TRAGEDI
EKSEKUSI AL-HALLAJ
Oleh: KH. Husein Muhammad
Husein Manshur
al-Hallaj, lahir 858 M, nama yang melegenda dalam dunia sufisme. Ia sufi yang
mendeklair: “Ana al-Haqq” (Akulah
Sang Kebenaran). Kata-kata ini mengguncang dan menggetarkan nurani jagat raya
manusia. Ucapan itu bagai halilintar menggelegar yang menghantam dan meluluhlantakkan
bumi manusia. Sahl at-Tustari, Syaikh Junaid dan Syibli, para guru sekaligus sahabat-sahabatnya, terpana dan
shock berat. Oh, Hallaj, seharusnya kau tak sebarkan rahasia Tuhan itu kepada
publik semacam itu. Mereka tak paham. Biarlah kata-kata itu menjadi milik hati
kita saja?
Para
penguasa pengetahuan keagamaan eksoterik, literal, konservatif dan ortodoks: para
ahli fiqh dari segala aliran, para ahli hadits, dan para teolog, meradang dan
marah luar biasa. Demonstrasi besar-besaran berlangsung di mana-mana, di
seluruh negeri. Puluhan otoritas agama eksoterik itu menghimpun tandatangan dan
berebut membubuhkannya, menuntut kematiannya. Mereka mengeluarkan fatwa: “Bunuh dia, darahnya halal ditumpahkan.”
Hallaj,
keluarga dan para pengikutnya ditangkap dan dijebloskan di penjara. Peradilan
terhadapnya kemudian digelar. Para jaksa menuduh: “Dia telah melakukan kejahatan berlapis.”
Secara
politik dia dianggap agen gerakan Qaramit, salah satu sekte Syi’ah Ismaili,
sayap garis keras dan brutal. Gerakan Politik Sparatis di bawah pimpinan Hamdan
al-Qarmathi ini telah lama menentang kekuasaan dinasti Abbasiyah dan berusaha menggulingkannya.
Mereka acap melakukan pemberontakan di mana-mana.
Secara
agama al-Hallaj dituduh tukang sihir dan zindiq (Atheis). Pembelaan yang cerdas
dan jujur tak mampu melawan tekanan massa emosional dan represi-represi politik
pencitraan. Pengadilan akhirnya menjatuhkan vonis: “Husain Manshur al-Hallaj dihukum mati.” Tok tok tok. Kekuasaan
politik mendukung putusan ini.
Khalifah
al-Muqtadir Billah menandatangi vonis itu. Al-Hallaj tak gentar atas vonis ini.
Dia sudah mengetahui dan sudah lama menginginkan kematian seperti ini. Meski
gurunya Syaikh al-Junaid dari Baghdad memberi nasehat, dia tak surut, tak
bergeming. Dia dengan lugas mengatakan:
وَاِنْ قُتِلْتُ اَوْ صُلِبْتُ اَوْ قُطِعَتْ يَدَاىَ وَرِجْلَاىَ لَمَا رَجَعْتُ عَنْ دَعْوَاىَ
“Biar pun aku dibunuh atau
disalib atau dua tangan dan kakiku dipenggal, aku
tak surut untuk mendakwahkan kebenaranku.”
Pagi
hari, tanggal 27 Maret 922, eksekusi mati dilaksanakan di hadapan ribuan pasang
mata merah yang terus meradang dan tak henti berteriak histeris. Yel-yel Allah
Akbar, Allah Akbar menggelegar. Sejumlah ulama fiqh, hadits dan kalam menjadi
saksi. Faqih literalis ekstrim sekaligus orang yang paling bertanggungjawab
atas fatwa mati dan pengadilan Hallaj: Muhammad bin Daud (w. 297 H), berdiri
paling depan.
Sejumlah
sufi besar juga hadir, meski memperlihatkan sikap dan suasana batin yang
berbeda, menyaksikan peristiwa paling dramatis ini. Mereka, untuk menyebut
beberapa saja, adalah Abu al-Qasim al-Junaid, Abu Bakar asy-Syibli (w. 334),
Ibrahim bin Fatik. Yang terakhir ini adalah sahabat setia yang selalu menemani
Hallaj di penjara.
Tak
jelas benar bentuk hukuman mati untuk Hallaj itu, apakah di tiang gantungan,
dipenggal atau disalib di pelepah kayu keras. Mungkin tak penting betul untuk
dijawab. Tetapi beberapa menit menjelang kematiannya, meski tubuhnya dililit
rantai besi, Hallaj dengan riang, seperti akan bertemu kekasih, menengadahkan
wajahnya ke langit biru yang bersih, seakan siap menyambut kedatangannya. Dia
menyampaikan kata-kata monumental yang indah beberapa detik sebelum nafasnya
pergi:
“Oh Tuhan, lihatlah, hamba-hambaMu
telah berkumpul. Mereka
menginginkan kematianku demi membelaMu dan
untuk lebih dekat denganMu. Oh
Tuhan, ampuni dan kasihi mereka. Andai
saja Engkau menyingkapkan kelambu wajahMu kepada mereka sebagaimana
Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tak akan melakukan ini kepadaku. Andai saja
Engkau turunkan kelambu wajahMu dariku, sebagaimana
Engkau menurunkannya dari mereka, niscaya aku tak akan diuji seperti ini. Hanya
Engkaulah Pemilik segala puji atas apa yang Engkau lakukan. Hanya
engkaulah pemilik segala puji atas apa yang Engkau kehendaki.”
Setelah
itu dia menundukkan kepalanya sambil bergumam lirih:
أُقْتُلُونِى يَا ثِقَاتِى إِنَّ فِى قَتْلِى حَيَاتِى
وَمَمَاتِى فِى حَيَاتِى وَحَيَاتِى فِى مَمَاتِى
إِنَّ عِنْدِى مَحْوَ ذَاتِى مِنْ أَجَلِّ الْمُكَرَّمَاتِ
وَبَقَائِى فِى صِفَاتِى مِنْ قَبِيْحِ السَّيِّئَاتِ
فَاقْتُلُونِى وَاحْرِقُونِى بِعِظَامِ الْفَانِيَاتِ
“Bunuhlah aku, oh Kekasihku
Kematianku adalah hidupku
Kematianku ada dalam hidupku
Hidupku ada dalam kematianku
Ketiadaanku adalah kehormatan
terbesar
Hidupku seperti ini tak lagi
berharga
Bunuhlah aku, bakarlah aku
Bersama tulang-tulang yang rapuh.”
(Diwan,
Qashidah 10).
Suasana
hening, senyap. Dada-dada berdegup. Hallaj diam dalam ketenangan yang manis.
Abu al-Harits as-Sayyaf, sang algojo, melangkah gagah dengan wajah amat angkuh
dan sorot mata yang tajam. Ia mendekati Hallaj, lalu melayangkan tangannya ke
pipi Hallaj terus menghantamkan kepalan tangannya ke hidungnya begitu keras
hingga darah mengaliri jubahnya. Hallaj, kata para saksi, kemudian sujud kepada
Tuhan, sambil menyampaikan kata-kata:
اِلَهِى اَصْبَحْتُ فِى دَارِ الرَّغَائِبِ أَنْظُرُ اِلَى الْعَجَائِبِ.
“Oh Tuhanku, Kekasihku. Aku
kini telah berada di Rumah Idaman. Aku
melihat betapa banyak keindahan yang mengagumkan.”
Masih
dalam sujud, Hallaj, menyenandungkan puisi rindu:
“Aku menangis kepadaMu
Bukan hanya untuk diriku sendiri
Tetapi bagi jiwa yang merindukanMu
Akulah yang menjadi saksi
Sekarang pergi kepadaMu
Akulah Saksi Keabadian.”
Begitu
kepalanya terpenggal (atau terkulai) dan tubuhnya jatuh ke tanah atau
diturunkan dari tiang salib, suara kegembiraan bergemuruh, membahana dan
membelah langit: “Allah Akbar, Allah
Akbar, Allah Akbar. Semua ini untuk kejayaan Islam dan kaum muslimin.”
Tak
cukup puas dengan pekikan-pekikan itu, menurut satu cerita, potongan kepala
Hallaj disiram minyak lalu dibakar. Lidahnya dipotong dan matanya dicungkil.
Pekik Takbir terus menggema, bertalu-talu dan bergelombang-gelombang. Esok
harinya, abu tubuh jenazahnya ditaburkan ke udara dari puncak menara sungai
Dajlah (Tigris), sementara kepala dan dua tangannya digantung di tembok
penjara.
Kisah
tragedi kematian mistikus besar ini disampaikan berbagai sumber dengan beragam
nuansa mitologis dan dongeng (asthurah).
Sebagian cerita yang berkembang kemudian: “Al-Hallaj
tidak mati. Dia naik ke langit seperti Isa dan akan kembali ke bumi, seperti
Isa”, “Sungai Tigris subur-makmur
berkat abu al-Hallaj”.
Konon,
pada hari ketiga kematian Hallaj, Tigris memuntahkan kemarahannya dengan
menenggelamkan bumi Baghdad. Pesan Hallaj sebelum mati kepada adiknya agar
menghentikan bah dahsyat itu.
Kuburannya
di Baghdad sampai hari ini, menjadi tempat ziarah paling ramai dikunjungi
beribu orang tiap hari dari berbagai penjuru bumi sampai hari ini dan nanti
dalam waktu yang panjang.
Cirebon,
03-08-13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar