PANCARAN CAHAYA
ILAHI DARI KOTA WALI
DAFTAR ISI:
1.
PERBEDAAN KAMI
DENGAN ORANG-ORANG MULIA
2.
PANCARAN SENYUM RASULULLAH SAW.
3.
AL-HABIB
HASAN BIN SHOLEH AL-BAHR AL-JUFRI
4.
HABIB
SEPUH JIFRIL
5.
WALI
MASTUR HAUTHAH
6.
SUARA
EMAS DI GUNUNG AHQAF
7.
TAUSHIYYAH AL-HABIB
UMAR BIN HAFIDZ
8.
THE
SPECIAL ONE, SHULTHONUL ULAMA MAULANA AL-HABIB SALIM ASY-SYATHIRIY
9.
SALAH
SATU LANTUNAN NASYID SEORANG MAJDZUB DARI MARGA AL-HADDAD
10. KOTA TARIM KOTA YANG MULIA
11. PEKUBURAN ZANBAL DI MALAM HARI
12. DEPAN QUBAH SYAIKH SAID BIN ISA
AL-AMUDI, QAYDUN
13. MENCIUM NISAN
14. PARA ULAMA BERTANYA TENTANG HADHRAMAUT
15. SUNSET DI KOTA MASYHAD, HADHRAMAUT
16. TIDAKLAH YANG KAMI LAKUKAN INI KECUALI
RASULULLAH SAW. PERNAH MELAKUKANNYA
17. PESAN MAHARAJA ULAMA AL-HABIB SALIM ASY-SYATHIRI
18. PEKUBURAN ZANBAL
19. MAKAM NABIYULLAH HUD AS. DI WADI
AHQAF HADHRAMAUT
20. MAKAM AL-HABIB AHMAD BIN HASAN
AL-ATTHAS
21. MAKAM AL-HABIB ALI AL-HABSYI
PENULIS SIMTHUD DURAR DI KOTA SEIWUN
22.
KOMPLEK PEMAKAMAN
KUBAH SYAIKH ALI BAROS
1.
PERBEDAAN KAMI
DENGAN ORANG-ORANG MULIA
Perbedaan antara kami
dan orang-orang mulia seperti Sayyidi al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf Jeddah
atau Sayyidi al-Habib Hasan bin abdullah asy-Syathiriy sungguh jauuuh. Mereka dengan
mata batin yang tajam menangkap keagungan Baginda Rasul Saw. dengan segala
cahayanya sehingga mereka ketika dalam muwajahah saat di hujrah mereka
menunduk, menepi sedikit menjauh karena begitu takdzimnya dan menjaga adabnya
di hadapan datuk mereka yang mulia. Bahkan mereka sampai pada keadaan tidak sanggup memandang pusara itu “tajdziman waijlala”. Perasaan cinta dan
rindu mereka tahan dalam-dalam, menjauh dari senyuman indah yang menyapa mereka:
“Ta’al liy yaa waladiy.” (Kemarilah
wahai anakku). Tetapi mereka hanya mampu berlinangan air matanya saja.
Adapun
kami, orang-orang bodoh lagi kurang bertatakerama ini, berdesakan, bercelotehan
potret sana potret sini, tidak mengerti hak-hak keagungan sosok yang lemah
lembut yang dihadapi. Samih niy yaa Sayyidiy.
2.
PANCARAN SENYUM RASULULLAH SAW.
Salah seorang sahabat, Abdullah bin
Harits Ra., pernah menuturkan tentang Rasulullah Saw.: “Tidak pernah aku melihat seseorang yang lebih banyak tersenyum
daripada Rasulullah Saw.” (HR. at-Tirmidzi).
Suatu ketika, seorang sahabat yang
tidak memiliki apa pun untuk disedekahkan bertanya kepada Rasulullah Saw.: “Jika kami ingin bersedekah, namun kami
tidak memiliki apa pun, lantas apa yang bisa kami sedekahkan dan bagaimana kami
menyedekahkannya?”
Rasulullah Saw. bersabda: “Senyum kalian bagi saudaranya adalah
sedekah, beramar makruf dan nahi mungkar yang kalian lakukan untuk saudaranya
juga sedekah, dan kalian menunjukkan jalan bagi seseorang yang tersesat juga
sedekah.” (HR. at-Tirmidzi dari Abu Dzar Ra.).
Rasulullah Saw. bersabda: “Tersenyum ketika bertemu saudaramu adalah
ibadah.” (HR. at-Trimidzi, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).
Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekecil
apapun, sekalipun itu hanya bermuka manis saat berjumpa saudaramu.” (HR.
Muslim).
Al-Habib Umar bin Hafidz selalu
tidak mau kalah, setiap kali bermushafahah (bersalaman), beliau akan selalu
melebarkan senyumnya. Karena yang paling basyasyah di saat mushafahah ialah
yang paling banyak pahalanya. Ah, yang penting pernah nyium tangan suci beliau
dah untung kite. Aamiin. (Kumpulan Foto
Ulama dan Habaib)
3.
AL-HABIB
HASAN BIN SHOLEH AL-BAHR AL-JUFRI
Diantara auliya’ paling
masyhur di masanya adalah al-Habib Hasan bin Sholeh al-Bahr al-Jufri. Sewaktu
beliau wafat, ribuan pelayat datang berta’ziyah. Lalu datang seorang gunung
(badui), melihat sebegitu banyaknya orang badui itu bertanya kepada seseorang di sampingnya: “Waliyullah
siapakah yang meninggal ini wahai saudaraku?”
Orang
di sebelahnya itu merasa keki, jengkel, koq masih ada juga orang yang tidak
mengenal al-Habib Hasan bin Sholeh al-Bahr. Maka dengan ketus dia menjawab: “Wali?
Wali? Ini yang meninggal nabi tahu?”
Begitulah,
diantara janji beliau adalah: “Barangsiapa
yang menshalati jenazahku maka Allah akan haramkan jasadnya dibakar api
neraka.”
Suatu
saat ada seseorang yang hendak pulang berbelanja daging di pasar dan dia
melihat jenazah al-Habib Hasan al-Bahr sedang dishalati. Maka dia pun mengikuti
shalat janazah tersebut. Daging yang ia beli dimasukkan ke dalam kantung jubahnya.
Sepulangnya ke rumah, daging itu ia suruh istrinya memasak
di dapur. Tetapi sampai lama dimasak, daging itu masih saja mentah dan tidak
mau matang persis seperti baru dia beli sebelumnya.
Karena
merasa keheranan, akhirnya dia kembalikan daging itu ke pasar dan kepada
penjualnya ia bertanya: “Daging apa yang
engkau jual kepadaku? Seharian istriku memasaknya tetapi tidak mau
matang-matang juga.”
“Daging kambing biasa”, jawab penjual daging itu. “Tetapi sesudah engkau dari sini apakah engkau langsung pulang dan
memasaknya?”
“Tidak, aku berhenti untuk ikut
menshalati jenazah al-Habib Hasan al-Bahr al-Jufri”, jawabnya.
Maka
penjual daging itu berkata: “Itulah masalahnya. Tidakkah engkau tahu
bahwa al-Habib Hasan al-Bahr berjanji bahwa barangsiapa yang menshalati
jenazahnya maka dagingnya haram dibakar api neraka? Sedang daging kambingmu
engkau ikutkan menshalati jenazahnya, maka api-api dunia manapun tidak akan
sanggup mematangkannya.”
4.
HABIB
SEPUH JIFRIL
Al-Habib Ali bin Thalib
al-Atthas, Kota Jifil Hadhramaut. Umur
beliau berkisaran 120 tahun, masih dalam keadaan sehat dengan pendengaran serta
lisan yang sempurna. Beliau adalah salah satu para Masturin yang mata, telinga serta tubuh beliau dahulu pernah
bersekutu dan menyatu dengan tubuh para Aslafuna ash-Shalihun.
“Yaa bahta man qod ro-aahum, au ro-aa man ro-aahum.” Allah yaj’al ziyaaratanaa Ziyaaratan maqbuulah, Aamiin.
5.
WALI
MASTUR HAUTHAH
As-Sayyid al-Habib Abdurrahman
bin Ahmad al-Aydarus, Kota Hauthah Hadhramaut. Salah satu auliya’ sepuh minal Masturin. Banyak hal yang tidak
bisa diceritakan tentang sosok yang satu ini. Hurmatan lijinabih. Allahummanfa’naa
wahlanaa wa aulaadanaa wajami’i ‘aailatinaa wa ash-haabinaa bihi. Aamiin.
6.
SUARA
EMAS DI GUNUNG AHQAF
Suara Emas di Gunung
Ahqaf, Makam Nabiyullah Hud As. Lihat videonya di sini: https://www.facebook.com/photo.php?v=580676751970523
7.
TAUSHIYYAH AL-HABIB
UMAR BIN HAFIDZ
Al-Habib Umar bin
Hafidz saat membacakan Rihlahnya as-Sayyid al-Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdhar
di perjamuan beliau di Daarul Mushthofa. Tampaknya ini salah satu kitab Rihlah
yang menuturkan tentang Wadi Hadhramaut dan para penghuninya yang begitu indah
ditulis dan begitu menyentuh kalbu saat mendengarkannya. Salah satu yang
terbaik. Lihat videonya di sini: https://www.facebook.com/photo.php?v=580704085301123
8.
THE
SPECIAL ONE, SHULTHONUL ULAMA MAULANA AL-HABIB SALIM ASY-SYATHIRIY
Saat beliau di depan Makam
Nabiyullah Hud As. dalam ziarah al-Haddad, salah seorang
‘Ainut Tarim, Alamud Dunya dan Mujahid Besar, tetapi pakaian kekhumulan membuat
beliau seperti bukan siapa-siapa.
Bukan seorang yang ilmunya nyaris tiada bertepi...
Bukan seorang yang jika ia meninggal dunia akan terbawa
ratusan cabang ilmu yang tiada pernah ditanyakan
kepadanya dibawa mati.
Bukan seorang yang
ratusan rakaat selalu ia lakukan setiap hari.
Bukan seorang yang
begitu zuhud akan kemewahan duniawi sampai akhirnya dunia berbondong-bondong
datang kepadanya menghampiri, sedang selalu ia mengeluh bagaimana cara ia bisa
menghindar lari.
Bukan seseorang
yang setiap kali majelis selalu dicari baik oleh seorang kanak-kanak ataupun
orang tua baik dari pedalaman ataupun dari dalam negeri...
Tetapi
sesungguhnya dialah menara Tarim yang cahaya mindilnya menjulang di saat ini,
dan pusaka terbaik yang dimiliki tanah auliya ini meskipun ribuan orang ada yang
hasd di hatinya mengingkari. Yaa Salim wa Bu Salim wa Ikhwah Salim yaa
Seylillah.
Lalu datang anak kecil
bersalaman dengan beliau , beliau bercanda dengan menjewer kupingnya.
Di tembok rumah beliau terpampang kaligrafi
Doa Safar. Mungkin karena banyak para tamu beliau adalah para musafirin dari
jauh baik dari anak negeri ataupun dari negeri-negeri seberang.
Pintu
depan rumah beliau.
Sesudah Haul Nabiyullah Hud As. kami semua
dijamu oleh beliau. Nyaris semua ulama dan zu’ama hadir. Begitupun para munsib yang
masih ada di Tarim pun datang. Sempat pula kami shalat Ashar di rumah beliau yang
berkah.Walhamdulillah.
Beliau duduk di pojok ruangan di saat
perjamuan dan rauhah itu. Kamipun bergantian melantunkan nasyid dan
mendendangkan qashaid.
9.
SALAH
SATU LANTUNAN NASYID SEORANG MAJDZUB DARI MARGA AL-HADDAD
Salah satu lantunan
nasyid seorang majdzub dari marga al-Haddad. Dia pinter juga berbahasa Melayu.
Tampaknya dia ini mahbub, karena beberapa waktu sebelumnya al-Habib Umar bin
Hafidz mencari-cari beliau dan begitu datang langsung dipersilakan duduk di samping
beliau untuk bernasyid. Saat tahu 90 % tamu adalah orang Indonesia beliau
berkelakar: “Kalian inginkan aku melagu
dengan logat Hadhrami atau Indonisiy?” Lihat
videonya di sini: https://www.facebook.com/photo.php?v=580740548630810
10. KOTA TARIM KOTA YANG MULIA
Kota Tarim kota yang
mulia. Berapa banyak orang-orang shaleh terdahulu yang singgah ke kota itu
dengan kaki terbuka tanpa memakai alas kaki apapun seakan memasuki tanah-tanah
yang suci.
Mereka melakukan karena kerendahan hati mereka,
bersopan santun terhadap tanah-tanah serta debu-debu yang telah diinjaki para aqthab
dan auliya lainnya di atasnya.
“Idzaa nahnu zurnaa-haa wajadnaa turaa-bahaa # Yafuhu lanaa kal anbaril mutanaffisi.
Wanamsyii hufatan fi tsarahaa
ta-adduban # Naraa annanaa namsyii biwaadin muqaddasi.”
(Jika kami datang menziarahinya kami temukan debu-debunya
semerbak mewangi # Bagaikan bau ambar yang menerpa kami nan mewangi.
Dan
kami berjalan dengan tiada beralas kaki karena bersopan santun # Dikarenakan kami
yakini kami berjalan di atas tempat yang telah disucikan).
(Al-Habib al-‘Arif Billah Abu Bakar bin Syihab).
Salah seorang sadah dari Al Bin Yahya
berjalan di tengah kota. Lalu dia temukan secarik kertas tergeletak di jalanan
dan tertulis di dalamnya tulisan “Tarim.”
Ia lalu mengambilnya dan membersihkannya dari kotoran dan melumurinya dengan
minyak wangi.
Pada malam
harinya ia bermimpi bertemu dengan Sayyidina Umar al-Mihdhar dan beliau
memakaikan jubah kebesaran yang indah kepadanya sembari berkata: “Ini sebab dari perbuatanmu menghormati
nama Tarim.”
Al-‘Allamah Abdurrahman al-Masyhur berkata:
“Hanya dengan memuliakan nama Tarim saja
ia mendapat kemuliaan seperti itu, lalu bisakah engkau bayangkan kemuliaan orang-orang
yang datang ke Tarim dengan tujuan mencari ilmu atau memberi petunjuk kebaikan
atau untuk tadzakkur?”
11. PEKUBURAN ZANBAL DI MALAM HARI
Kumpulan turbah (makam)nya
para aqthab yang di kisaran abad 7 Hijriyyah telah isebut sudah ada 10 ribu lebih
wali dan 80 lebih wali quthub yang dimakamkan di sana. Sekarang di abad 14
Hijriyyah tidak terhitung lagi sudah banyaknya.
Suatu hari Sayyidina
Hasan al-Wara’ pulang dari ziarah di maqbarah kota Tarim. Di tengah jalan
beliau bertemu dengan asy-Syaikh Ba Khirmiy Mufti Tarim. Syaikh Ba Khirmiy bertanya kepadanya:
“Anda baru dari mana?”
Syaikh
Hasan al-Wara’ menjawab: “Aku baru pulang
dari suatu kaum yang mana jika seseorang menziarahinya dengan niat yang
sesungguhnya maka dia akan pulang dari ziarahnya sedang Allah telah mengampuni
seluruh dosanya bagaikan seorang bayi yang baru lahir dari perut ibunya.”
Lalu
Syaikh Hasan bersenandung: “Alaa ya baht
man zaarahum bishshidq wandzur # Ilaihim mu’tana kullu mathluubatin tuyassir.”
Di
dalamnya pun bersemanyam turbah para sahabat Rasulullah Saw.
Karena kemuliaan ahli barzahnya, inilah
Tarim menjadi mulia dan menjadi dasar doa tawassul “Yaa Tarim wa Ahlaha.”
Tiadalah Tarim menjadi Tarim kecuali
karena kemuliaan para rijaalillah di sana. Al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad
berkata: “Fahiya lamin ba’dil masaajidits
tsalaasati, lamin khairil bilaad” (Tarim itu sesudah tiga masjid (Makkah,
Madinah, al-Quds) adalah sungguh sebaik-baiknya tempat ciptaan Allah).
Orang-orang shaleh terdahulu begitu
mencintai kota Tarim sampai-sampai mereka enggan mengijinkan orang-orang
terdekatnya keluar dari kota itu kecuali untuk pergi haji atau ziarah ke
Nabiyullah Hud As. di Wadi Ahqaf.
Al-Habib Umar bin Abdurrahman al-Atthas Shahibur Ratib berkata: “Tidak boleh seseorang keluar meninggalkan
Tarim kecuali karena kebutuhan yang sangat-sangat mendesak.”
Syaikh Ahmad Bakri berkata: “Aku tidak menyadari jika aku keluar dari
kota Tarim kecuali aku yakini karena sebab sebuah dosa yang telah aku lakukan
sebelumnya.”
Sampai-sampai al-Habib Idrus bin Umar
al-Habsyi mengeluh: “Bagaimana bisa
seseorang lalai dan bermaksiat di Tarim sedangkan arwah-arwah para auliya’
selalu berseliweran di jalan-jalan dan di gang-gangnya?”
Chuvav Ibriy berkata: “Gus Muhajir numpang tanya: “Dharihah para auliya’ tersebut (yang di
Tarim) kalau bulan likuran Ramadhan penuh sesak dengan peziarah atau
masjid-masjidnya yang penuh sesak dengan orang-orang i’tikaf dll? Di Jawa (Jatim)
ini, dharihah wali songo rame peziarah di malam likuran, sedang masjid-masjid
sepi kayak kuburan. ‘Afwan tidak ada satu hadits pun yang kita temukan
menganjurkan cari Lailatul Qadr di maqbarah-maqbarah wali songo.”
Muhajir Madad Salim menjawab: “Chuvav Ibriy,
kalau di sana i’tikaf mah setiap malam. Karena masjidnya ratusan dalam satu
distrik, rata-rata i’tikafnya di masjid terdekat. Masjid-masjid mereka tidak
pernah sepi setiap harinya apalagi di bulan Ramadhan. Biasanya ba’da Ashar ada
halaqah ilmu dan ba’da Maghrib ada tadarusan. Kalau Ramadhan masjid mereka
hidup full 24 jam, cuman karena masjidnya ratusan jadi tidak terkonsentrasi di
satu masjid saja, tetapi merata.
Tarawih mereka full satu malam. Masjid ini ba’da Isya pas,
disambung masjid yang satunya, disambung di masjid yang satunya lagi sampai
fajar hari. Jadi para ahli Tarim itu punya kebiasaan setiap malam Ramadhan menghidupkan
seluruh malamnya dengan bertarawih keliling, berkali-kali, dari masjid satu ke
masjid lainnya hingga fajar. Dan ajaibnya, mereka Witirnya 11 rakaat (tidak seperti
kebanyakan di Indonesia) karena mereka tahu Witir lebih afdhal daripada
Tarawihnya itu sendiri.
Soal ziarah, mereka ziarah seperti di Indonesia juga, setiap
Kamis sore atau Jum’at atau Sabtu. Saat Nishfu Sya’ban ada ziarah umum
sekaligus doa Nishfu Sya’ban di maqbarah, baru malam harinya kembali doa Nishfu
Sya’ban diulang di Masjid. Mereka pun sebelum Ramadhan pada nyekar juga. Tetapi
tidak ada perkumpulan khusus ziarah yang sengaja dibuat di malam-malam bulan
Ramadhan. Mereka saat Ramadhan full menghidupkannya di masjid-masjid mereka.
Soal mencari Lailatul Qadar, sesungguhnya bahasa antum
kurang tepat demikian. Sedikit profokatif he... he... Orang dalam mencari
Lailatul Qadar bisa melakukan apa saja yang baik-baik. Bisa i’tikaf, bisa
tadarrus , bisa berdoa Allahumma innaka ‘afuwwun dan bisa saja tawassulan kepada
para auliya’. Karena nilai Lailatul Qadar adalah keberkahan dan kemaqbulan
suatu waktu yang Allah katakan setiap kebaikan di sana lebih dari kebaikan di
1000 bulan lainnya. Itu saja koq sebenarnya.”
12. DEPAN QUBAH SYAIKH SAID BIN ISA
AL-AMUDI, QAYDUN
Dahulu kala setiap kali
ada sadah ‘Alawiyyin yang berziarah ke makam Syaikh Said bin Isa al-Amudi ini,
syaikh akan mengulungkan tangannya dari balik kuburnya dan menjabat tangan para
sadah yang datang menziarahinya.
Suatu
saat datang seorang sadah dan seperti biasa syaikh mengulungkan tangannya bermushafahah.
Lalu sayyid itu berkata kepadanya: “Sebutkan
nasabmu, Syaikh.”
Lalu
terdengar syaikh menyebutkan nasabnya sampai bermuara ke Sayyidina Muhammad bin
Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. Dan mulai hari itu syaikh tidak lagi menjabat tangan
para sadah yang datang menziarahinya. (Tadzkir an-Nas halaman 215).
Suatu hari al-‘Allamah
as-Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas membuka kitab Anwar as-Sa’adah wa Salasil as-Siyadah tulisan Sayyid Muhammad
Murtadha az-Zabidi al-Mishri. Di dalamnya berisi thariqat- thariqat para kaum
sufi. Beliau membuka pada huruf ‘Ain, “As-Silsilat al-‘Amudiyyah dan
sanad-sanadnya.”
Tiba-tiba seseorang bertanya kepada beliau: “Apakah
tuan punya sanad yang muttasil dengannya?”
Beliau menjawab: “Tentu, selain aku punya sanad yang berantai
hingga beliau melalui beberapa syaikh, aku pun dalam alam arwah langsung
mengambilnya dari Syaikh al-‘Amudi sendiri.”
Al-Habib Ali al-Habsyi
berkata: “Dulu saat aku berziarah ke Syaikh Said al-Amudi bersama Akhi Ahmad
bin Hasan, Habib Thohir bin Umar al-Haddad, mendengar hatif berkata: “Bangkitlah engkau wahai Thohir. Temui Ali
Habsyi dan Ahmad bin Hasan.”
Lalu Akhi Thohir
menjumpai kami di tengah jalan dan tiba-tiba Akhi Ahmad bin Hasan berkata: “Ini Thohir bin Umar datang bersama Syaikh
Said al-Amudi.”
Sesungguhnya kami
tidak melihat apapun. Tetapi mata hati Akhi Ahmad bin Hasan yang bening mampu
melihatnya sehingga ia berkata: “Lihatlah
ini, Syaikh Said ada di samping kanan Habib Thohir.”
Ridhwanullah warahmatullah ‘alaihim ajma’in. Allahummaj’al
ziyaratana ziyarah maqbulah, Aamin.
Berkata al-Habib Ali
bin Muhammad al-Habsyi Shahibul Maulid: “Kalaulah
orang mengetahui , sesungguhnya turab (tanah di samping makam) Syaikh Said al-Amudi
itu lebih mahal dan lebih berharga daripada emas.”
Di bawah sana masih
mengalir sungai yang penuh berkah di Wadi Amed. Sayang terlalu jauh untuk meng
close up dari kamera HP jadul begini.
13. MENCIUM NISAN
Para ulama fiqih menyatakan
bahwa mencium batu nisan orang shaleh adalah makruh, termasuk bid’ah . Kecuali
jika dilakukan dengan tidak dibuat-buat (tasannu’)
atau tanpa sadar akibat haal, ekstase dari rasa
spiritual seseorang ataupun karena jadzbiyyahnya
seseorang.
Ini
adalah ilmu Aqwal, sebuah pendapat yang
mesti selalu kita ucapkan, apalagi di kalangan orang-orang yang masih awam.
Tetapi amaliyyah, ilmu A’mal (yang jangan sampai bilang-bilang sama orang/di mata umum) lain lagi.
Selayaknya setiap kita berziarah ke makam shalihin sempatkan mencium batu
nisannya.
Karena
diterangkan dalam Manaqib al-Habib Muhammad din Thohir al-Haddad Shahib Tegal,
dengan rujukan sebuah risalah tulisan Imam al-Ghozali dikatakan bahwa: “Barangsiapa yang mencium batu nisan
seorang shalihin niscaya Allah akan ampuni dosa-dosanya dan kabulkan
hajat-hajatnya.”
Dan
sesungguhnya mencium nisan yang di arah kaki mayyit lebih utama daripada
mencium nisan di arah kepalanya. Karena mencium di arah kaki itu sama halnya
dengan mencium kakinya pula dan itu adalah perbuatan yang menunjukkan rendah
hati dan lebih tawadhu’ terhadap Ahlillah wa Rijaalillah.
(Sayyid Ahmad bin Zain al-Habsyi).
14.
PARA ULAMA BERTANYA
TENTANG HADHRAMAUT
Para ulama Mesir
bertanya kepada as-Sayyid Ahmad bin Hasan tentang Hadhramaut. Ketika beliau menerangkannya
mereka berkomentar: “Kelihatannya Hadhramaut
itu daerah yang sukar sandang pangannya ya?”
Sayyid Ahmad bin Hasan
menjawab: “Bukan hal yang samar
bagi kalian bahwa manakala Allah menciptakan satu daerah di bumi maka Allah
akan mencukupi pula segala kebutuhan di dalamnya. Allah berfirman: “Waqaddara fiihaa aqwaatahaa”. Adapun jika yang kalian maksud adalah rizki yang sebagaimana firman Allah:
“Walau basathallahurrizqa li’ibaadihii labaghau”, maka rizki macam begitu bukan Hadhramaut tempatnya.”
Artinya,
dan andaikan Allah melapangkan kepada hamba-hambaNya rizki niscaya mereka malah
akan melenceng. Sebagaimana pun kesulitan ekonomi kita, apakah di kampung
atau saat bekerja di luar kota, di Jakarta ataupun jauh di luar pulau Jawa. Sesungguhnya
itu adalah kadar yang telah allah tentukan untuk kita. Jadi, mesti ridha
menerimanya.
Karena itu, jika kita
sedang diberi kesulitan ekonomi maka yakinlah bahwa itu yang terbaik buat
keselamatan kita. Karena seperti firman Allah tersebut di atas, seandainya kita
diberi kelapangan rizki saat itu, bisa jadi kita malah akan lalai dan lupa
kepada Allah Dzat yang memberinya. Seakan-akan rizki itu kita sendiri yang
menciptakannya. Bahkan berpikiran seperti itu saja kita sudah dihitung sebagai hamba
yang kurang ajar dan hamba yang bermaksiat kepadaNya.
15. SUNSET DI KOTA MASYHAD, HADHRAMAUT
Sungguh menggelikan
atau mungkin memilukan apa yang dilakukan “tetanggaku” ini. Puasa tak pernah, shalatnya bolong-bolong, Tarawihnya
apalagi babar blash! Eh... mau lebaran sibuknya
minta ampun, rumah dibersihin, beli makanan dan toples-toplesnya begitu banyak,
seharian pergi ke supermarket belanja beli yang baru-baru mulai dari ujung rambutnya
hingga ke ujung kaki. Yang mau dirayain apanya?
Tetapi,
selidik punya selidik saya sendiri pun serupa, setali tiga uang dengan dia.
Saya ribut begini, jutaan uang saya habiskan buat mempercantik rumah dan anak
istri, apa yang mau saya rayain juga? Emangnya puasa ,Tarawih dan tadarrus saya sudah bener?
Ikhlas Lillahi Ta’ala sampai-sampai merasa berhak meraih kemenangan? “Haasib nafsakil
awwal qabla an tahsabil ghair.”
Aslinya lebih bagus lagi, langitnya,
lanscapenya ajiib benar. Belum lagi angin sepoi-sepoi yang menerpa, bersih dan
sejuk. Seperti bukan di Yaman saja, seperti di Kota Madinah al-Munawwaroh rasa
hawanya.
Rumah-rumah mereka bertengger di
lereng-lereng gunung batu bagaikan sarang-sarang burung bergelantungan di sela
dedaunannya.
16.
TIDAKLAH YANG KAMI
LAKUKAN INI KECUALI RASULULLAH SAW. PERNAH MELAKUKANNYA
Syahdan, karena cuaca kota Seiwun yang
sedang terkena badai debu sehingga jarak pandang di bandara tidak memungkinan
untuk landing. Kami pun terpaksa delay dan menunggu di San’a lebih dari 8 jam.
Saat sedang menunggu, datang syaikh dari kota itu menemui kami dan bertanya: “Kalian hendak ke mana?”
Kami menjawab: “Kami hendak ke Wadi Ahqaf untuk mendatangi dan menziarahi Makam Nabiyullah
Hud As.”
Syaikh itu memicingkan matanya sambil
berkata ketus: “Uff... Kalian telah
menghabiskan banyak uang dan waktu untuk sebuah pekerjaan yang tidak ada dalam
syariat agama ini. Jikalau kalian ingin berziarah, ziarahilah Nabi kalian di
Madinah.”
Kami jadi paham akhirnya dari
kelompok mana syaikh ini. Kami pun menjawab: “Wahai Tuan, tidaklah yang kami lakukan ini kecuali Rasulullah Saw. pernah
melakukannya. Tuan apakah tidak mengetahui jika saat Isra Mi’raj Nabi Saw. menziarahi
Makam Nabi Musa As. dan beliau Saw. katakan: “Aku datangi Musa sedangkan ia
dalam keadaan sedang bersholat?”
Syaikh itu memalingkan wajahnya diam
seribu bahasa. Selalu saja yang seperti beliau ini tidak mengetahui- atau tidak
mau mengakui dalil-dalil amalan kita para Ahlussunnah wal Jama’ah sejati.
17.
PESAN MAHARAJA
ULAMA AL-HABIB SALIM ASY-SYATHIRI
Sang Maharaja Ulama al-Habib
Salim asy-Syathiri nyaris selalu berpesan kepada para santri ketika mereka
pamit pulang sesudah lama mengaji di Rubath Tarim agar sesampainya mereka di
rumah masing-masing untuk jangan berhenti mencari ilmu.
“Jangan merasa sudah cukup. Mengajilah kepada para ulama yang
ada di sekitar tempatmu”, kata beliau.
Jangan merasa: “Ah , aku sudah nyantri di bawah Sulthanul
Ulama. Aku tidak butuh mengaji kepada guru yang
lain.” Ambillah faedah kepada siapapun.
Salah
seorang sayyid berkata kepada kami: “Anggaplah
setiap ilmu dan kata atau hikmah yang engkau dengar dan peroleh dari orang lain
itu seakan-akan ilmu, kata dan hikmah itu gurumu yang mengeluarkannya dan
memberikannya kepadamu. Sesungguhnya dahulu , karena saking kuatnya ta’alluq
dan pertalian hati antara Habib Ali Shahibul Maulid dengan gurunya al-Habib
Abubakar al-Atthas. Habib Ali jika mendengar nasehat atau hikmah ilmu dari
orang lain maka beliau terbayang seakan Habib Abubakarlah yg mengatakannya. Demikianlah
semestinya perhatian yang sempurna seorang santri terhadap ilmu.”
18. PEKUBURAN ZANBAL
Pekuburan Zanbal di
sore hari itu penuh dengan madad ahlillah wa ahlil barzakh. Yaa khair buq’ah!
Deretan makam utama di
Zanbal. Makam Sayyidina al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawiy Ra.
19. MAKAM NABIYULLAH HUD AS. DI WADI
AHQAF HADHRAMAUT
Di sela-sela bebatuan itulah di dalamnya bersemayam jasad
beliau Nabiyullah Hud As.
Bagian depan kubah Makam Nabi Hud As.
Lereng timur Wadi Ahqaaf
Lereng baratnya
Halaman depan makam tempat maulid dan hadhrah Basaudan
Pasar kaget di Haul Hud. Kayu siwak (kayu arak) sini
kualitasnya nomor wahid.
Kehidupan di Wadi Ahqaf
ini hanya hidup seminggu saja setiap tahunnya. Saat Haul Nabi Hud As. Selain ziarah kabilah-kabilah serta para keluarga
Alawiyyin, ada juga pasar malam, pasar kaget dan macam-macam pernik keramaian.
Tetapi sesudah haul selesai, tempat ini langsung
kosong tanpa penghuninya, menunggu tahun depan lagi.
Tangga menuju makam. Di
sekeliling tempat ini bertebaran ma’bad-ma’bad (petilasan tempat ibadahnya)
para sadah akbar dan para wali quthub. Para
peziarah pada bertabarruk di tempat-tempat tersebut.
Tetapi saya sempat
keliru. Ada satu reruntuhan yang saya kira sebuah ma’bad. Salah saya tidak
tanya dahulu. Tahunya itu bukan ma’bad tetapi justru bekas WC. Aduch.
Konon batu besar ini
tempat masuknya unta Nabi Shalih As. Di sekelilingnya
dibangun masjid ada di bawah Makam Nabi Hud As. Jika peziarah sudah bersalam di
depan makam dipimpin ketua suku atau munsib masing-masing, mereka turun ke masjid
dan meneruskan rangkaian ziarah dengan membaca maulid serta mau’idzah dan doa.
Majelis Hadhrah
Basaudan di pagi hari. Sungguh suasana yang menyegarkan memenuhi rongga jiwa.
Munsib Balfaqih, salah satu
klan habaib yang berperan membangun kubah Nabi Hud As. sehingga mereka menjadi salah satu acara utama
haul seperti majelis Syaraful Anamnya, selain tentunya marga Bin Syaikh Abubakar
yang memimpin puncak haul.
20. MAKAM AL-HABIB AHMAD BIN HASAN
AL-ATTHAS
Beliau salah satu ulama
dan auliya’ masyhur di kurun akhir hijriyyah, seorang murid pilihan Sayyid
Ahmad Zaini Dahlan Mufti Makkah. Beliaulah
kebanggaan para sadah Alawiyyin di masanya.
Syahdan,
suatu hari dibacakan di hadapan beliau ayat “Wasaari’uu
ilaa maghfiratin min rabbikum wajannah...” (Dan bersegeralah kalian mencari
ampunan Tuhan kalian dan (bersegeralah) mencari surga). Beliau kemudian berkata:
“Wainnahuu
laa yazaalul ‘abdu yata-akhkharuu hattaa yuktabu ‘indallahi minal
muta-akhkhiriin. Wala yazaalul insaanu yataqaddamu ilal khairi hattaa yuktabu
‘indallahi minal mutaqaddimin” (Dan
sesungguhnya kapanpun seorang hamba mengakhir-akhirkan dirinya sampai akhirnya
Allah tetapkan ia sebagai orang-orang yang tertinggal di belakang. Dan kapanpun
seorang hamba berlomba maju ke depan (bersegera dalam amaliahnya) sampai
akhirnya Allah tetapkan ia sebagai orang-orang yang ada dalam garda terdepan).
21. MAKAM AL-HABIB ALI AL-HABSYI
PENULIS SIMTHUD DURAR DI KOTA SEIWUN
Salah satu karamah
beliau adalah diberi AllAh kemuliaan dapat melihat hakekat sesuatu
sampai-sampai beliau dapat melihat di kening orang lain apakah dia adalah
penghuni surga (ahlus sa’adah) ataukah
dia ahli penghuni neraka (ahlus saqawah).
Saat
mendengar hal semacam ini salah seorang sadah merasa gamang, apakah betul
demikian ada seseorang di muka bumi ini bisa mengetahui selamat atau celakanya seseorang?
Maka dari rumahnya yang jauh dia hendak pergi menemui
al-Habib Ali. Dia ingin melihat seperti apa beliau itu dan bagaimana tentang
desas-desus keramat hakekat beliau tersebut.
Akhirnya,
sampailah sayyid tersebut di Kota Seiwun dan segera mencari al-Habib Ali di
kediamannya. Ternyata, al-Habib Ali sudah menantinya di depan pintu. Begitu dia
sampai di hadapan beliau, belum sempat ia berkata-kata apapun, al-Habib Ali
menulis huruf Sin, ‘Ain dan Dal dengan telunjuk beliau ke kening orang itu sembari berkata:
“Sa’adah” (Selamat ahli surga).
Salah seorang habib sepuh
Kota Pasuruan bercerita: “Dulu, Syaikhana Kholil al-Bangkalani pernah bersama
para habaib berziarah ke Kota Seiwun dan menghadiri majelisnya al-Habib Ali dan
mengambil berkah dengan beliau tentunya. Singkat cerita, saat majelis, Syaikhana
Kholil duduk paling belakang. Bukan apa-apa, hanya saja Syaikhana Kholil tidak
mahir berbahasa Arab Ammiyyah (percakapan), meskipun bisa memahami bahasa Arab yang Fush-hah
(Bahasa Kitab Kuning).
Beliau
di belakang membiarkan teman-teman beliau para habaib beramah-tamah dengan al-Habib
Ali. Maklum, mereka para habaib, bahasanya sudah bukan menjadi kendala.
Tiba-tiba sesudah beberapa lama, al-Habib Ali
beranjak berdiri dan berjalan mendekati Syaikhana dan duduk di hadapannya.
Kagetlah Syaikhana menyaksikan hal ini, seorang Quthbul Wujud menghampiri
beliau.
Lebih
kaget lagi al-Habib Ali menyapa dan berkata-kata dengan beliau dengan bahasa Madura
yang fasih. Dan semakin kaget lagi, al-Habib
Ali dengan logat Madura “Tak iye”nya
itu, berbasa-basi menanyakan kabar tetangga-tetangga Syaikhana, menanyakan
pohon-pohon dan perempatan-perempatan kota Bangkalan seakan-akan al-Habib Ali
itu seorang penduduk Bangkalan asli atau setidaknya beliau pernah lama bermukim
di sana.
Sesungguhnya
hal ini bukanlah hal yang mengherankan, jika sebenarnya seorang Quthbul Wujud
itu bisa melihat seluruh bumi berikut isi-isinya seakan-akan bumi itu ada dalam
cakupan kedua telapak tangannya saja.
Menuturkan karamah
beliau nyaris mustahil dikarenakan karamah beliau begitu jelas (dzuhur) dan terlalu banyak.
Al-Habib Salim asy-Syathiri dalam Majmu’ Kalamnya berkata: “Secara umum
para sadah Alawiyyin itu haliyahnya adalah humul (tidak bermewah diri) serta tasattur
(menutup diri). Sedikit sekali diantara mereka yang dzuhur dan masyhur (menampakkan
kemuliaan diri) kecuali beberapa orang yang dipaksa Allah untuk masyhur. Seperti Syaikh Abi Bakar bin
Salim, al-Habib Abdullah al-Haddad serta al-Habib Ali Shahibul Maulid.
Lisanul
haal Allah berkata kepada mereka: “Ayo masyhurlah
kalian. Jika kalian tidak mau masyhur maka akan Aku copot haal (keadaan ruhani)
kalian.”
Al-Habib Ali ini pun kemasyhurannya, bahkan hingga sekarang
dikatakan sebanding dengan kemasyhuran Syaikh Abdul Qadir al-Jailani,
sebagaimana dikatakan dalam kitab Tajul A’rasnya
al-Habib Ali bin Husain al-Atthas Bungur.
Yang
lebih mengherankan tentang al-Habib Ali ini, sampai-sampai al-‘Allamah an-Nabhani
ketika menulis Ensiklopedi Auliya’nya dalam Jami’
Karamat al-Auliya’ beliau setiap menulis seorang waliyullah pasti beliau
tulis karamah-karamahnya. Ada yang ahli kasyf, ada yang bisa terbang dan
semacamnya. Tetapi tidak saat menulis
tentang al-Habib Ali. Beliau katakan mengenai profil beliau kurang lebihnya:
“Al-Habib Ali
bin Muhammad al-Habsyi...bla...bla...bla... Meskipun saya tidak memiliki
catatan tentang karamahnya tetapi saya meyakini benar kewalian agung sayyid ini.”
Sungguh
aneh dan tak lazim, tiada memiliki catatan kekeramatannya dan tiada pula pernah
berjumpa (hanya bertukar surat menyurat saja) namun dengan yakinnya menahbiskannya
sebagai seorang auliya’ dan memasukkannya dalam kitab Thabaqatnya. Bayangkan
jika an-Nabhani pernah berjumpa langsung dengan beliau, saya yakin beliau akan
menuliskan satu bab khusus dalam kitab-kitabnya mengenai kemuliaan baginda al-Habib
Ali al-Habsyi.
Dimas
Joko berkata: “Mereka semua
sudah mati dan tidak sebanding dengan Rasulullah Saw. dan para sahabat Ra. Jangan terjebak
pada bahasan tentang karamah dan lupa dengan ibadahmu, saudara-saudara. Tiru teladan
baik mereka dan jangan masyuk dengan karunia ini itu. Saya pribadi agak heran dengan
komentar ada habib yang bisa terbang. Terus kenapa kalau dia bisa terbang? Tetap
saja penghargaanku pada dirinya masih di bawah penghargaanku pada orangtuaku. Dan
tiada guna karamah ini itu kelak di yaumul mizan, kecuali keistimewaan bisa
mendapat dan memberi syafaat. Afwan ya!”
Muhajir Madad Salim menyanggah: Dimas Joko, Oh tentu tiada sebanding dengan Baginda Nabi Saw.
dan para sahabat, karena para sahabat lah generasi terbaik sesudah diri Nabi
sendiri. Soal penghargaan terhadap para
shalihin apakah mesti di atas atau di bawah orang tua? Jikalau mereka para shalihin
adalah orang-orang yang memberi pencerahan dan pendidikan agama kepada kita
maka sesungguhnya para shalihin itu lebih layak kita hormati dan hargai
mengalahkan kedua orang tua kita. Sebab, mereka pada dasarnya adalah orang tua ruh
(spiritual) kita. Sedang ayah-ibu adalah orang tua jasad (jasmani) kita. Sudah
bukan hal yang samar jika ruh lebih mulia dibanding jasad. Akan sangat tinggi penghargaan kita jika orang tua jasad
kita ternyata sekaligus orang tua ruhani kita. Ini hal yang sangat agung!
Kita menyebut
para istri Rasulullah Saw. sebagai ibu-ibu kita. Apakah kita ini keturunan
darah daging mereka? Bukan demikian, kita
menyebut mereka Ummahatul Mukminin karena mereka adalah istri Baginda Nabi Saw.
yang merupakan ayah spritual seluruh kaum muslimin yang ada. Sebagaimana Allah
nyatakan: “Wa azwaajuhuu ummahaatukum.”
Walhasil, dalam
masalah yang kita bahas ini tiadalah sekedar kata-kata atau ungkapan perasaan yang
sederhana. Ada banyak hal yang mesti dipahami dalam-dalam, Wal’afwu minnak.”
22.
KOMPLEK PEMAKAMAN
KUBAH SYAIKH ALI BAROS
Syaikh Ali Baros, murid terkasih al-Habib
Umar bin Abdurrahman al-Atthas Shahibur Ratib. Menjadi kalam masal bahwa: “Andaikan muridnya seperti Ali Baros dan
gurunya seperti Umar al-Atthas.”
Saat Syaikh Ali Baros memulai belajar
dan membaca kitab Bidayatul Hidayah
di hadapan al-Habib Umar, saat ia baru saja membaca beberapa paragraf dari
mukaddimah kitab tulisan al-Ghozali tersebut tiba-tiba berkata al-Habib Umar
kepadanya: “Cukup, cukup. Sekarang, aku
berikan ilmu-ilmu dzahir dan bathin yang ada dalam diriku kepadamu.”
Dalam sekejap menjadi Syaikh Ali kini
menjadi bagian para ‘arifin orang-orang yang telah wushul kepada Allah berkah
dari kecintaan gurunya. Maka
sesungguhnya yang terpenting itu bukan seberapa kuat cintaku kepada gurumu .
Tetapi kemuliaan sesungguhnya adalah seberapa kuat cinta gurumu kepadamu.
Mungkin yang bisa dibuat ikhtiyar
menggapai mahabbah guru kita adalah saat kita benar-benar menenggelamkan diri
kita ke dalam diri mursyid. Dzahir bathin tanpa bertangguh. Sampai seandainya
detik ini mursyid meminta nyawa kita sebagai sebuah tebusan pun kita tanpa berpikir
panjang langsung menyerahkannya. Tetapi sepengetahuan saya mahabbah mursyid kepada
murid itu lebih besar, lebih dominan wilayah wahbiyahnya daripada kasbiyahnya.
Wallahu a’lam.
Sya’roni
As-Samfuriy, Tegal 14 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar