Home » » BAB 4; PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW

BAB 4; PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW

Written By MuslimMN on Kamis, 20 September 2012 | 11.49


BAB 4; PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW


Pernyataan Abdullah bin Baz bahwa Memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw. adalah Bid’ah:

Segala puji bagi Allah dan semoga shalawat beriringan salam senantiasa tercurah untuk Rasulullah, keluarga, para sahabatnya dan untuk seluruh orang yang mengikuti petunjuknya.
Banyak sekali orang yang bertanya tentang hukum memperingati Maulid Nabi Saw. dan berdiri bersama ketika peringatan berlangsung serta memberi salam kepada Nabi Saw. dan hal lainnya yang dilakukan orang-orang pada peringatan tersebut.
Jawabannya: Tidak boleh memperingati hari Maulid Nabi Saw. dan maulid siapapun, karena hal itu merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam agama. Rasulullah Saw., Khulafaurrasyidin dan para Sahabat, begitu pula para tabi’in yang berada pada kurun terbaik tidak pernah melakukannya. Padahal mereka adalah orang yang paling mengerti dengan sunnah dan orang yang paling sempurna cintanya kepada Rasulullah Saw. serta paling konsisten dalam mengikuti syari’atnya dibanding dengan orang-orang yang dating setelah mereka.
Nabi Saw. bersabda:“Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan agama kami tanpa dasarnya maka hal itu akan ditolak (tidak diterima).”
Dalam hadits lain beliau bersabda: “Berpegangteguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaurrasyidin yang telah mendapat petunjuk setelahku, berpegang teguhlah dengannya dan hindarilah oleh kamu sekalian hal-hal yang diada-adakan dalam agama, sesungguhnya setiap hal yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat.”
Dua hadits ini merupakan peringatan yang keras kepada kita agar tidak mengada-ada bid’ah dan mengamalkannya. Allah ta’ala berfirman di dalam al-Quran: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. al-Hasyr ayat 7). “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. an-Nur ayat 63). “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. al-Ahzab ayat 21).  “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama- tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. at-Taubah ayat 100). “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmatKu untukmu, dan telah Aku ridha Islam sebagai agama bagimu.” (QS. al-Maidah ayat 3). Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ini.
Dengan mengada-adakan semacam peringatan Maulid, terkesan bahwa Allah ta’ala belum menyempurnakan agama untuk umat ini dan Rasulullah Saw. belum menyampaikan semua yang patut diamalkan oleh mereka maka generasi terakhir mengada-ada dalam agama sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah dengan keyakinan bahwa hal tersebut bisa mnedekatkan mereka kepada Allah. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini sangat berbahaya dan merupakan pembangkangan kepada Allah dan RasulNya, karena Allah telah menyempurnakan agama ini untuk para hambaNya untuk mereka. Begitu pula Rasulullah Saw. telah menyampaikan risalahnya dengan sempurna. Tidak ada satupun jalan yang membawa umat ke surga, dan yang menjauhkan mereka dari api neraka kecuali Rasulullah Saw. telah terangkan kepada mereka.
Di dalam hadits yang shahih dari Abdullah bin Amr Ra., Rasulullah Saw. bersabda: “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi melainkan diwajibkan atasnya agar menunjukkan umatnya kepada semua kebaikan yang diketahuinya untuk mereka dan mengingatkan mereka (agar menghindari) semua keburukan yang diketahuinya bagi mereka.” (HR. Muslim).
Telah dimaklumi bahwa Nabi kita Muhammad Saw. adalah Nabi terakhir dan yang paling mulia serta Nabi yang paling sempurna nasehat dan risalahnya. Jikalau peringatan Maulid ini termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Swt. maka Rasulullah Saw. pasti menyampaikannya kepada umat atau melakukannya semasa hidupnya atau dilakukan oleh para sahabat. Namun tidak ada satupun hal tersebut yang terjadi. Ini berarti dalam ajaran Islam dan merupakan hal yang diada-adakan yang mana Rasulullah Saw. telah mengingatkanm umat agar menghindarinya, sebagaimana telah disebutkan pada dua hadits yang lalu dan hadits-hadits lain yang semakna dengan itu, seperti sabda Rasulullah Saw. ketika khutbah Jum’at: “Selanjutnya, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah al-Quran, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., sejelek-jelek perkara adalah hal-hal yang diada-adakan di dalam agama (bid’ah), setiap bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Muslim).
Sejumlah ulama secara tegas mengingkari dan melarang peringatan Maulid, berdasarkan kepada dalil-dalil di atas dan dalil-dalil lainnya. Sebagian ulama dari kalangan mutaakhirin membolehkannya selama tidak mengandung hal-hal yang munkar, seperti berlebihan dalam pujian-pujian kepada Rasulullah, campur-baur antara laki-laki dan wanita, menggunakan alat-alat musik dan hal-hal lain yang tidak dibolehkan oleh syara’. Mereka menganggap hal itu merupakan bid’ah hasanah. Padahal dalam kaidah syari’ah dikatakan bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan manusia wajib dikembalikan kepada al-Quran dan Sunnah. Allah berfirman: “Hai orang–orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan Ulil Amri (pemimpin) di antara kamu, kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. an-Nisa ayat 59).
Dan kita telah kembalikan masalah peringatan Maulid ini kepada al-Quran dan kita dapatkan di dalamnya bahwa Allah memerintahkan kita semua untuk mengikuti seluruh yang dibawa oleh Rasulullah Saw. dan mengingatkan kita agar menjauhi semua yang dilarangnya. Al-Quran juga memberitakan kepada kita bahwa Allah ta’ala telah menyempurnakan agama untuk umat ini, sedangkan peringatan maulid tidak termasuk dalam apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Ini berarti ia tidak termasuk ajaran agama yang telah disempurnakan Allah bagi kita dan Allah telah memerintahkan kita semua untuk mengikuti Rasulullah Saw. Kita juga telah kembalikan permasalahan ini kepada Rasulullah Saw., kemudian kita tidak mendapatkan bahwa beliau pernah melakukan atau memerintahkannya. Begitu pula para sahabat, mereka juga tidak pernah mengamalkannya.
Dengan demikian kita ketahui bahwa ia tidaklah termasuk ajaran agama kita tetapi hal itu meruapkan bid’ah yang diada-adakan dan mencontoh kaum Yahudi dan Nashrani dalam perayaan-perayaan mereka. Maka jelaslah bagi siapa saja yang menginginkan yang haq bahwa perayaan Maulid bukanlah bagian dari ajaran Islam tetapi ia adalah bid’ah yang dibuat-buat, yang mana Allah dan RasulNya telah memerintahkan kita untuk meninggalkan dan menghindarinya. Tidaklah patut bagi seseorang yang berakal, tergiur dengan banyaknya orang yang melakukan hal tersebut di berbagai belahan dunia. Sesungguhnya ukuran kebenaran itu, bukanlah pada banyaknya jumlah orang yang melakukannya. Tetapi, ukurannya adalah dalil-dalil syara’, sebagaimana Allah berfirman tentang orang-orang Yahudi dan Nashrani: “Dan mereka (Yahudi dan Nashrani) berkata “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nashrani, demikian itu hanya angan-angan mereka yang kosong belaka”. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS. al-Baqarah ayat 111).
Allah berfirman: “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. al-An’am ayat 116).
Disamping perayaan maulid tersebut adalah bid’ah, biasanya ketika acara berlangsung banyak mengandung kemunkaran lain, seperti campur-baur laki-laki dan wanita, nyanyian dan alat-alat musik, minuman yang memabukkan, narkotika dan lain sebagainya. Bahkan terjadi juga hal yang lebih parah dari itu semua yaitu syirik akbar dengan menunjukkan sikap yang berlebihan terhadap Rasulullah Saw. atau selainnya seperti para wali serta berdoa memohon pertolongan dan bantuan kepadanya dan meyakini bahwa dia mengetahui hal yang ghaib dan berbagai bentuk kekufuran lainnya yang dicontoh oleh kebanyakan orang yang menghadiri perayaan maulid Nabi Saw. tersebut dari orang-orang yang mereka sebut sebagai wali-wali.
Di dalam hadits yang shahih Rasulullah Saw. bersabda: “Hindarilah oleh kamu sekalian bersikap ghuluw (berlebihan) dalam agama. Sesungguhnya sikap ghuluw dalam agama itulah yang telah menyebabkan hancurnya orang-orang yang sebelum kamu.” Dan Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah kamu sekalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nashrani berlebihan dalam memuji (Isa) putra Maryam, maka ucapkanlah: “Hamba Allah dan RasulNya”.” (HR. Bukhari dari Umar Ra.).
Merupakan satu hal yang aneh dan mengherankan bahwa banyak di antara manusia yang rajin dan bersemangat dalam menghadiri perayaan-perayaan bid’ah tersebut. Bahkan mereka membela dan mempertahankannya tapi di sisi lain mereka meninggalkan hal-hal yang secara jelas diwajibkan Allah kepada mereka, seperti menghadiri shalat Jum’at dan shalat berjama’ah. Mereka tidak mengindahkannya dan tidak menganggap bahwa mereka dengan demikian telah berbuat kemunkaran yang besar. Ini jelas sekali, disebabkan oleh kelemahan iman serta minimnya pemahaman dan pengetahuan terhadap agama, disamping hati yang kotor yang telah dibalut oleh berbagai macam jenis dosa dan maksiat. Hanya kepada Allah kita memohon, keselamatan untuk kita dan seluruh kamu muslimin di dunia dan akhirat.
Diantara hal yang aneh juga bahwa sebagian mereka meyakini bahwa Rasulullah Saw. hadir bersama mereka dalam acara Maulid tersebut. Oleh karena itu mereka secara bersama-sama berdiri untuk menyambut dan member penghormatan kepada beliau. Ini merupakan kebathilan dan kebodohan yang nyata karena Rasulullah Saw. tidak akan keluar dari kuburnya sebelum hari kiamat dan selama itu beliau tidak akan berhubungan dengan siapapun dan tidak akan hadir dalam pertemuan-pertemuan mereka. Akan tetapi beliau akan tetap tinggal di kuburnya sampai hari kiamat sedangkan ruh beliau berada di tempat tertinggi di sisi Allah di tempat yang mulia. Allah berfirman: “Kemudian kamu sekalian setelah itu benar-benar akan mati, kemudian sesungguhnya kamu sekalian pada hari kiamat akan dibangkitkan (dari kuburmu).” (QS. al-Mukminun ayat 15-16).
Rasulullah Saw. bersabda: “Aku adalah orang pertama yang akan dibangkitkan dari kubur pada  hari kiamat dan aku adalah orang pertama yang memberi syafa’at dan yang diizinkan member syafa’at.”
Ayat dan hadits diatas, begitu pula ayat-ayat dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya menunjukkan bahwa Nabi Saw. dan orang-orang yang meninggal dunia lainnya akan dibangkitkan dari kubur-kubur mereka pada hari kiamat. Ini telah merupakan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Maka setiap muslim harus hati-hati dalam hal ini, jangan sampai terjerumus kepada bid’ah-bid’ah dan khurafat yang sengaja diada-adakan oleh orang-orang jahil dan yang sejenis dengan mereka. Hanya Allah tempat kita memohon pertolongan, hanya kepadaNya kita berserah diri dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izinNya.
Adapun mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasulullah Saw. adalah termasuk ibadah dan amal shaleh yang paling afdhal (utama), sebagaimana firman Allah : “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.” (QS. al-Ahzab ayat 56).
Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku dengan satu shalawat maka Allah akan bershalawat (memberi rahmat) kepadanya dengan sepuluh kali lipat.”
Shalawat tersebut disyari’atkan di setiap waktu, terutama penghujung shalat. Bahkan menurut sejumlah ulama, hukumnya adalah wajib pada tasyahhud akhir dalam setiap shalat, dan sunah muakkad pada beberapa waktu, diantaranya adalah setelah adzan, ketika disebut nama Nabi Saw., pada hari Jum’at dan malamnya sebagaimana yang tertera dalam banyak hadits yang shahih. Semoga Allah memberi taufiq kepada kita dan seluruh kamu muslimin untuk memahami dan mendalami Islam, serta konsisten dengannya dan menganugerahkan kepada kita semua kekuatan untuk tetap berpegang teguh kepada sunnah dan menjauhi bid’ah. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah dan Mulia. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah untuk Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.


Tanggapan Al-Habib Mundzir Al-Musawa Mengenai Mereka yang Mengingkari Maulid:

“Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw.”. Ketika kita membaca kalimat ini maka di dalam hati kita sudah tersirat bahwa kalimat ini akan langsung membuat alergi bagi sebagian kelompok muslimin, saya akan meringkas penjelasannya secara ‘aqlan wa syar’an, (logika dan syariah). Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu yang membuat mereka gembira, apakah keberhasilan, kemenangan, kekayaan atau lainnya, mereka merayakannya dengan pesta, mabuk-mabukkan, berjoget bersama, wayang, lenong atau bentuk pelampiasan kegembiraan lainnya, demikian adat istiadat di seluruh dunia. Sampai di sini saya jelaskan dulu bagaimana kegembiraan atas kelahiran Rasul Saw.:

Allah Merayakan Hari Kelahiran Para NabiNya:
·         Firman Allah: “(Isa berkata dari dalam perut ibunya): “Salam sejahtera atasku, di hari kelahiranku, dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan.” (QS. Maryam ayat 33).
·         Firman Allah: “Salam sejahtera dari kami (untuk Yahya As.) di hari kelahirannya, dan hari wafatnya dan hari ia dibangkitkan.” (QS. Maryam ayat 15).
·         Rasul Saw. lahir dengan keadaan sudah dikhitan. (Lihat dalam al-Mustadrak ‘ala Shahihain hadits No. 4177).
·         Berkata Utsman bin Abil Ash ats-Tsaqafiy dari ibunya yang menjadi pembantunya Aminah Ra. bunda Nabi Saw., ketika Bunda Nabi Saw. mulai saat-saat melahirkan, ia (Ibu Utsman) melihat bintang-bintang mendekat hingga ia takut berjatuhan di atas kepalanya, lalu ia melihat cahaya terang-benderang keluar dari Bunda Nabi Saw. hingga membuat terang benderangnya kamar dan rumah (Lihat dalam Fath al-Bari al-Masyhur juz 6 halaman 583).
·         Ketika Rasul Saw. lahir ke muka bumi beliau langsung bersujud  (Lihat dalam Sirah Ibn Hisyam).
·         Riwayat shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi Saw. saat melahirkan Nabi Saw. melihat cahaya yang terang benderang hingga pandangannya menembus dan melihat istana-istana Romawi (Lihat dalam Fath al-Bari al-Masyhur juz 6 halaman 583) .
·         Malam kelahiran Rasul Saw. itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14 buah jendela besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yang 1000 tahun tak pernah padam (Lihat dalam Fath al-Bari al-Masyhur juz 6 halaman 583).
Kenapa kejadian-kejadian ini dimunculkan oleh Allah Swt.?, kejadian-kejadian besar ini muncul menandakan kelahiran Nabi Saw., dan Allah Swt. telah merayakan kelahiran Muhammad Rasulullah Saw. di alam ini, sebagaimana Dia Swt. telah pula membuat salam sejahtera pada kelahiran Nabi-nabi sebelumnya.

Rasulullah Saw. Memuliakan Hari Kelahirannya Sendiri
Ketika beliau Saw. ditanya mengenai puasa di hari Senin, beliau Saw. menjawab: “Itu adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan.” (Shahih Muslim hadits no. 1162), dari hadits ini sebagian saudara-saudara kita mengatakan boleh merayakan Maulid Nabi Saw. asal dengan puasa. Rasul Saw. jelas-jelas memberi pemahaman bahwa hari Senin itu berbeda di hadapannya daripada hari lainnya, dan hari Senin itu adalah hari kelahiran beliau Saw. Karena beliau Saw. tak menjawab misalnya: “Oh puasa hari Senin itu mulia dan boleh-boleh saja..”, namun beliau bersabda: “Itu adalah hari kelahiranku”, ini menunjukkan bahwa hari kelahiran beliau Saw. ada nilai tambah dibanding hari-hari lainnya.
Contoh mudah misalnya Zaid bertanya pada Amir: “Bagaimana kalau kita berangkat umroh pada 1 Januari?”, maka Amir menjawab: “Oh itu hari kelahiran saya.” Nah, bukankah jelas-jelas bahwa Zaid memahami bahwa 1 Januari adalah hari yang berbeda dari hari-hari lainnya bagi Amir. Dan Amir menyatakan dengan jelas bahwa 1 Januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yang perhatian pada hari kelahirannya, kalau Amir tak acuh dengan hari kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut-nyebut bahwa 1 Januari adalah hari kelahirannya, dan Nabi Saw. tak memerintahkan puasa hari Senin untuk merayakan kelahirannya.
Pertanyaan sahabat ini berbeda maksud dengan jawaban beliau Saw. yang lebih luas dari sekedar pertanyaannya, sebagaimana contoh di atas, Amir tidak memerintahkan umroh pada 1 januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yang berpendapat bahwa boleh merayakan Maulid hanya dengan puasa saja maka tentunya dari dangkalnya pemahaman terhadap ilmu bahasa. Orang itu bertanya tentang puasa hari Senin, maksudnya boleh atau tidak? Rasul Saw. menjawab: “Hari itu hari kelahiranku”, menunjukkan hari kelahiran beliau Saw. ada nilai tambah pada pribadi beliau Saw., sekaligus diperbolehkannya puasa di hari itu. Maka jelaslah sudah bahwa Nabi Saw. termasuk yang perhatian pada hari kelahiran beliau Saw., karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya Islam.

Sahabat Memuliakan Hari Kelahiran Nabi Saw
Berkata Abbas bin Abdul Muththalib Ra.: “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah.”, maka Rasul Saw. menjawab: “Silakan.., maka Allah akan membuat bibirmu terjaga.” Maka Abbas Ra. memuji dengan syair yang panjang, diantaranya: “… Dan Engkau (wahai Nabi Saw.) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya di bumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (al-Qur’an) kami terus mendalaminya.” (Lihat dalam al-Mustadrak ‘ala Shahihain hadits no. 5417).

Kasih Sayang Allah terhadap yang Kafir yang Gembira atas Kelahiran Nabi Saw.
Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Muthhalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan Abbas bertanya padanya: “Bagaimana keadaanmu?” Abu Lahab menjawab: “Di neraka, cuma diringankan siksaku setiap Senin karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul Saw.” (Shahih Bukhari hadits no. 4813, Imam Baihaqi dalam Sunan al-Kubra hadits no. 13701, Syi’b al-Iman no.281, Fath al-Bari al-Masyhur juz 11 halaman 431).
Walaupun kafir terjahat ini dibantai di alam barzakh, namun tentunya Allah berhak menambah siksanya atau menguranginya menurut kehendak Allah Swt., maka Allah menguranginya setiap hari Senin karena telah gembira dengan kelahiran Rasul Saw. dengan membebaskan budaknya. Walaupun mimpi tidak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun mimpi dapat dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah dan lainnya, misalnya mimpi orang kafir atas kebangkitan Nabi Saw., maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas kebangkitan Nabi Saw. Maka para imam di atas yang meriwayatkan hal itu tentunya menjadi hujjah bagi kita bahwa hal itu benar adanya, karena diakui oleh para imam dan mereka tidak mengingkarinya. Lebih lagi hal itu teriwayatkan pada Shahih Bukhari, dan sebagian para muhadditsin pun mengatakan: ”Tidak mudah untuk mengingkari hal ini, karena Imam Bukhari meriwayatkan hal itu pada Shahihnya. Karena walaupun hal itu hanya mimpi Abbas Ra., tapi sudah berubah menjadi ucapan Abbas Ra. karena ia telah mengucapkannya, dan jika hal itu batil maka Sayyidina Abbas Ra. Tak akan menceritakannya, dan diperkuat pula Imam Bukhari pada Shahihnya meriwayatkan ucapan Abbas Ra. itu, maka ucapan itu telah menjadi hujjah, karena diucapkan oleh sahabat besar, Abbas bin Abdul Muththalib Ra. paman Nabi Saw.”

Rasulullah Saw. Memperbolehkan Syair Pujian di Masjid
Hasan bin Tsabit Ra. membaca syair di Masjid Nabawiy yang lalu ditegur oleh Umar Ra., lalu Hassan berkata: “Aku sudah baca syair nasyidah di sini di hadapan orang yang lebih mulia dari engkau wahai Umar (yaitu Nabi Saw.)”. Lalu Hassan berpaling pada Abu Hurairah Ra. dan berkata: “Bukankah kau dengar Rasul Saw. menjawab syairku dengan doa: “Wahai Allah bantulah ia dengan Ruhul Qudus?” Maka Abu Hurairah Ra. berkata: “Betul.” (Shahih Bukhari hadits no. 3040 dan Shahih Muslim hadits no. 2485).
Ini menunjukkan bahwa pembacaan syair di masjid tidak semuanya haram, sebagaimana beberapa hadits shahih yang menjelaskan larangan syair di masjid, namun jelaslah bahwa yang dilarang adalah syair-syair yang membawa pada ghaflah, pada keduniawian. Namun syair-syair yang memuji Allah dan RasulNya maka hal itu diperbolehkan oleh Rasul Saw. bahkan dipuji dan didoakan oleh beliau Saw. sebagaimana riwayat di atas, dan masih banyak riwayat lain sebagaimana dijelaskan bahwa Rasul Saw. mendirikan mimbar khusus untuk Hasan bin Tsabit di masjid agar ia berdiri untuk melantunkan syair-syairnya. Lihatlah dalam al-Mustadrak ‘ala Shahihain hadits no. 6058, Sunan at-Tirmidzi hadits no. 2846.
Dari Aisyah Ra. bahwa ketika ada beberapa sahabat yang mengecam Hasan bin Tsabit Ra. maka Aisyah Ra. berkata: “Jangan kalian caci Hasan, sungguh ia itu selalu membanggakan Rasulullah Saw. (Lihat dalam Musnad Abu Ya’la juz 8 halaman 337).

Pendapat Para Imam dan Muhaddits atas Perayaan Maulid
1.    Pendapat Imam al-Hafidh Ibn Hajar al-Asqalaniy rahimahullah:
Telah jelas dan kuat riwayat yang sampai padaku dari Shahihain bahwa Nabi Saw. datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yang berpuasa hari Asyura (10 Muharram), maka Rasul Saw. bertanya tentangnya, maka mereka berkata: “Hari ini hari ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt”, maka bersabda Rasul Saw.: “Kita lebih berhak atas Musa As. dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yang diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dengan pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca al-Qur’an, maka nikmat apalagi yang melebihi kebangkitan Nabi ini?. Telah berfirman Allah Swt.: “Sungguh Allah telah memberikan anugerah pada orang-orang mu’min ketika dibangkitkannya Rasul dari mereka.” (QS. Ali Imran ayat 164)
2.    Pendapat Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullah:
“Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul Saw. beraqiqah untuk dirinya setelah beliau Saw. menjadi Nabi.” (Ahadits al-Mukhtarah hadis no. 1832 dengan sanad shahih dan Sunan al-Kubra Imam Baihaqi juz 9 halaman 300).
Dan telah diriwayatkan bahwa telah beraqiqah untuknya kakeknya Abdul Muththalib saat usia beliau Saw. berumur 7 tahun, dan aqiqah tak mungkin diperbuat dua kali. Maka jelaslah bahwa aqiqah beliau Saw. yang kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau Saw. kepada Allah Swt. yang telah membangkitkannya sebagai rahmatan lil ’alamin dan membawa Syariah untuk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau Saw. dengan mengumpulkan teman-teman dan saudara-saudara, menjamu dengan makanan-makanan dan yang serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. Bahkan Imam as-Suyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan Maulid dengan nama “Husn al-Maqshad fi ‘Amal al-Maulid”.
3.    Pendapat Imam al-Hafidz Abu Syamah rahimahullah (guru Imam an-Nawawi):
“Merupakan bid’ah hasanah yang mulia di zaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul Saw. dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul Saw. dan membangkitkan rasa cinta pada beliau Saw., dan bersyukur kepada Allah dengan kelahiran Nabi Saw.”
4.    Pendapat Imam al-Qurra’ al-Hafidz Syamsuddin al-Jazriy rahimahullah:
Dalam kitabnya ‘Urif bi at-Ta’rif Maulid asy-Syariif: Telah diriwayatkan bahwa Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu? Ia menjawab: “Di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam Senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi (Saw.) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (Saw.).” (Shahih Bukhari). Maka apabila Abu Lahab Kafir yang al-Qur’an turun mengatakannya di neraka, mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi Saw., maka bagaimana dengan muslim ummat Muhammad Saw. yang gembira atas kelahiran Nabi Saw.? Maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh-sungguh ia akan dimasukkan ke surga kenikmatanNya dengan sebab anugerahNya.”
5.    Pendapat Imam al-Hafidz Syamsuddin bin Nashiruddin ad-Dimasyqiy rahimahullah:
Dalam kitabnya yang bernama Aurid ash-Shadiy fi Maulid al-Hadiy menyatakan hal yang serupa dengan ucapan Imam al-Qurra’ al-Hafidz Syamsuddin al-Jazriy di atas, yaitu menukil hadits tentang Abu Lahab.
6.    Pendapat Imam al-Hafidz as-Sakhawiy rahimahullah:
Dalam kitab Sirah al-Halabiyah beliau berkata: ”Tidak dilaksanakan Maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya dan tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pada malamnya dengan berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yang sangat besar.”
7.    Pendapat Imam al-Hafidz Ibn Abidin rahimahullah:
Dalam syarahnya Maulid Ibn Hajar berkata: ”Ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan Maulid di bulan kelahiran nabi Saw.”
8.    Pendapat Imam al-Hafidz Ibn al-Jauzi rahimahullah:
Dengan karangan Maulidnya yang terkenal al-‘Aruus beliau juga berkata tentang pembacaan mauled: ”Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakannya.”
9.    Pendapat Imam al-Hafidz al-Qasthalani rahimahullah:
Dalam kitabnya al-Mawahib al-Ladunniyyah juz 1 halaman 148 cetakan al-Maktab al-Islami berkata: ”Maka Allah akan menurukan rahmatNya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi Saw. sebagai hari besar.”
10. Pendapat Imam al-Hafidz al-Muhaddits Abul Khaththab Umar bin Ali bin Muhammad rahimahullah yang terkenal dengan Ibn Dihyah al-Kalbi:
Dengan karangan maulidnya yang bernama at-Tanwir fi Maulid Basyir an-Nadzir.
11. Pendapat Imam al-Hafidz al-Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah al-Juzri rahimahullah:
Dengan kitab maulidnya ‘Urfu at-Ta’rif bi Maulid asy-Syarif.
12. Pendapat Imam al-Hafidz Ibn Katsir rahimahullah:
Yang karangan kitab maulidnya dikenal dengan nama Maulid Ibn Katsir.
13. Pendapat Imam al-Hafidz al-’Iraqy rahimahullah:
Dengan karya maulidnya Maurid al-Hana fi Maulid as-Sana.
14. Pendapat Imam al-Hafidz Nasruddin ad-Dimasyqiy rahimahullah:
Telah mengarang beberapa kitab maulid diantaranya adalah Jami’ al-Astar fi Maulid Nabi al-Mukhtar 3 jilid, al-Lafadz ar-Ra’iq fi Maulid Khair al-Khalaiq, Maurud ash-Shadiy fi Maulid al-Hadi.
15. Pendapat Imam as-Sakhawiy rahimahullah:
Dengan karangan maulidnya al-Fajr al-‘Ulwi fi Maulid an-Nabawi.
16. Pendapat al- Allamah al-Faqih Ali Zainal Abidin asy-Syamuhdi:
Dengan kitab maulidnya al-Mawarid al-Haniah fi Maulid Khairil Bariyyah.
17. Pendapat al-Imam al-Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad asy-Syaibaniy yang terkenal dengan nama Ibn Diba’:
Dengan karangan maulidnya ad-Diba’i.
18. Pendapat Imam Ibn Hajar al-Haitsami:
Dengan kitab maulidnya Itmam an-Ni’mah ‘ala al-‘Alam bi Maulid Sayidi Waladu Adam.
19. Pendapat Imam Ibrahim al-Bajuri:
Mengarang hasyiah atas Maulid Ibn Hajar dengan nama Tuhfah al-Basyar ‘ala Maulid Ibn Hajar.
20. Pendapat al-Allamah Ali al-Qari’:
Dengan kitab maulidnya Maurud ar-Rawi fi Maulid Nabawi.
21. Pendapat al-Allamah al-Muhaddits Ja’far bin Hasan al-Barzanji:
Dengan kitab maulidnya yang terkenal Maulid al-Barzanji.
22. Pendapat al-Imam al-Muhaddits Muhammad bin Ja’far al-Kattani:
Dengan kitab maulidnya al-Yaman wa al-Is’ad bi Maulid Khair al-‘Ibad.
23. Pendapat al-Allamah Syeikh Yusuf bin Ismail an-Nabhaniy:
Dengan kitab maulidnya al-Jawahir an Nadzmu al-Badi’ fi Maulid asy-Syafi’.
24. Pendapat Imam Ibrahim asy-Syaibaniy:
Dengan kitab maulidnya al-Maulid MusthofaAdnani.
25. Pendapat Imam Abdul Ghaniy an-Nablisy:
Dengan karangan maulidnya al-‘Alam al-Ahmadi fi Maulid Muhammadi.
26. Pendapat Syihabuddin al-Halwani:
Dengan karanagn maulidnya Fath al-Lathif fi Syarh Maulid asy-Syarif.
27. Pendapat Imam Ahmad bin Muhammad ad-Dimyathi:
Dengan karanagan maulidnya al-Kaukab al-Azhar ‘ala al-‘Iqdu al Jauhar fi Maulid Nadi al-Azhar.
28. Pendapat asy-Syeikh Ali at-Tanthowiy:
Dengan karangan maulidnya Nur ash-Shofa fi Maulid al-Musthafa.
29. Pendapat asy-Syeikh Muhammad al-Maghribi:
Dengan karangan maulidnya at-Tajalliyyat al-Khifiyyah fi Maulid Khair al-Bariyyah.
Tiada satupun para muhadditsin dan para imam yang menentang dan melarang hal ini, mengenai beberapa pernyataan para imam dan muhadditsin yang menentang maulid sebagaimana disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya menggunting dan memotong ucapan para imam itu, dengan kelicikan yang jelas-jelas meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam.

Berdiri di Saat Mahal Qiyam dalam Pembacaan Maulid
Mengenai berdiri saat Maulid ini, merupakan qiyas dari menyambut kedatangan Islam dan syariah Rasul Saw., dan menunjukkan semangat atas kedatangan sang pembawa risalah pada kehidupan kita. Hal ini lumrah saja, sebagaimana penghormatan yang dianjurkan oleh Rasul Saw. adalah berdiri, diriwayatkan ketika Sa’ad bin Mu’adz Ra. datang maka Rasul Saw. berkata kepada kaum Anshar: “Berdirilah untuk tuan kalian.” (Shahih Bukhari hadits no. 2878 dan Shahih Muslim hadits no. 1768), demikian pula berdirinya Thalhah Ra. untuk Ka’ab bin Malik Ra.
Memang mengenai berdiri penghormatan ini ada ikhtilaf ulama, sebagaimana yang dijelaskan bahwa berkata Imam al-Khaththabiy bahwa berdirinya bawahan untuk majikannya, juga berdirinya murid untuk kedatangan gurunya, dan berdiri untuk kedatangan imam yang adil dan yang semacamnya merupakan hal yang baik, dan berkata Imam Bukhari bahwa yang dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yang duduk, dan Imam Nawawi yang berpendapat bila berdiri untuk penghargaan maka tidak apa-apa, sebagaimana Nabi Saw. berdiri untuk kedatangan putrinya Fathimah Ra. saat ia dating. Namun ada pula pendapat lain yang melarang berdiri untuk penghormatan. (Lihat dalam Fathal-Baari al-Masyhur juz 11 dan Syarh Imam an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 12 halaman 93).
Namun dari semua pendapat itu, tentulah berdiri saat Mahalul Qiyam dalam membaca mauled itu tak ada hubungan apa-apa dengan semua perselisihan itu, karena Rasul Saw. tidak dzahir dalam pembacaan maulid itu, lepas dari anggapan ruh Rasul Saw. hadir saat pembacaan maulid, itu bukan pembahasan kita, masalah seperti itu adalah masalah ghaib yang tak bisa disyarahkan dengan hukum dzahir. Semua ucapan di atas adalah perbedaan pendapat mengenai berdiri penghormatan yang Rasul Saw. pernah melarang agar sahabat tak berdiri untuk memuliakan beliau Saw.
Jauh berbeda bila kita yang berdiri sebagai penghormatan mengingat jasa beliau saw, tak terikat dengan beliau hadir atau tidak, bahwa berdirinya kita adalah sebagai bentuk semangat kita menyambut risalah Nabi Saw., dan penghormatan kita kepada kedatangan Islam, dan kerinduan kita pada nabi Saw., sebagaimana kita bersalam pada Nabi Saw. setiap kita shalat pun kita tak melihat beliau Saw.
Diriwayatkan bahwa Imam al-Hafidz Taqiyuddin as-Subkiy rahimahullah, seorang imam besar dan terkemuka di zamannya bahwa ia berkumpul bersama para muhaddits dan imam-imam besar dalam perkumpulan yang padanya dibacakan puji-pujian untuk Nabi Saw. Lalu diantara syair-syair itu merekapun seraya berdiri termasuk Imam as-Subkiy dan seluruh imam-imam yang hadir bersamanya, dan didapatkan kesejukan yang luhur dan cukuplah perbuatan mereka itu sebagai panutan.
Dan berkata Imam Ibn Hajar al-Haitsamiy rahimahullah bahwa: “Bid’ah hasanah sudah menjadi kesepakatan para imam bahwa itu merupakan hal yang sunnah, (berlandaskan hadits Shahih Muslim no.1017 yang terncantum pada bab Bid’ah) yaitu bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, dan mengadakan Maulid itu adalah salah satu bid’ah hasanah.”
Dan berkata pula Imam as-Sakhawiy rahimahullah bahwa: “Mulai abad ketiga hijriyah mulailah hal ini dirayakan dengan banyak sedekah dan perayaan agung ini di seluruh dunia dan membawa keberkahan bagi mereka yang mengadakannya.” (Lihat dalam Sirah al-Halabiyah juz 1 halaman 137).
Pada hakekatnya, perayaan Maulid ini bertujuan mengumpulkan para muslimin untuk Medan Tabligh dan bersilaturahim sekaligus mendengarkan ceramah islami yang diselingi bershalawat dan salam pada Rasul Saw., dan puji-pujian pada Allah dan Rasul Saw. yang sudah diperbolehkan oleh Rasul Saw., dan untuk mengembalikan kecintaan mereka pada Rasul Saw., maka semua maksud ini tujuannya adalah kebangkitan risalah pada ummat yang dalam ghaflah, maka par imam dan fuqaha manapun tak akan ada yang mengingkarinya karena jelas-jelas merupakan salah satu cara membangkitkan keimanan muslimin. Hal semacam ini tak pantas dipungkiri oleh setiap muslimin ‘aqlan wa syar’an (secara logika dan hukum syariah), karena hal ini merupakan hal yang mustahab (yang dicintai). Sebagaiman kaidah syariah bahwa “Ma yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib”, semua yang menjadi penyebab kewajiban dengannya maka hukumnya wajib.
Contohnya saja sebagaimana kita ketahui bahwa menutup aurat dalam shalat hukumnya wajib, dan membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat kita akan melakukan shalat kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus membeli dulu, maka membeli baju hukumnya berubah menjadi wajib, karena perlu dipakai untuk melaksanakan shalat yang wajib. Contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak, dan membuat kantong baju hukumnya mubah saja, lalu saat akan bepergian kita akan membawa siwak dan baju kita tidak berkantong, maka perlulah bagi kita membuat kantong baju untuk menaruh siwak, maka membuat kantong baju di pakaian kita menjadi sunnah hukumnya, karena diperlukan untuk menaruh siwak yang hukumnya sunnah.
Maka perayaan Maulid Nabi Saw. diadakan untuk Medan Tabligh dan Dakwah, dan dakwah merupakan hal yang wajib pada suatu kaum bila dalam kemungkaran, dan ummat sudah tidak peduli dengan Nabinya, tak pula peduli apalagi mencintai sang Nabi Saw. dan rindu pada sunnah beliau Saw. Dan untuk mencapai tabligh ini adalah dengan perayaan Maulid Nabi saw., maka perayaan maulid ini menjadi wajib, karena menjadi perantara Tabligh dan Dakwah serta pengenalan sejarah sang Nabi Saw. serta silaturahim.
Sebagaimana penulisan al-Qur’an yang merupakan suatu hal yang tidak perlu di zaman Nabi Saw., namun menjadi sunnah hukumnya di masa para sahabat karena sahabat mulai banyak yang membutuhkan penjelasan al-Qur’an, dan menjadi wajib hukumnya setelah banyaknya para sahabat yang wafat, karena ditakutkan sirnanya al-Qur’an dari ummat, walaupun Allah telah menjelaskan bahwa al-Qur’an telah dijaga oleh Allah. Hal semacam ini telah dipahami dan dijelaskan oleh para Khulafa’urrasyidin, sahabat radhiyallahu’anhum, imam dan muhadditsin, para ulama, fuqaha dan bahkan orang muslimin yang awam sekalipun, namun hanya sebagian saudara-saudara kita muslimin yang masih bersikeras untuk menentangnya, semoga Allah member mereka keluasan hati dan kejernihan, Aamiin. Walillahittaufiq.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Meningkatkan Cinta Kita pada Sang Nabi
Copyright © 2011. PUSTAKA MUHIBBIN - Web Para Pecinta - All Rights Reserved
PROUDLY POWERED BY IT ASWAJA DEVELOPER
Themes by Maskolis.com | Published by Mas Template