Halaman

Rabu, 14 Agustus 2013

PANCARAN CAHAYA ILAHI DARI KOTA WALI

PANCARAN CAHAYA ILAHI DARI KOTA WALI

“Dokumentasi Perjalanan Muhajir Madad Salim ke Kota Seribu Wali Hadhramaut”

DAFTAR ISI:

1.      PERBEDAAN KAMI DENGAN ORANG-ORANG MULIA
2.      PANCARAN SENYUM RASULULLAH SAW.
3.      AL-HABIB HASAN BIN SHOLEH AL-BAHR AL-JUFRI
4.      HABIB SEPUH JIFRIL
5.      WALI MASTUR HAUTHAH
6.      SUARA EMAS DI GUNUNG AHQAF
7.      TAUSHIYYAH AL-HABIB UMAR BIN HAFIDZ
8.      THE SPECIAL ONE, SHULTHONUL ULAMA MAULANA AL-HABIB SALIM ASY-SYATHIRIY
9.      SALAH SATU LANTUNAN NASYID SEORANG MAJDZUB DARI MARGA AL-HADDAD
10.  KOTA TARIM KOTA YANG MULIA
11.  PEKUBURAN ZANBAL DI MALAM HARI
12.  DEPAN QUBAH SYAIKH SAID BIN ISA AL-AMUDI, QAYDUN
13.  MENCIUM NISAN
14.  PARA ULAMA BERTANYA TENTANG HADHRAMAUT
15.  SUNSET DI KOTA MASYHAD, HADHRAMAUT
16.  TIDAKLAH YANG KAMI LAKUKAN INI KECUALI RASULULLAH SAW. PERNAH MELAKUKANNYA
17.  PESAN MAHARAJA ULAMA AL-HABIB SALIM ASY-SYATHIRI
18.  PEKUBURAN ZANBAL
19.  MAKAM NABIYULLAH HUD AS. DI WADI AHQAF HADHRAMAUT
20.  MAKAM AL-HABIB AHMAD BIN HASAN AL-ATTHAS
21.  MAKAM AL-HABIB ALI AL-HABSYI PENULIS SIMTHUD DURAR DI KOTA SEIWUN
22.  KOMPLEK PEMAKAMAN KUBAH SYAIKH ALI BAROS


1.      PERBEDAAN KAMI DENGAN ORANG-ORANG MULIA


Perbedaan antara kami dan orang-orang mulia seperti Sayyidi al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf Jeddah atau Sayyidi al-Habib Hasan bin abdullah asy-Syathiriy sungguh jauuuh. Mereka dengan mata batin yang tajam menangkap keagungan Baginda Rasul Saw. dengan segala cahayanya sehingga mereka ketika dalam muwajahah saat di hujrah mereka menunduk, menepi sedikit menjauh karena begitu takdzimnya dan menjaga adabnya di hadapan datuk mereka yang mulia. Bahkan mereka sampai pada keadaan tidak sanggup memandang pusara itu “tajdziman waijlala”. Perasaan cinta dan rindu mereka tahan dalam-dalam, menjauh dari senyuman indah yang menyapa mereka: “Ta’al liy yaa waladiy.” (Kemarilah wahai anakku). Tetapi mereka hanya mampu berlinangan air matanya saja.

Adapun kami, orang-orang bodoh lagi kurang bertatakerama ini, berdesakan, bercelotehan potret sana potret sini, tidak mengerti hak-hak keagungan sosok yang lemah lembut yang dihadapi. Samih niy yaa Sayyidiy.

2.      PANCARAN SENYUM RASULULLAH SAW.


Salah seorang sahabat, Abdullah bin Harits Ra., pernah menuturkan tentang Rasulullah Saw.: “Tidak pernah aku melihat seseorang yang lebih banyak tersenyum daripada Rasulullah Saw.” (HR. at-Tirmidzi).

Suatu ketika, seorang sahabat yang tidak memiliki apa pun untuk disedekahkan bertanya kepada Rasulullah Saw.: “Jika kami ingin bersedekah, namun kami tidak memiliki apa pun, lantas apa yang bisa kami sedekahkan dan bagaimana kami menyedekahkannya?”

Rasulullah Saw. bersabda: “Senyum kalian bagi saudaranya adalah sedekah, beramar makruf dan nahi mungkar yang kalian lakukan untuk saudaranya juga sedekah, dan kalian menunjukkan jalan bagi seseorang yang tersesat juga sedekah.” (HR. at-Tirmidzi dari Abu Dzar Ra.). 

Rasulullah Saw. bersabda: “Tersenyum ketika bertemu saudaramu adalah ibadah.” (HR. at-Trimidzi, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).

Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekecil apapun, sekalipun itu hanya bermuka manis saat berjumpa saudaramu.” (HR. Muslim).

Al-Habib Umar bin Hafidz selalu tidak mau kalah, setiap kali bermushafahah (bersalaman), beliau akan selalu melebarkan senyumnya. Karena yang paling basyasyah di saat mushafahah ialah yang paling banyak pahalanya. Ah, yang penting pernah nyium tangan suci beliau dah untung kite. Aamiin. (Kumpulan Foto Ulama dan Habaib)

3.      AL-HABIB HASAN BIN SHOLEH AL-BAHR AL-JUFRI


Diantara auliya’ paling masyhur di masanya adalah al-Habib Hasan bin Sholeh al-Bahr al-Jufri. Sewaktu beliau wafat, ribuan pelayat datang berta’ziyah. Lalu datang seorang gunung (badui), melihat sebegitu banyaknya orang badui itu bertanya kepada seseorang di sampingnya: Waliyullah siapakah yang meninggal ini wahai saudaraku?”

Orang di sebelahnya itu merasa keki, jengkel, koq masih ada juga orang yang tidak mengenal al-Habib Hasan bin Sholeh al-Bahr. Maka dengan ketus dia menjawab:Wali? Wali? Ini yang meninggal nabi tahu?” 

Begitulah, diantara janji beliau adalah: “Barangsiapa yang menshalati jenazahku maka Allah akan haramkan jasadnya dibakar api neraka.”



Suatu saat ada seseorang yang hendak pulang berbelanja daging di pasar dan dia melihat jenazah al-Habib Hasan al-Bahr sedang dishalati. Maka dia pun mengikuti shalat janazah tersebut. Daging yang ia beli dimasukkan ke dalam kantung jubahnya.

Sepulangnya ke rumah, daging itu ia suruh istrinya memasak di dapur. Tetapi sampai lama dimasak, daging itu masih saja mentah dan tidak mau matang persis seperti baru dia beli sebelumnya.

Karena merasa keheranan, akhirnya dia kembalikan daging itu ke pasar dan kepada penjualnya ia bertanya: “Daging apa yang engkau jual kepadaku? Seharian istriku memasaknya tetapi tidak mau matang-matang juga.”

Daging kambing biasa”, jawab penjual daging itu. “Tetapi sesudah engkau dari sini apakah engkau langsung pulang dan memasaknya?”

Tidak, aku berhenti untuk ikut menshalati jenazah al-Habib Hasan al-Bahr al-Jufri”, jawabnya.

Maka penjual daging itu berkata: Itulah masalahnya. Tidakkah engkau tahu bahwa al-Habib Hasan al-Bahr berjanji bahwa barangsiapa yang menshalati jenazahnya maka dagingnya haram dibakar api neraka? Sedang daging kambingmu engkau ikutkan menshalati jenazahnya, maka api-api dunia manapun tidak akan sanggup mematangkannya.”

4.      HABIB SEPUH JIFRIL


Al-Habib Ali bin Thalib al-Atthas, Kota Jifil Hadhramaut. Umur beliau berkisaran 120 tahun, masih dalam keadaan sehat dengan pendengaran serta lisan yang sempurna. Beliau adalah salah satu para Masturin yang mata, telinga serta tubuh beliau dahulu pernah bersekutu dan menyatu dengan tubuh para Aslafuna ash-Shalihun.

“Yaa bahta man qod ro-aahum, au ro-aa man ro-aahum.” Allah yaj’al ziyaaratanaa Ziyaaratan maqbuulah, Aamiin.

5.      WALI MASTUR HAUTHAH


As-Sayyid al-Habib Abdurrahman bin Ahmad al-Aydarus, Kota Hauthah Hadhramaut. Salah satu auliya’ sepuh minal Masturin. Banyak hal yang tidak bisa diceritakan tentang sosok yang satu ini. Hurmatan lijinabih. Allahummanfa’naa wahlanaa wa aulaadanaa wajami’i ‘aailatinaa wa ash-haabinaa bihi. Aamiin.

6.      SUARA EMAS DI GUNUNG AHQAF

Suara Emas di Gunung Ahqaf, Makam Nabiyullah Hud As. Lihat videonya di sini: https://www.facebook.com/photo.php?v=580676751970523

7.      TAUSHIYYAH AL-HABIB UMAR BIN HAFIDZ

Al-Habib Umar bin Hafidz saat membacakan Rihlahnya as-Sayyid al-Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhar di perjamuan beliau di Daarul Mushthofa. Tampaknya ini salah satu kitab Rihlah yang menuturkan tentang Wadi Hadhramaut dan para penghuninya yang begitu indah ditulis dan begitu menyentuh kalbu saat mendengarkannya. Salah satu yang terbaik. Lihat videonya di sini: https://www.facebook.com/photo.php?v=580704085301123

8.      THE SPECIAL ONE, SHULTHONUL ULAMA MAULANA AL-HABIB SALIM ASY-SYATHIRIY


Saat beliau di depan Makam Nabiyullah Hud As. dalam ziarah al-Haddad, salah seorang ‘Ainut Tarim, Alamud Dunya dan Mujahid Besar, tetapi pakaian kekhumulan membuat beliau seperti bukan siapa-siapa.

Bukan seorang yang ilmunya nyaris tiada bertepi...
Bukan seorang yang jika ia meninggal dunia akan terbawa ratusan cabang ilmu yang tiada pernah ditanyakan kepadanya dibawa mati.
Bukan seorang yang ratusan rakaat selalu ia lakukan setiap hari.
Bukan seorang yang begitu zuhud akan kemewahan duniawi sampai akhirnya dunia berbondong-bondong datang kepadanya menghampiri, sedang selalu ia mengeluh bagaimana cara ia bisa menghindar lari.
Bukan seseorang yang setiap kali majelis selalu dicari baik oleh seorang kanak-kanak ataupun orang tua baik dari pedalaman ataupun dari dalam negeri...

Tetapi sesungguhnya dialah menara Tarim yang cahaya mindilnya menjulang di saat ini, dan pusaka terbaik yang dimiliki tanah auliya ini meskipun ribuan orang ada yang hasd di hatinya mengingkari. Yaa Salim wa Bu Salim wa Ikhwah Salim yaa Seylillah.

Lalu datang anak kecil bersalaman dengan beliau , beliau bercanda dengan menjewer kupingnya.


Di tembok rumah beliau terpampang kaligrafi Doa Safar. Mungkin karena banyak para tamu beliau adalah para musafirin dari jauh baik dari anak negeri ataupun dari negeri-negeri seberang.


Pintu depan rumah beliau.


Sesudah Haul Nabiyullah Hud As. kami semua dijamu oleh beliau. Nyaris semua ulama dan zu’ama hadir. Begitupun para munsib yang masih ada di Tarim pun datang. Sempat pula kami shalat Ashar di rumah beliau yang berkah.Walhamdulillah.


Beliau duduk di pojok ruangan di saat perjamuan dan rauhah itu. Kamipun bergantian melantunkan nasyid dan mendendangkan qashaid. 

9.      SALAH SATU LANTUNAN NASYID SEORANG MAJDZUB DARI MARGA AL-HADDAD

Salah satu lantunan nasyid seorang majdzub dari marga al-Haddad. Dia pinter juga berbahasa Melayu. Tampaknya dia ini mahbub, karena beberapa waktu sebelumnya al-Habib Umar bin Hafidz mencari-cari beliau dan begitu datang langsung dipersilakan duduk di samping beliau untuk bernasyid. Saat tahu 90 % tamu adalah orang Indonesia beliau berkelakar: “Kalian inginkan aku melagu dengan logat Hadhrami atau Indonisiy?” Lihat videonya di sini: https://www.facebook.com/photo.php?v=580740548630810

10.  KOTA TARIM KOTA YANG MULIA


Kota Tarim kota yang mulia. Berapa banyak orang-orang shaleh terdahulu yang singgah ke kota itu dengan kaki terbuka tanpa memakai alas kaki apapun seakan memasuki tanah-tanah yang suci. Mereka melakukan karena kerendahan hati mereka, bersopan santun terhadap tanah-tanah serta debu-debu yang telah diinjaki para aqthab dan auliya lainnya di atasnya.

“Idzaa nahnu zurnaa-haa wajadnaa turaa-bahaa # Yafuhu lanaa kal anbaril mutanaffisi.
Wanamsyii hufatan fi tsarahaa ta-adduban # Naraa annanaa namsyii biwaadin muqaddasi.”

(Jika kami datang menziarahinya kami temukan debu-debunya semerbak mewangi # Bagaikan bau ambar yang menerpa kami nan mewangi.
Dan kami berjalan dengan tiada beralas kaki karena bersopan santun # Dikarenakan kami yakini kami berjalan di atas tempat yang telah disucikan). (Al-Habib al-‘Arif Billah Abu Bakar bin Syihab).


Salah seorang sadah dari Al Bin Yahya berjalan di tengah kota. Lalu dia temukan secarik kertas tergeletak di jalanan dan tertulis di dalamnya tulisan “Tarim.” Ia lalu mengambilnya dan membersihkannya dari kotoran dan melumurinya dengan minyak wangi.

Pada malam harinya ia bermimpi bertemu dengan Sayyidina Umar al-Mihdhar dan beliau memakaikan jubah kebesaran yang indah kepadanya sembari berkata: “Ini sebab dari perbuatanmu menghormati nama Tarim.”

Al-‘Allamah Abdurrahman al-Masyhur berkata: “Hanya dengan memuliakan nama Tarim saja ia mendapat kemuliaan seperti itu, lalu bisakah engkau bayangkan kemuliaan orang-orang yang datang ke Tarim dengan tujuan mencari ilmu atau memberi petunjuk kebaikan atau untuk tadzakkur?”

11.  PEKUBURAN ZANBAL DI MALAM HARI


Kumpulan turbah (makam)nya para aqthab yang di kisaran abad 7 Hijriyyah telah isebut sudah ada 10 ribu lebih wali dan 80 lebih wali quthub yang dimakamkan di sana. Sekarang di abad 14 Hijriyyah tidak terhitung lagi sudah banyaknya.

Suatu hari Sayyidina Hasan al-Wara’ pulang dari ziarah di maqbarah kota Tarim. Di tengah jalan beliau bertemu dengan asy-Syaikh Ba Khirmiy Mufti Tarim. Syaikh Ba Khirmiy bertanya kepadanya: “Anda baru dari mana?”

Syaikh Hasan al-Wara’ menjawab: “Aku baru pulang dari suatu kaum yang mana jika seseorang menziarahinya dengan niat yang sesungguhnya maka dia akan pulang dari ziarahnya sedang Allah telah mengampuni seluruh dosanya bagaikan seorang bayi yang baru lahir dari perut ibunya.”

Lalu Syaikh Hasan bersenandung: “Alaa ya baht man zaarahum bishshidq wandzur # Ilaihim mu’tana kullu mathluubatin tuyassir.”


Di dalamnya pun bersemanyam turbah para sahabat Rasulullah Saw.


Karena kemuliaan ahli barzahnya, inilah Tarim menjadi mulia dan menjadi dasar doa tawassul “Yaa Tarim wa Ahlaha.”


Tiadalah Tarim menjadi Tarim kecuali karena kemuliaan para rijaalillah di sana. Al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad berkata: “Fahiya lamin ba’dil masaajidits tsalaasati, lamin khairil bilaad” (Tarim itu sesudah tiga masjid (Makkah, Madinah, al-Quds) adalah sungguh sebaik-baiknya tempat ciptaan Allah).

Orang-orang shaleh terdahulu begitu mencintai kota Tarim sampai-sampai mereka enggan mengijinkan orang-orang terdekatnya keluar dari kota itu kecuali untuk pergi haji atau ziarah ke Nabiyullah Hud As. di Wadi Ahqaf.

Al-Habib Umar bin Abdurrahman al-Atthas Shahibur Ratib berkata: “Tidak boleh seseorang keluar meninggalkan Tarim kecuali karena kebutuhan yang sangat-sangat mendesak.”

Syaikh Ahmad Bakri berkata: “Aku tidak menyadari jika aku keluar dari kota Tarim kecuali aku yakini karena sebab sebuah dosa yang telah aku lakukan sebelumnya.”

Sampai-sampai al-Habib Idrus bin Umar al-Habsyi mengeluh: “Bagaimana bisa seseorang lalai dan bermaksiat di Tarim sedangkan arwah-arwah para auliya’ selalu berseliweran di jalan-jalan dan di gang-gangnya?”

Chuvav Ibriy berkata: “Gus Muhajir numpang tanya: “Dharihah para auliya’ tersebut (yang di Tarim) kalau bulan likuran Ramadhan penuh sesak dengan peziarah atau masjid-masjidnya yang penuh sesak dengan orang-orang i’tikaf dll? Di Jawa (Jatim) ini, dharihah wali songo rame peziarah di malam likuran, sedang masjid-masjid sepi kayak kuburan. ‘Afwan tidak ada satu hadits pun yang kita temukan menganjurkan cari Lailatul Qadr di maqbarah-maqbarah wali songo.”

Muhajir Madad Salim menjawab: “Chuvav Ibriy, kalau di sana i’tikaf mah setiap malam. Karena masjidnya ratusan dalam satu distrik, rata-rata i’tikafnya di masjid terdekat. Masjid-masjid mereka tidak pernah sepi setiap harinya apalagi di bulan Ramadhan. Biasanya ba’da Ashar ada halaqah ilmu dan ba’da Maghrib ada tadarusan. Kalau Ramadhan masjid mereka hidup full 24 jam, cuman karena masjidnya ratusan jadi tidak terkonsentrasi di satu masjid saja, tetapi merata.

Tarawih mereka full satu malam. Masjid ini ba’da Isya pas, disambung masjid yang satunya, disambung di masjid yang satunya lagi sampai fajar hari. Jadi para ahli Tarim itu punya kebiasaan setiap malam Ramadhan menghidupkan seluruh malamnya dengan bertarawih keliling, berkali-kali, dari masjid satu ke masjid lainnya hingga fajar. Dan ajaibnya, mereka Witirnya 11 rakaat (tidak seperti kebanyakan di Indonesia) karena mereka tahu Witir lebih afdhal daripada Tarawihnya itu sendiri.

Soal ziarah, mereka ziarah seperti di Indonesia juga, setiap Kamis sore atau Jum’at atau Sabtu. Saat Nishfu Sya’ban ada ziarah umum sekaligus doa Nishfu Sya’ban di maqbarah, baru malam harinya kembali doa Nishfu Sya’ban diulang di Masjid. Mereka pun sebelum Ramadhan pada nyekar juga. Tetapi tidak ada perkumpulan khusus ziarah yang sengaja dibuat di malam-malam bulan Ramadhan. Mereka saat Ramadhan full menghidupkannya di masjid-masjid mereka.

Soal mencari Lailatul Qadar, sesungguhnya bahasa antum kurang tepat demikian. Sedikit profokatif he... he... Orang dalam mencari Lailatul Qadar bisa melakukan apa saja yang baik-baik. Bisa i’tikaf, bisa tadarrus , bisa berdoa Allahumma innaka ‘afuwwun dan bisa saja tawassulan kepada para auliya’. Karena nilai Lailatul Qadar adalah keberkahan dan kemaqbulan suatu waktu yang Allah katakan setiap kebaikan di sana lebih dari kebaikan di 1000 bulan lainnya. Itu saja koq sebenarnya.”

12.  DEPAN QUBAH SYAIKH SAID BIN ISA AL-AMUDI, QAYDUN


Dahulu kala setiap kali ada sadah ‘Alawiyyin yang berziarah ke makam Syaikh Said bin Isa al-Amudi ini, syaikh akan mengulungkan tangannya dari balik kuburnya dan menjabat tangan para sadah yang datang menziarahinya.

Suatu saat datang seorang sadah dan seperti biasa syaikh mengulungkan tangannya bermushafahah. Lalu sayyid itu berkata kepadanya: “Sebutkan nasabmu, Syaikh.”

Lalu terdengar syaikh menyebutkan nasabnya sampai bermuara ke Sayyidina Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. Dan mulai hari itu syaikh tidak lagi menjabat tangan para sadah yang datang menziarahinya. (Tadzkir an-Nas halaman 215).


Suatu hari al-‘Allamah as-Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas membuka kitab Anwar as-Sa’adah wa Salasil as-Siyadah tulisan Sayyid Muhammad Murtadha az-Zabidi al-Mishri. Di dalamnya berisi thariqat- thariqat para kaum sufi. Beliau membuka pada huruf ‘Ain, “As-Silsilat al-‘Amudiyyah dan sanad-sanadnya.” Tiba-tiba seseorang bertanya kepada beliau:Apakah tuan punya sanad yang muttasil dengannya?”

Beliau menjawab: “Tentu, selain aku punya sanad yang berantai hingga beliau melalui beberapa syaikh, aku pun dalam alam arwah langsung mengambilnya dari Syaikh al-‘Amudi sendiri.”


Al-Habib Ali al-Habsyi berkata: “Dulu saat aku berziarah ke Syaikh Said al-Amudi bersama Akhi Ahmad bin Hasan, Habib Thohir bin Umar al-Haddad, mendengar hatif berkata: “Bangkitlah engkau wahai Thohir. Temui Ali Habsyi dan Ahmad bin Hasan.”

Lalu Akhi Thohir menjumpai kami di tengah jalan dan tiba-tiba Akhi Ahmad bin Hasan berkata: “Ini Thohir bin Umar datang bersama Syaikh Said al-Amudi.”

Sesungguhnya kami tidak melihat apapun. Tetapi mata hati Akhi Ahmad bin Hasan yang bening mampu melihatnya sehingga ia berkata: “Lihatlah ini, Syaikh Said ada di samping kanan Habib Thohir.”

Ridhwanullah warahmatullah ‘alaihim ajma’in. Allahummaj’al ziyaratana ziyarah maqbulah, Aamin.

Berkata al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi Shahibul Maulid: “Kalaulah orang mengetahui , sesungguhnya turab (tanah di samping makam) Syaikh Said al-Amudi itu lebih mahal dan lebih berharga daripada emas.”


Di bawah sana masih mengalir sungai yang penuh berkah di Wadi Amed. Sayang terlalu jauh untuk meng close up dari kamera HP jadul begini.

13.  MENCIUM NISAN


Para ulama fiqih menyatakan bahwa mencium batu nisan orang shaleh adalah makruh, termasuk bid’ah . Kecuali jika dilakukan dengan tidak dibuat-buat (tasannu’) atau tanpa sadar akibat haal, ekstase dari rasa spiritual seseorang ataupun karena jadzbiyyahnya seseorang.

Ini adalah ilmu Aqwal, sebuah pendapat yang mesti selalu kita ucapkan, apalagi di kalangan orang-orang yang masih awam. Tetapi amaliyyah, ilmu A’mal (yang jangan sampai bilang-bilang sama orang/di mata umum) lain lagi. Selayaknya setiap kita berziarah ke makam shalihin sempatkan mencium batu nisannya.

Karena diterangkan dalam Manaqib al-Habib Muhammad din Thohir al-Haddad Shahib Tegal, dengan rujukan sebuah risalah tulisan Imam al-Ghozali dikatakan bahwa: “Barangsiapa yang mencium batu nisan seorang shalihin niscaya Allah akan ampuni dosa-dosanya dan kabulkan hajat-hajatnya.”


Dan sesungguhnya mencium nisan yang di arah kaki mayyit lebih utama daripada mencium nisan di arah kepalanya. Karena mencium di arah kaki itu sama halnya dengan mencium kakinya pula dan itu adalah perbuatan yang menunjukkan rendah hati dan lebih tawadhu’ terhadap Ahlillah wa Rijaalillah. (Sayyid Ahmad bin Zain al-Habsyi).

14.  PARA ULAMA BERTANYA TENTANG HADHRAMAUT


Para ulama Mesir bertanya kepada as-Sayyid Ahmad bin Hasan tentang Hadhramaut. Ketika beliau menerangkannya mereka berkomentar: “Kelihatannya Hadhramaut itu daerah yang sukar sandang pangannya ya?”

Sayyid Ahmad bin Hasan menjawab: “Bukan hal yang samar bagi kalian bahwa manakala Allah menciptakan satu daerah di bumi maka Allah akan mencukupi pula segala kebutuhan di dalamnya. Allah berfirman: “Waqaddara fiihaa aqwaatahaa”. Adapun jika yang kalian maksud adalah rizki yang sebagaimana firman Allah: “Walau basathallahurrizqa li’ibaadihii labaghau”, maka rizki macam begitu bukan Hadhramaut tempatnya.”

Artinya, dan andaikan Allah melapangkan kepada hamba-hambaNya rizki niscaya mereka malah akan melenceng. Sebagaimana pun kesulitan ekonomi kita, apakah di kampung atau saat bekerja di luar kota, di Jakarta ataupun jauh di luar pulau Jawa. Sesungguhnya itu adalah kadar yang telah allah tentukan untuk kita. Jadi, mesti ridha menerimanya.




Karena itu, jika kita sedang diberi kesulitan ekonomi maka yakinlah bahwa itu yang terbaik buat keselamatan kita. Karena seperti firman Allah tersebut di atas, seandainya kita diberi kelapangan rizki saat itu, bisa jadi kita malah akan lalai dan lupa kepada Allah Dzat yang memberinya. Seakan-akan rizki itu kita sendiri yang menciptakannya. Bahkan berpikiran seperti itu saja kita sudah dihitung sebagai hamba yang kurang ajar dan hamba yang bermaksiat kepadaNya.

15.  SUNSET DI KOTA MASYHAD, HADHRAMAUT


Sungguh menggelikan atau mungkin memilukan apa yang dilakukan “tetanggaku” ini. Puasa tak pernah, shalatnya bolong-bolong, Tarawihnya apalagi babar blash! Eh... mau lebaran sibuknya minta ampun, rumah dibersihin, beli makanan dan toples-toplesnya begitu banyak, seharian pergi ke supermarket belanja beli yang baru-baru mulai dari ujung rambutnya hingga ke ujung kaki. Yang mau dirayain apanya? 

Tetapi, selidik punya selidik saya sendiri pun serupa, setali tiga uang dengan dia. Saya ribut begini, jutaan uang saya habiskan buat mempercantik rumah dan anak istri, apa yang mau saya rayain juga? Emangnya puasa ,Tarawih dan tadarrus saya sudah bener? Ikhlas Lillahi Ta’ala sampai-sampai merasa berhak meraih kemenangan? Haasib nafsakil awwal qabla an tahsabil ghair.” 


Aslinya lebih bagus lagi, langitnya, lanscapenya ajiib benar. Belum lagi angin sepoi-sepoi yang menerpa, bersih dan sejuk. Seperti bukan di Yaman saja, seperti di Kota Madinah al-Munawwaroh rasa hawanya.


Rumah-rumah mereka bertengger di lereng-lereng gunung batu bagaikan sarang-sarang burung bergelantungan di sela dedaunannya.

16.  TIDAKLAH YANG KAMI LAKUKAN INI KECUALI RASULULLAH SAW. PERNAH MELAKUKANNYA


Syahdan, karena cuaca kota Seiwun yang sedang terkena badai debu sehingga jarak pandang di bandara tidak memungkinan untuk landing. Kami pun terpaksa delay dan menunggu di San’a lebih dari 8 jam. Saat sedang menunggu, datang syaikh dari kota itu menemui kami dan bertanya: “Kalian hendak ke mana?”

Kami menjawab: “Kami hendak ke Wadi Ahqaf untuk mendatangi dan menziarahi Makam Nabiyullah Hud As.”

Syaikh itu memicingkan matanya sambil berkata ketus: “Uff... Kalian telah menghabiskan banyak uang dan waktu untuk sebuah pekerjaan yang tidak ada dalam syariat agama ini. Jikalau kalian ingin berziarah, ziarahilah Nabi kalian di Madinah.”

Kami jadi paham akhirnya dari kelompok mana syaikh ini. Kami pun menjawab: “Wahai Tuan, tidaklah yang kami lakukan ini kecuali Rasulullah Saw. pernah melakukannya. Tuan apakah tidak mengetahui jika saat Isra Mi’raj Nabi Saw. menziarahi Makam Nabi Musa As. dan beliau Saw. katakan: “Aku datangi Musa sedangkan ia dalam keadaan sedang bersholat?”

Syaikh itu memalingkan wajahnya diam seribu bahasa. Selalu saja yang seperti beliau ini tidak mengetahui- atau tidak mau mengakui dalil-dalil amalan kita para Ahlussunnah wal Jama’ah sejati.

17.  PESAN MAHARAJA ULAMA AL-HABIB SALIM ASY-SYATHIRI


Sang Maharaja Ulama al-Habib Salim asy-Syathiri nyaris selalu berpesan kepada para santri ketika mereka pamit pulang sesudah lama mengaji di Rubath Tarim agar sesampainya mereka di rumah masing-masing untuk jangan berhenti mencari ilmu.

“Jangan merasa sudah cukup. Mengajilah kepada para ulama yang ada di sekitar tempatmu”, kata beliau.

Jangan merasa: “Ah , aku sudah nyantri di bawah Sulthanul Ulama. Aku tidak butuh mengaji kepada guru yang lain.” Ambillah faedah kepada siapapun.

Salah seorang sayyid berkata kepada kami: “Anggaplah setiap ilmu dan kata atau hikmah yang engkau dengar dan peroleh dari orang lain itu seakan-akan ilmu, kata dan hikmah itu gurumu yang mengeluarkannya dan memberikannya kepadamu. Sesungguhnya dahulu , karena saking kuatnya ta’alluq dan pertalian hati antara Habib Ali Shahibul Maulid dengan gurunya al-Habib Abubakar al-Atthas. Habib Ali jika mendengar nasehat atau hikmah ilmu dari orang lain maka beliau terbayang seakan Habib Abubakarlah yg mengatakannya. Demikianlah semestinya perhatian yang sempurna seorang santri terhadap ilmu.”

18.  PEKUBURAN ZANBAL


Pekuburan Zanbal di sore hari itu penuh dengan madad ahlillah wa ahlil barzakh. Yaa khair buq’ah!




Deretan makam utama di Zanbal. Makam Sayyidina al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawiy Ra.

19.  MAKAM NABIYULLAH HUD AS. DI WADI AHQAF HADHRAMAUT


Di sela-sela bebatuan itulah di dalamnya bersemayam jasad beliau Nabiyullah Hud As.


Bagian depan kubah Makam Nabi Hud As.


Lereng timur Wadi Ahqaaf


Lereng baratnya


Halaman depan makam tempat maulid dan hadhrah Basaudan


Pasar kaget di Haul Hud. Kayu siwak (kayu arak) sini kualitasnya nomor wahid.


Kehidupan di Wadi Ahqaf ini hanya hidup seminggu saja setiap tahunnya. Saat Haul Nabi Hud As. Selain ziarah kabilah-kabilah serta para keluarga Alawiyyin, ada juga pasar malam, pasar kaget dan macam-macam pernik keramaian. Tetapi sesudah haul selesai, tempat ini langsung kosong tanpa penghuninya, menunggu tahun depan lagi.


Tangga menuju makam. Di sekeliling tempat ini bertebaran ma’bad-ma’bad (petilasan tempat ibadahnya) para sadah akbar dan para wali quthub. Para peziarah pada bertabarruk di tempat-tempat tersebut.

Tetapi saya sempat keliru. Ada satu reruntuhan yang saya kira sebuah ma’bad. Salah saya tidak tanya dahulu. Tahunya itu bukan ma’bad tetapi justru bekas WC. Aduch.


Konon batu besar ini tempat masuknya unta Nabi Shalih As. Di sekelilingnya dibangun masjid ada di bawah Makam Nabi Hud As. Jika peziarah sudah bersalam di depan makam dipimpin ketua suku atau munsib masing-masing, mereka turun ke masjid dan meneruskan rangkaian ziarah dengan membaca maulid serta mau’idzah dan doa.


Majelis Hadhrah Basaudan di pagi hari. Sungguh suasana yang menyegarkan memenuhi rongga jiwa.


Munsib Balfaqih, salah satu klan habaib yang berperan membangun kubah Nabi Hud As.  sehingga mereka menjadi salah satu acara utama haul seperti majelis Syaraful Anamnya, selain tentunya marga Bin Syaikh Abubakar yang memimpin puncak haul.

20.  MAKAM AL-HABIB AHMAD BIN HASAN AL-ATTHAS


Beliau salah satu ulama dan auliya’ masyhur di kurun akhir hijriyyah, seorang murid pilihan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan Mufti Makkah. Beliaulah kebanggaan para sadah Alawiyyin di masanya.

Syahdan, suatu hari dibacakan di hadapan beliau ayat “Wasaari’uu ilaa maghfiratin min rabbikum wajannah...” (Dan bersegeralah kalian mencari ampunan Tuhan kalian dan (bersegeralah) mencari surga). Beliau kemudian berkata: Wainnahuu laa yazaalul ‘abdu yata-akhkharuu hattaa yuktabu ‘indallahi minal muta-akhkhiriin. Wala yazaalul insaanu yataqaddamu ilal khairi hattaa yuktabu ‘indallahi minal mutaqaddimin” (Dan sesungguhnya kapanpun seorang hamba mengakhir-akhirkan dirinya sampai akhirnya Allah tetapkan ia sebagai orang-orang yang tertinggal di belakang. Dan kapanpun seorang hamba berlomba maju ke depan (bersegera dalam amaliahnya) sampai akhirnya Allah tetapkan ia sebagai orang-orang yang ada dalam garda terdepan).

21.  MAKAM AL-HABIB ALI AL-HABSYI PENULIS SIMTHUD DURAR DI KOTA SEIWUN


Salah satu karamah beliau adalah diberi AllAh kemuliaan dapat melihat hakekat sesuatu sampai-sampai beliau dapat melihat di kening orang lain apakah dia adalah penghuni surga (ahlus sa’adah) ataukah dia ahli penghuni neraka (ahlus saqawah). 

Saat mendengar hal semacam ini salah seorang sadah merasa gamang, apakah betul demikian ada seseorang di muka bumi ini bisa mengetahui selamat atau celakanya seseorang? Maka dari rumahnya yang jauh dia hendak pergi menemui al-Habib Ali. Dia ingin melihat seperti apa beliau itu dan bagaimana tentang desas-desus keramat hakekat beliau tersebut.

Akhirnya, sampailah sayyid tersebut di Kota Seiwun dan segera mencari al-Habib Ali di kediamannya. Ternyata, al-Habib Ali sudah menantinya di depan pintu. Begitu dia sampai di hadapan beliau, belum sempat ia berkata-kata apapun, al-Habib Ali menulis huruf Sin, ‘Ain dan Dal dengan telunjuk beliau ke kening orang itu sembari berkata: Sa’adah” (Selamat ahli surga).


Salah seorang habib sepuh Kota Pasuruan bercerita: Dulu, Syaikhana Kholil al-Bangkalani pernah bersama para habaib berziarah ke Kota Seiwun dan menghadiri majelisnya al-Habib Ali dan mengambil berkah dengan beliau tentunya. Singkat cerita, saat majelis, Syaikhana Kholil duduk paling belakang. Bukan apa-apa, hanya saja Syaikhana Kholil tidak mahir berbahasa Arab Ammiyyah (percakapan), meskipun bisa memahami bahasa Arab yang Fush-hah (Bahasa Kitab Kuning).

Beliau di belakang membiarkan teman-teman beliau para habaib beramah-tamah dengan al-Habib Ali. Maklum, mereka para habaib, bahasanya sudah bukan menjadi kendala. Tiba-tiba sesudah beberapa lama, al-Habib Ali beranjak berdiri dan berjalan mendekati Syaikhana dan duduk di hadapannya. Kagetlah Syaikhana menyaksikan hal ini, seorang Quthbul Wujud menghampiri beliau.

Lebih kaget lagi al-Habib Ali menyapa dan berkata-kata dengan beliau dengan bahasa Madura yang fasih. Dan semakin kaget lagi, al-Habib Ali dengan logat Madura “Tak iye”nya itu, berbasa-basi menanyakan kabar tetangga-tetangga Syaikhana, menanyakan pohon-pohon dan perempatan-perempatan kota Bangkalan seakan-akan al-Habib Ali itu seorang penduduk Bangkalan asli atau setidaknya beliau pernah lama bermukim di sana.

Sesungguhnya hal ini bukanlah hal yang mengherankan, jika sebenarnya seorang Quthbul Wujud itu bisa melihat seluruh bumi berikut isi-isinya seakan-akan bumi itu ada dalam cakupan kedua telapak tangannya saja.


Menuturkan karamah beliau nyaris mustahil dikarenakan karamah beliau begitu jelas (dzuhur) dan terlalu banyak.

Al-Habib Salim asy-Syathiri dalam Majmu’ Kalamnya berkata: “Secara umum para sadah Alawiyyin itu haliyahnya adalah humul (tidak bermewah diri) serta tasattur (menutup diri). Sedikit sekali diantara mereka yang dzuhur dan masyhur (menampakkan kemuliaan diri) kecuali beberapa orang yang dipaksa Allah untuk masyhur. Seperti Syaikh Abi Bakar bin Salim, al-Habib Abdullah al-Haddad serta al-Habib Ali Shahibul Maulid.

Lisanul haal Allah berkata kepada mereka: “Ayo masyhurlah kalian. Jika kalian tidak mau masyhur maka akan Aku copot haal (keadaan ruhani) kalian.”

Al-Habib Ali ini pun kemasyhurannya, bahkan hingga sekarang dikatakan sebanding dengan kemasyhuran Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, sebagaimana dikatakan dalam kitab Tajul A’rasnya al-Habib Ali bin Husain al-Atthas Bungur.

Yang lebih mengherankan tentang al-Habib Ali ini, sampai-sampai al-‘Allamah an-Nabhani ketika menulis Ensiklopedi Auliya’nya dalam Jami’ Karamat al-Auliya’ beliau setiap menulis seorang waliyullah pasti beliau tulis karamah-karamahnya. Ada yang ahli kasyf, ada yang bisa terbang dan semacamnya. Tetapi tidak saat menulis tentang al-Habib Ali. Beliau katakan mengenai profil beliau kurang lebihnya: Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi...bla...bla...bla... Meskipun saya tidak memiliki catatan tentang karamahnya tetapi saya meyakini benar kewalian agung sayyid ini.”

Sungguh aneh dan tak lazim, tiada memiliki catatan kekeramatannya dan tiada pula pernah berjumpa (hanya bertukar surat menyurat saja) namun dengan yakinnya menahbiskannya sebagai seorang auliya’ dan memasukkannya dalam kitab Thabaqatnya. Bayangkan jika an-Nabhani pernah berjumpa langsung dengan beliau, saya yakin beliau akan menuliskan satu bab khusus dalam kitab-kitabnya mengenai kemuliaan baginda al-Habib Ali al-Habsyi.

Dimas Joko berkata: “Mereka semua sudah mati dan tidak sebanding dengan Rasulullah Saw. dan para sahabat Ra. Jangan terjebak pada bahasan tentang karamah dan lupa dengan ibadahmu, saudara-saudara. Tiru teladan baik mereka dan jangan masyuk dengan karunia ini itu. Saya pribadi agak heran dengan komentar ada habib yang bisa terbang. Terus kenapa kalau dia bisa terbang? Tetap saja penghargaanku pada dirinya masih di bawah penghargaanku pada orangtuaku. Dan tiada guna karamah ini itu kelak di yaumul mizan, kecuali keistimewaan bisa mendapat dan memberi syafaat. Afwan ya!”

Muhajir Madad Salim menyanggah: Dimas Joko, Oh tentu tiada sebanding dengan Baginda Nabi Saw. dan para sahabat, karena para sahabat lah generasi terbaik sesudah diri Nabi sendiri. Soal penghargaan terhadap para shalihin apakah mesti di atas atau di bawah orang tua? Jikalau mereka para shalihin adalah orang-orang yang memberi pencerahan dan pendidikan agama kepada kita maka sesungguhnya para shalihin itu lebih layak kita hormati dan hargai mengalahkan kedua orang tua kita. Sebab, mereka pada dasarnya adalah orang tua ruh (spiritual) kita. Sedang ayah-ibu adalah orang tua jasad (jasmani) kita. Sudah bukan hal yang samar jika ruh lebih mulia dibanding jasad. Akan sangat tinggi penghargaan kita jika orang tua jasad kita ternyata sekaligus orang tua ruhani kita. Ini hal yang sangat agung!

Kita menyebut para istri Rasulullah Saw. sebagai ibu-ibu kita. Apakah kita ini keturunan darah daging mereka? Bukan demikian, kita menyebut mereka Ummahatul Mukminin karena mereka adalah istri Baginda Nabi Saw. yang merupakan ayah spritual seluruh kaum muslimin yang ada. Sebagaimana Allah nyatakan: “Wa azwaajuhuu ummahaatukum.”

Walhasil, dalam masalah yang kita bahas ini tiadalah sekedar kata-kata atau ungkapan perasaan yang sederhana. Ada banyak hal yang mesti dipahami dalam-dalam, Wal’afwu minnak.

22.  KOMPLEK PEMAKAMAN KUBAH SYAIKH ALI BAROS


Syaikh Ali Baros, murid terkasih al-Habib Umar bin Abdurrahman al-Atthas Shahibur Ratib. Menjadi kalam masal bahwa: “Andaikan muridnya seperti Ali Baros dan gurunya seperti Umar al-Atthas.”

Saat Syaikh Ali Baros memulai belajar dan membaca kitab Bidayatul Hidayah di hadapan al-Habib Umar, saat ia baru saja membaca beberapa paragraf dari mukaddimah kitab tulisan al-Ghozali tersebut tiba-tiba berkata al-Habib Umar kepadanya: “Cukup, cukup. Sekarang, aku berikan ilmu-ilmu dzahir dan bathin yang ada dalam diriku kepadamu.”

Dalam sekejap menjadi Syaikh Ali kini menjadi bagian para ‘arifin orang-orang yang telah wushul kepada Allah berkah dari kecintaan gurunya. Maka sesungguhnya yang terpenting itu bukan seberapa kuat cintaku kepada gurumu . Tetapi kemuliaan sesungguhnya adalah seberapa kuat cinta gurumu kepadamu.


Mungkin yang bisa dibuat ikhtiyar menggapai mahabbah guru kita adalah saat kita benar-benar menenggelamkan diri kita ke dalam diri mursyid. Dzahir bathin tanpa bertangguh. Sampai seandainya detik ini mursyid meminta nyawa kita sebagai sebuah tebusan pun kita tanpa berpikir panjang langsung menyerahkannya. Tetapi sepengetahuan saya mahabbah mursyid kepada murid itu lebih besar, lebih dominan wilayah wahbiyahnya daripada kasbiyahnya. Wallahu a’lam.



Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 14 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar