi hari, tanggal 27 Maret 922, eksekusi mati dilaksanakan di hadapan ribuan pasang mata merah yang terus meradang dan tak henti berteriak histeris. Yel-yel Allah Akbar, Allah Akbar menggelegar. Sejumlah ulama fiqh, hadits dan kalam menjadi saksi. Faqih literalis ekstrim sekaligus orang yang paling bertanggungjawab atas fatwa mati dan pengadilan Hallaj: Muhammad bin Daud (w. 297 H), berdiri paling depan.

Sejumlah sufi besar juga hadir, meski memperlihatkan sikap dan suasana batin yang berbeda, menyaksikan peristiwa paling dramatis ini. Mereka, untuk menyebut beberapa saja, adalah Abu al-Qasim al-Junaid, Abu Bakar asy-Syibli (w. 334), Ibrahim bin Fatik. Yang terakhir ini adalah sahabat setia yang selalu menemani Hallaj di penjara. 

Tak jelas benar bentuk hukuman mati untuk Hallaj itu, apakah di tiang gantungan, dipenggal atau disalib di pelepah kayu keras. Mungkin tak penting betul untuk dijawab. Tetapi beberapa menit menjelang kematiannya, meski tubuhnya dililit rantai besi, Hallaj dengan riang, seperti akan bertemu kekasih, menengadahkan wajahnya ke langit biru yang bersih, seakan siap menyambut kedatangannya. Dia menyampaikan kata-kata monumental yang indah beberapa detik sebelum nafasnya pergi:

“Oh Tuhan, lihatlah, hamba-hambaMu telah berkumpul. Mereka menginginkan kematianku demi membelaMu dan untuk lebih dekat denganMu. Oh Tuhan, ampuni dan kasihi mereka. Andai saja Engkau menyingkapkan kelambu wajahMu kepada mereka  sebagaimana Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tak akan melakukan ini kepadaku. Andai saja Engkau turunkan kelambu wajahMu dariku, sebagaimana Engkau menurunkannya dari mereka, niscaya aku tak akan diuji seperti ini. Hanya Engkaulah Pemilik segala puji atas apa yang Engkau lakukan. Hanya engkaulah pemilik segala puji atas apa yang Engkau kehendaki.”

Setelah itu dia menundukkan kepalanya sambil bergumam lirih:

أُقْتُلُونِى يَا ثِقَاتِى إِنَّ فِى قَتْلِى حَيَاتِى
وَمَمَاتِى فِى حَيَاتِى وَحَيَاتِى فِى مَمَاتِى
إِنَّ عِنْدِى مَحْوَ ذَاتِى مِنْ أَجَلِّ الْمُكَرَّمَاتِ
وَبَقَائِى فِى صِفَاتِى مِنْ قَبِيْحِ السَّيِّئَاتِ
فَاقْتُلُونِى وَاحْرِقُونِى بِعِظَامِ الْفَانِيَاتِ

Bunuhlah aku, oh Kekasihku
Kematianku adalah hidupku
Kematianku ada dalam hidupku
Hidupku ada dalam kematianku
Ketiadaanku adalah kehormatan terbesar
Hidupku seperti ini tak lagi berharga
Bunuhlah aku, bakarlah aku
Bersama tulang-tulang yang rapuh.”
(Diwan, Qashidah 10).

Suasana hening, senyap. Dada-dada berdegup. Hallaj diam dalam ketenangan yang manis. Abu al-Harits as-Sayyaf, sang algojo, melangkah gagah dengan wajah amat angkuh dan sorot mata yang tajam. Ia mendekati Hallaj, lalu melayangkan tangannya ke pipi Hallaj terus menghantamkan kepalan tangannya ke hidungnya begitu keras hingga darah mengaliri jubahnya. Hallaj, kata para saksi, kemudian sujud kepada Tuhan, sambil menyampaikan kata-kata:

اِلَهِى اَصْبَحْتُ فِى دَارِ الرَّغَائِبِ أَنْظُرُ اِلَى الْعَجَائِبِ.

“Oh Tuhanku, Kekasihku. Aku kini telah berada di Rumah Idaman. Aku melihat betapa banyak keindahan yang mengagumkan.”

Masih dalam sujud, Hallaj, menyenandungkan puisi rindu:

“Aku menangis kepadaMu 
Bukan hanya untuk diriku sendiri
Tetapi bagi jiwa yang merindukanMu
Akulah yang menjadi saksi
Sekarang pergi kepadaMu
Akulah Saksi Keabadian.”

Begitu kepalanya terpenggal (atau terkulai) dan tubuhnya jatuh ke tanah atau diturunkan dari tiang salib, suara kegembiraan bergemuruh, membahana dan membelah langit: “Allah Akbar, Allah Akbar, Allah Akbar. Semua ini untuk kejayaan Islam dan kaum muslimin.”

Tak cukup puas dengan pekikan-pekikan itu, menurut satu cerita, potongan kepala Hallaj disiram minyak lalu dibakar. Lidahnya dipotong dan matanya dicungkil. Pekik Takbir terus menggema, bertalu-talu dan bergelombang-gelombang. Esok harinya, abu tubuh jenazahnya ditaburkan ke udara dari puncak menara sungai Dajlah (Tigris), sementara kepala dan dua tangannya digantung di tembok penjara.

Kisah tragedi kematian mistikus besar ini disampaikan berbagai sumber dengan beragam nuansa mitologis dan dongeng (asthurah). Sebagian cerita yang berkembang kemudian: “Al-Hallaj tidak mati. Dia naik ke langit seperti Isa dan akan kembali ke bumi, seperti Isa”, “Sungai Tigris subur-makmur berkat abu al-Hallaj”.

Konon, pada hari ketiga kematian Hallaj, Tigris memuntahkan kemarahannya dengan menenggelamkan bumi Baghdad. Pesan Hallaj sebelum mati kepada adiknya agar menghentikan bah dahsyat itu. 

Kuburannya di Baghdad sampai hari ini, menjadi tempat ziarah paling ramai dikunjungi beribu orang tiap hari dari berbagai penjuru bumi sampai hari ini dan nanti dalam waktu yang panjang.

Cirebon, 03-08-13


Tidak ada komentar:

Posting Komentar