Hubungan
baik antar manusia dengan berbagai macam keberagaman ras adalah hal pokok dalam
kehidupan. Allah Swt. menyatakan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ
خَبِيرٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal.”
(QS. al-Hujurat ayat 13).
Dengan
mengingat kesatuan asal-muasal manusia, maka ikatan psikologis telah dijalin
demi persatuan sosial. Serta mengurangi sebisa mungkin kebanggaan-kebanggan
individu yang saling merendahkan satu sama lain. Hal ini berdasarkan pada ayat
suci:
وَما أَرْسَلْنا
قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلينَ إِلاَّ إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعامَ وَ يَمْشُونَ
فِي الْأَسْواقِ وَ جَعَلْنا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَ كانَ رَبُّكَ
بَصيرا
“Dan
Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan
makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan
bagi sebagian yang lain, maukah kamu bersabar? Dan adalah Tuhanmu Mahamelihat.”
(QS. al-Furqan ayat 20).
Setidaknya
ada 10 prinsip yang diajarkan syari’ah Islam untuk menata kehidupan sebagai
konsep dalam masyarakat yang plural (beragam):
1.
Tidak Ada Pemaksaan dalam
Berkeyakinan
Di
dalam al-Quran, Allah Swt. menyebutkan:
لآَإِكْرَاهَ فِي
الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
“Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat.” (QS. al-Baqarah ayat 256).
Perlu
dicatat, bagaimanapun, bahwa mendakwahkan agama dan mengkampanyekan
kebaikan-kebaikannya tidak akan berhasil dengan paksaan, maka hal tersebut
dilarang. Meskipun begitu, dakwah tetap merupakan kewajiban, bahkan menjadi
tugas yang pokok bagi kaum Muslimin. Ada perbedaan yang sangat jelas antara
menerapkan kekerasan untuk pemaksaan agama dengan perlawanan fisik terhadap
hambatan dakwah, yang dimulai dengan argumen-argumen bernas. Ketika memang
terjadi hal terakhir itulah, perlu ada perlawanan fisik. Allah Swt. berfirman:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ
لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
“Dan
perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan
itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu),
maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang dzalim.”
(QS. al-Baqarah ayat 193).
Namun
tentu saja, sikap perlawanan ini tidak boleh bertentangan dengan ayat
sebelumnya, bahwa “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).”
2.
Perlindungan atas Nyawa,
Harta dan Kehormatan Setiap Warga
Di
dalam al-Quran disebutkan:
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ
كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ
فَسَادٍ فِي الأرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
“Oleh
karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: ‘Barangsiapa
yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain,
atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya’.”
(QS. al-Maidah ayat 32).
Diriwayatkan
oleh Imam Bukhari, dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا
لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ
عَامًا
“Barangsiapa
membunuh seorang mu’ahad (yakni orang yang dijamin keselamatannya, merujuk
kepada orang non-Muslim yang hidup di negeri Muslim), tidak akan mencium
wewangian surga, meskipun aroma surga bisa tercium dari jarak 40 tahun
perjalanan.”
Maka
atas dasar perlindungan terhadap kehidupan, kepemilikan dan kehormatan itulah
pentingnya membangun hubungan baik di antara kelompok-kelompok sebagai anggota
suatu masyarakat.
3.
Keadilan dalam Setiap
Kebijakan Pemerintah terhadap Semua Elemen Masyarakat
Pembawaan
emosional maupun kepentingan pribadi tidak diperbolehkan menjadi dasar untuk
membuat putusan; baik untuk menegaskan yang salah, maupun untuk membatalkan kebenaran.
Allah Swt. berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ
أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ
أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ
اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Mahamendengar lagi
Mahamelihat.” (QS. an-Nisa’ ayat 58).
Disebutkan
juga di dalam al-Quran:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا
تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا
هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا
اللَّهَ ۚ إِنَّ
اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.
al-Maidah ayat 8).
Sejarah
kejayaan Islam menyebutkan kisah menarik, yakni tentang suatu balapan kuda
antara putra ‘Amr bin Ash (gubernur Mesir saat itu) dengan seorang warga Mesir
biasa. Karena kalah, putra ‘Amr ini emosi kemudian memukul orang Mesir itu
tanpa kendali. Kemudian orang Mesir tersebut melaporkan hal ini kepada Khalifah
Umar bin Khattab. Beliau pun memanggil putra ‘Amr dan ayahnya, lalu
mempersilakan si orang Mesir untuk membalas sesuai dengan perlakuan yang
dialaminya. Lalu Khalifah menegur si pelaku; “Sejak kapan engkau mulai
memiliki orang yang terlahir merdeka ke dunia ini?” Lihatlah, kejadian ini
menjadi salah satu cerminan prinsip keadilan dan kesetaraan di dalam Islam.
4.
Cinta-kasih dan Kesetiaan
vis-a-vis Keadilan dan Kebaikan
Meskipun
cinta dan kasih mendalam tidak diperkenankan untuk ditunjukkan kepada mereka
yang mengingkari Allah dan RasulNya, namun nilai-nilai kebaikan dan keadilan
harus tetap ditegakkan, sebagaimana diajarkan oleh Islam dan merupakan warisan
dari Rasulullah Saw. Penjelasan tentang ini nampak jelas di dalam al-Quran:
لَا يَنْهَاكُمُ
اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ
دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS.
al-Mumtahanah ayat 8).
Larangan
di dalam ayat ini terkecualikan bagi segelintir orang, yakni mereka yang
memobilisasi kekuatan untuk menyerang, menekan dan menjajah, sebagaimana
ditekankan dalam ayat al-Quran:
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ
اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ
وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ
هُمُ الظَّالِمُونَ
“Sesungguhnya
Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang
memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang
lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka
mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (QS. al-Mumtahanah ayat 9).
Jika
ayat-ayat al-Quran kita lihat secara keseluruhan, maka ayat-ayat semacam ini:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ
جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ ۚ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Wahai
Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan
bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah Jahannam. Dan itu adalah
tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (QS. at-Taubah ayat 73), ialah
merujuk kepada kelompok manusia tertentu yang melakukan penyerangan, menjajah
kemerdekaan dan menebarkan kerusakan. Tak perlu dipertanyakan lagi bahwa penjajah
memang harus dilawan. Namun perlu dipahami bahwa ada garis-garis tuntunan dalam
hal tentang perlawanan ini. Narasi berikut ini sekiranya bisa menggambarkan hal
tersebut:
“Diriwayatkan
oleh Imam al-Baihaqi, dari Abu Imran al-Jauni, bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq Ra.
suatu kali mengirimkan Yazid bin Abi Sufyan ke Syam (hari ini Suriah dan
sekitarnya). Kala itu, Yazid berkata, “Aku tak suka melihat keadaan ini; aku
berkendara sedangkan engkau jalan kaki.” Kemudian Abu Bakar menyahut, “Engkau
telah keluar sebagai orang yang berperang di jalan Allah, maka aku mengharapkan
pahala dari jalan kakiku ini.” Lalu beliau menasehati Yazid, “Jangan
membunuh anak-anak, wanita, orang tua, jangan pula menyerang orang terluka dan
sakit, maupun para rahib. Pastikan jangan sampai menebang pohon-pohon berbuah,
atau merusak wilayah berpenghuni. Jangan bunuh unta-unta atau hewan ternak
melainkan sekedar untuk makan, jangan pula tenggelamkan pohon-pohon kurma ke
laut atau membakarnya.”
Jika
demikian halnya etika yang diteladankan oleh Rasulullah melalui para sahabat
terhadap para penyerang dan penjajah, maka bagaimana kiranya akhlaq beliau
terhadap mereka yang tidak menyerang?
5.
Mematuhi Kesepakatan dan
Mencegah Pengkhianatan
Allah
Swt. berfirman:
إِلَّا الَّذِينَ
عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا
عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَىٰ مُدَّتِهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
“Kecuali
orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan
mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula)
mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu
penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaqwa.” (QS. at-Taubah ayat 4).
Di
dalam kiab sirahnya, Ibnu Hisyam menuliskan bahwa: “Ketika Abu Jandal
mendatangi Rasulullah Saw. pada saat perjanjian Hudaibiyah. Saat itu,
Rasulullah Saw. berkata kepadanya; “Wahai Abu Jandal, bersabarlah dan
harapkanlah pahala, sebab Allah akan menyediakan jalan keluar bagimu dan kaum
Muslimin yang bersamamu. Kita telah mengikat kepercayaan dengan mereka, kita
telah berjanji tidak akan mencederai perjanjian ini dan merekapun demikian atas
nama Allah. Maka kita tidak akan mengkhianati perjanjian ini.”
Stabilitas
dan keseimbangan jangka panjang hanya bisa diharapkan jika seluruh unsur
masyarakat mau berkomitmen terhadap persetujuan bersama. Hal ini kemudian akan
menciptakan situasi yang aman, suasana yang nyaman dalam keberagaman, dimana pelaksanaan
dan pertukaran kepentingan bersama bisa berlangsung.
6.
Mengenali Pihak-pihak yang
Bisa Diajak Bekerjasama
Ketika
Rasulullah Saw. meninggalkan Mekkah bersama Abu Bakar Ra., beliau menyewa
seorang musyrik yang bisa dipercaya untuk memandu jalan. Bahkan pada saat
hendak Perang Badar. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. berpesan kepada para
sahabat; “Aku kenal banyak diantara Bani Hasyim dan lainnya yang dipaksa
untuk berperang dalam medan ini. Maka jika kalian berhadapan dengan orang-orang
dari Bani Hasyim, jangan serang mereka, dan siapapun yang berhadapan dengan
Abbas bin Abdul Mutthalib maka jangan sampai membunuhnya karena ia pun telah
dipaksa berperang dan tidak atas kemauannya.”
Lebih
jauh lagi, saat Rasulullah Saw. kembali dari Tha’if menuju Mekkah, sambil
memperkirakan akan muncul banyak serangan sepeninggal Abu Thalib, maka beliau
bernaung di bawah perlindungan Muth’im bin ‘Adi, sedangkan Abu Bakar kepada
Ibnu Dughunnah.
7.
Membuat Pembedaan antara
Ilmu-ilmu Materi dengan Ilmu-ilmu Akidah dan Syari’ah
Dalam
ilmu-ilmu materi, semisal bahasa, permesinan, sosiologi matematika, teknik,
industri, profesi, dan sebagainya, bisa dipelajari dari siapapun yang memang
ahli dalam bidang masing-masing, tentu saja tanpa melalaikan kewajiban
syari’ah. Namun dalam ilmu-ilmu akidah dan syari’ah, harus dipelajari melalui
sumber-sumber otentik, dengan belajar bersama guru yang bersambung rantai
keilmuannya (sanad) kepada Rasulullah Saw. Hal ini diterapkan bagi ilmu-ilmu
akidah dan syari’ah, tidak demikian dengan ilmu-ilmu material karena tentu akan
sangat menghambat.
Al-Hafidz
Ibnu Hajar menorehkan di dalam Fathul Bari: “Ahmad dan Ibnu Abi al-Bazzar
menyampaikan dari riwayat Jabir, bahwa Umar Ra. suatu kali datang kepada Nabi
Saw. dengan membawa sebuah buku yang ia dapatkan dari beberapa Ahlul Kitab.
Saat ia membacakannya di hadapan Nabi, beliau Saw. pun nampak marah dan
berujar, “Telah kubawakan padamu yang suci dan murni. Maka jangan kau minta
kepada mereka sesuatu yang tidak jelas, yang mana bisa berupa kebenaran namun
kau mengingkarinya, atau berupa kesalahan namun kau mengiyakannya. Demi Dzat
yang jiwaku ada di TanganNya, jika Musa masih hidup tentu dia tak punya pilihan
lain selain mengikutiku.”
Imam
Muslim, di dalam mukadimah Shahih-nya, mengatakan ujaran Imam Muhammad
bin Sirin bahwa: “Sungguh ilmu ini ialah agama. Maka perhatikan dari mana
engkau mengambil agamamu.”
8.
Membalas Kebaikan dengan
Kebaikan Pula
Rasulullah
Saw., sebagai bentuk penghormatan terhadap para tawanan Perang Badar,
mengatakan: “Perlakukan Ibnu ‘Adi dengan baik di antara para tawanan ini,
pasti aku akan bebaskan mereka semua sebab dia.” Hal ini dikarenakan Ibnu
‘Adi adalah sosok yang sangat menentang pemboikotan kaum Quraisy terhadap Nabi,
serta dialah yang merobek surat kesepakatan yang memutuskan pengasingan Bani
Hasyim di Syi’b Abu Thalib selama beberapa tahun, serta dia pulalah yang
memberikan perlindungan kepada Nabi ketika kembali dari Tha’if.
Juga
harus dicatat, bahwa penolakan segala bentuk rasisme dan kesukuan akan sangat
memperkuat kebaikan di antara unsur dalam masyarakat. Abu Dawud meriwayatkan
dari Jubair ibn Muth’im, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa
mengajak kepada ashabiyyah (fanatisme kesukuan) maka ia bukan dari golongan
kami. Barangsiapa yang bertempur sebab ashabiyyah, maka ia bukan dari golongan
kami. Barangsiapa yang mati dalam ashabiyyah, maka dia bukan dari golongan
kami.”
9.
Menghindari Debat Kusir dan
Menyalurkannya Secara Efektif
Salah
satu faktor utama penyebab kekisruhan dalam keberagaman adalah pertengkaran
dalam debat yang berlebihan, hasutan menuju keributan, serta pergolakan dan
kritik-kritik yang tidak penting. Syari’ah jelas telah melarang kita untuk
berbantahan, kecuali dengan cara yang baik dan terpuji. Allah Swt. menyatakan:
وَلا تُجَادِلُوا
أَهْلَ الْكِتَابِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Dan
janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling
baik.” (QS. al-‘Ankabut ayat 46).
Juga
disebutkan di dalam al-Quran:
اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ
رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ
اَحْسَنُ قلى اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِه وَهُوَ اَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya, dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl ayat 125).
Salah
satu cara yang juga bisa menjaga dari perdebatan adalah dengan menyadari bahwa
kewajiban dalam dakwah ialah menyampaikan dengan lemah lembut dan luwes, bukan
dengan sikap agresif dan dominasi. Kita juga jangan sampai memaksakan kehendak
kepada orang-orang, mengukur tingkat keimanan orang lain dan menghakimi apa
yang mereka lakukan. Sayangnya perilaku semacam ini kadang kita temukan pada
mereka yang mengaku berdakwah, dan menganggapnya sebagai bentuk ghirah dalam
beragama.
10. Membuka dan Menyediakan Ruang bagi Para Pencari Kebenaran
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ
مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْلَمُونَ
“Dan
jika seorang diantara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu,
maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian
antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum
yang tidak mengetahui.” (QS. at-Taubah ayat 6).
Sebagai
komentar bagi ayat ini, Ibnu Katsir menyatakan dalam tafsirnya: “Maksudnya;
Allah menitahkan kepada NabiNya; jika orang-orang musyrik yang halal darahnya
(sebab penganiayaan yang telah mereka lakukan) itu datang kepadamu untuk
meminta perlindungan, maka berilah mereka perlindungan hingga mereka bisa
mendengarkan al-Quran. Hal ini memungkinkan bagi mereka untuk menerima
kebenaran Islam, serta mengimani Allah Swt. Setelah itu, mereka bisa menetap di
tempat yang aman sampai tiba masanya mereka bisa kembali ke kampung halaman.
Dan Allah menyatakan hal ini untuk menunjukkan bahwa ada kesempatan bagi mereka
untuk memahami pesan-pesan Ilahi dan kemuliaan aturan Islam.”
Inilah
sepuluh prinsip hidup dalam keberagaman (pluralitas) yang disampaikan oleh
al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz bin Syaikh Abi Bakr bin Salim,
pengasuh Ma’had Darul Musthafa, Tarim Hadhramaut Yaman. (Sumber: Naseem al
Sham, diterjemahkan oleh Zia Ul Haq dari catatan Dr. Muhammad Yasir al-Qadmani
atas transkrip ceramah al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidz, via www.santrijagad.org).
ajibbb....
BalasHapus