Home » , » SEBUAH PENULISAN SEJARAH YANG HARUS DILURUSKAN

SEBUAH PENULISAN SEJARAH YANG HARUS DILURUSKAN

Written By MuslimMN on Kamis, 23 Februari 2017 | 13.03



Banyak sekali penulisan sejarah yang tidak tepat yang harus diluruskan, baik itu yang berkaitan dengan sejarah Nabi, sahabat maupun sejarah para ulama, auliya dan orang-orang shaleh. Hal itu terjadi karena mungkin keterbatasan pustaka penulisnya atau juga sumber yang tidak akurat, atau juga mungkin kurangnya pengetahuan si penulisnya.

Salah satunya adalah penulisan sejarah tentang menyesuaikan arah kiblat pada pembangunan Masjid Jami' Pekojan Jakarta Kota, yang terjadi antara al-Allamah Mufti Batafia (Betawi) as-Sayyid al-Habib Utsman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya Jati Petamburan Jakarta dan al-Allamah Syaikh Nawawi bin Umar al-Bantani, yang ditulis dengan berbagai judul, tema dan redaksi, seperti cerita yang dinukil singkat dalam buku "Pujangga Islam, Syaikh Nawawi Al-Bantani", karya Sayyid Chaidar,1978 yang tertulis dengan judul "Teladan Tawadhu' antara Kiai dan Habib" dan seterusnya, dimana di dalamnya penuh dengan kejanggalan dan berbagai kesalahan yang harus diluruskan. 

Begitu pula dengan buku yang ditulis oleh Kiai Abdul Aziz dari Lasem kalau tidak salah, seorang pengarang sejarah tentang riwayat Syaikh Nawawi Banten, pada halaman 100 cetakan lama, bab masalah Kiblat Masjid Pekojan, tentang karomah Syaikh Nawawi Banten. Dimana diterangkan di sana bahwa Sayyid Utsman ketika membuat Masjid Pekojan dinyatakan kiblatnya kurang pas. Dalam buku tersebut juga diterangkan bahwa Sayyid Ustman sudah berusia 70 tahun, sedangkan Syaikh Nawawi masih anak-anak, artinya belum mencapi umur 15 tahun.

Oleh karena itu, kami mencoba untuk meluruskan sejarah tersebut dengan data yang sangat valid yang kami peroleh secara langsung dari pakar sejarah dan guru besar kita Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya Pekalongan.

Dalam kitab “Bughyat al-Mustarsyidin fi Talkhish Fatawa Ba’dh al-Aimmah al-Muta-akhkhirin" sebuah kitab fiqh yang menghimpunkan ringkas dari berbagai fatwa para ulama madzhab Syafi’i yang muta-akhirin, karya Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba ‘Alawi al-Hadhrami (1250-1320), seorang tokoh ulama mazhab Syafi’i yang terkenal dan Mufti negeri Hadhramaut, Yaman pada zamannya, bab pertama, halaman 7-9, pembahasan tentang kedudukan masalah "Ijtihad wa al-ifta wa at-taqlid". Kita dapat baca di sana diterangkan oleh Sayyid Muhammad al-Qurthubi dari Imam asy-Syafi'i Ra. bahwa seorang mufti tidak boleh bermain-main (lahwun) di dalam memberikan fatwa.

Sepertihalnya al-Allamah as-Sayyid al-Habib Utsman bin Yahya, beliau disamping seorang Mufti besar yang memiliki gelar al-Allamah yang berhak menyandang kedudukan Mufti, beliau juga adalah seorang Mursyid Kamil (sempurna) dalam Thariqah Alawiyyah dan Qadiriyyah Naqsabandiyyah, juga beliau adalah seorang Wali Quthub di zamanya, yang dalam ilmu ma'rifat serta kekasyafannya diakui oleh jumhur ulama, dimana fatwanya wajib ditaati sesuai keterangan dalam kitab Bughyat al-Mustarsyidin fi Talkhish Fatawa Ba’dh al-Aimmah al-Muta-akhkhirin.

Al-Allamah as-Sayyid al-Habib Utsman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya al-Alawi lahir di Betawi pada tahun 1238 H. Pada usia 17 tahun setelah mendapat pendidikan secara langsung dari kakeknya, yaitu Syaikh Abdurrahman bin Ahmad al-Misri, hingga beliau menjadi seorang hafidzul Qur'an dan menguasai beberapa kitab tafsir.

Lalu di usia 17 tahun tersebut beliau berangkat ke Mekkah al-Mukarromah dan di sana beliau juga berziarah kepada datuknya, Baginda Nabi Saw. di Madinah al-Munawwaroh. Di Mekkah Habib Utsman bin Yahya mengambil ilmu kepada ayahnya yaitu Sayyid Abdullah bin Aqil bin Yahya dan pamannya yang menjadi ulama besar di Haramain (Mekkah dan Madinah).

Setelah 4 tahun, beliau berangkat ke Negeri Hadhramaut Yaman pada usia 21 tahun. Di sana beliau belajar kepada para ulama yang sangat mahir dalam ilmu agama dan tinggi maqam kewaliannya seperti diantaranya kepada:

1. Al-Imam al-Habib Abdullah bin Husain bin Thahir Ba'alawi, yang wafat pada tahun 1273 H. Pengarang kitab Sullamuttaufiq yang disyarahi oleh Syaikh Nawawi Banten.
2. Al-Habib Hasan bin Shaleh al-Bahr, seorang wali Quthbul Ghauts di jamanya yang wafat pada tahun 1273 H.
3. Al-Imam al-Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, seorang mufti Hadhramaut Yaman yang sangat terkenal ilmu dan maqam (kedudukan) kewaliannya. Pengarang kitab al-Fatawa yang sangat masyhur dan juga pengarang kitab Safinatunnaja atau Safinatush Shalah, yang juga disyarahi oleh Syaikh Nawawi Banten, serta banyak lagi karangan kitabnya, yang wafat pada tahun 1265 H.
4. Al-Habib Abdullah bin Husain Balfaqih.
5. Al-Habib Abdullah bin Alwi bin Syihab.
6. Al-Habib Abdullah bin Abubakar Maula Buthaihah.
7. Syaikh Abdullah bin Ahmad Basaudan.
8. Syaikh Abdullah bin Sa'ad bin Sumair al-Hadhrami.

Dan beberapa lagi dari para ulama di Tarim khususnya. Juga beliau mengembara untuk mengambil ilmu serta berziarah ke Mesir, Istanbul Turki, Aljazair, Maroko dan lain-lain. 

Al-Allamah as-Sayyid al-Habib Utsman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya sewaktu di Hadhramaut dinikahkan dengan seorang syarifah dari marga Maulakhelah Ba 'Alawi. Dan setelah beberapa tahun baru beliau kembali ke Jawa terus diangkat menjadi Mufti menggantikan Syaikh Abdurrahman dari Padang Sumatra yang tinggal di Masjid Pekojan sebelum Sayyid Utsman bin Aqil bin Yahya yang akhirnya Sayyid Utsman dijuluki "Mufti Betawi". Habib Utsman bin Yahya wafat pada tahun 1333 H bertepatan dengan tahun 1912 M.

Coba kita lihat, Sayyid Utsman bin Yahya dilahirkan pada 1238 H sedangkan Syaikh Nawawi Banten dilahirkan pada tahun 1230 H, terpaut tujuh tahun. Usia Sayyid Utsman bin Yahya lebih muda dari Syaikh Nawawi Banten, sedangkan Syaikh Nawawi Banten di usia 15 tahun sudah berangkat ke Mekkah sampai wafat tidak pernah pulang ke Jawa. Seandainya dalam peristiwa Masjid Pekojan Syaikh Nawawi Banten berusia 14 tahun, maka usia Sayyid Utsman bin Yahya adalah 7 tahun, lalu apakah perlu ditambah 0 (nol) supaya jadi 70 tahun?

Cerita ini seperti ada:

1. Sejarah Sayyidina Ali bin Abi Thalib Ra. pada perang Khandaq ada sejarah yang menerangkan bahwa dalam peristiwa perang Khandaq tersebut Sayyidina Ali bin Abi Thalib berusia 8 tahun. Maka berarti saat menggantikan Baginda Nabi Saw. berumur 1 tahun, apakah demikian?

2. Perang Khandaq terjadi 7 tahun setelah hijrah dan usia Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah 28 tahun, akan tetapi ada yang berpendapat usia 8 tahun. Lantas angka '2'-nya ke mana?

Maaf ini bukan pembelaan, oleh karena itu, mari kalau membaca sejarah yang jeli dan teliti! Maaf sumber sejarah Anda dari mana?

Sepertinya Anda membaca sejarah yang ditulis oleh Kiai Abdul Aziz. Yang saya tahu beliau tidak bertanya kepada keluarga Sayyid Utsman bin Yahya, tapi hanya berfoto, berpose di makam Sayyid Utsman bin Yahya di Tanah Abang dahulu. "Dan ketika pengarang sejarah tersebut (Kiai Abdul Aziz) masih hidup beberapa kali saya ingin menemui beliau," tutur Maulana Habib Luthfi bin Yahya, "untuk memberikan keterangan yang valid, tapi tidak pernah mendapatkan jawaban. Hanya melalui orang lain yaitu Alm. Gus Dur dan Alm. KH. Fuad Hasyim Buntet Cirebon dengan jawaban 'Nanti akan diralat'."

Wallahu a'lam. Mohon maaf barangkali ada penyebutan nama atau apa saja yang salah. Kami sadur dari al-Mukarram Ustadz Abu Muhammad Syamlawi Pemalang dari dawuh langsung Maulana habib Muhammad Luthfi bin Yahya Pekalongan. (Habib Muhdor bin Ahmad Assegaf, Padepokan sang guru malam Jum'at Kliwon dini hari 24/02/2017. Semoga bermanfaat).

http://www.muslimedianews.com/2017/02/sebuah-penulisan-sejarah-yang-harus.html
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Meningkatkan Cinta Kita pada Sang Nabi
Copyright © 2011. PUSTAKA MUHIBBIN - Web Para Pecinta - All Rights Reserved
PROUDLY POWERED BY IT ASWAJA DEVELOPER
Themes by Maskolis.com | Published by Mas Template