JIHAD MUSYAWAROH
Oleh : Bapak H. Agus M. Sa’id Ridlwan
BAB. I JIHAD MUSYAWAROH
Dengan
Himmah ‘Aliyah dan Jiddun
Islam berdiri diatas dasar ilmu dan ma’rifah, maka tidak selayaknya seorang muslim jauh dari cahaya ilmu bahkan seharusnya menggali dan mencarinya dari warisan para Nabi yang telah dilimpahkan pada Ulama yang telah di sahkan sebagai pewaris dan pengganti para Nabi.
Menuntut ilmu adalah amal yang paling tinggi dan utama untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Sebab manfaat ilmu itu menyeluruh untuk umat, agama dan bangsa. Ilmu juga merupakan azas pondasi pengabdian hamba kepada Sang Pencipta, hingga di angkat Ahli Ilmu diatas yang lain dengan tujuh ratus derajat:
عن ابن عباس رضي الله عنه : يَرْفَعِ اللهُ العُلَمَاءَ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى سَائِرِ الْمُؤْمِنِينَ بِسَبْعِمِائَةِ دَرَجَةٍ مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ مَسِيرَةُ خَمْسِمِائَةٍ عَامًا.
Dari Ibn Abas Ra.: “Allah Swt. akan mengangkat orang-orang berilmu di hari kiamat diatas orang-orang mukmin yang lain dengan tujuh ratus derajat, yang jarak antar dua derajat mencapai perjalanan lima ratus tahun”.
Ilmu merupakan sumber segala kebajikan dan sumber kebahagiaan dunia akhirat, sebaliknya kebodohan adalah sumber segala kerusakan dan kesengsaraan dunia akhirat. Dengan demikian, manusia harus sadar bahwa musuh utama yang mengancam masa depan dirinya, bangsa dan agama adalah “KEBODOHAN”.
Ditegaskan oleh Sayyidina Ali ibn Abi Tholib Ra. :
لاَ عَدُوَّ أَعْدَى مِنَ الْجَهْلِ وَالْمَرْءُ عَدُوُّ مَاجَهِلَ
“Tiada musuh yang paling berbahaya dari pada kebodohan dan setiap orang musuhnya apa yang tidak dia ketahui”
Musuh tidak bisa dibiarkan, tapi musuh harus diperangi. Jika musuh besar manusia adalah kebodohannya, maka jihad yang paling besar adalah memerangi kebodohan. Dalam berperang tentu seorang pejuang harus memiliki jiwa militan yang gigih dan tidak gentar ketika berlaga dimedan perang demi mencapai kemenangan, terlebih pejuang ilmu yang kemenangannya adalah pilar kesuksesan dunia akhirat. Untuk merealisasikan tugas berat itu, harus banyak memperdalam ilmu dengan bantuan peran serta guru yang bertugas sebagai pembimbing selayaknya komandan dalam perang dan juga menjalin banyak mitra berjuang untuk membangun kebersamaan.
Bagaimana caranya ? Tidak lain tentu harus dengan menciptakan forum belajar yang melibatkan banyak pemikiran dengan jalan “MUSYAWAROH”, sebab musyawaroh adalah kegiatan yang bersifat kolektif yang didalamnya mesti ada:
1) Partisipasi unsur-unsur yang terlibat seperti guru & lembaga kepengurusan
2) Persiapan yang memadai dengan banyak bertanya, privat, muroja’ah, muthola’ah, mencatat ilmu
3) Dialog yang hidup dalam membahas masalah
4) Tinjauan pemahaman dari berbagai segi dan analisa yang tajam (tahqiq) terhadap materi.
BAB. II KEISTIMEWAAN MUSYAWAROH
Allah Swt. memerintahkan kepada pemimpin alam semesta, yakni Baginda Nabi Muhammad Saw. untuk melakukan musyawaroh (وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ), walaupun pada hakikatnya Nabi Saw. tidak memerlukannya karena Allah Swt. telah menjamin kebenaran petunjuknya. Namun perintah itu mengandung hikmah, diantaranya :
a. Mengingatkan keutamaan musyawaroh
b. Memberikan teladan kepada ummat
c. Membangun komunikasi yang bermanfaat.
Begitu tingginya keutamaan musyawaroh, sehingga Rosulullah Saw. diharuskan menjalankannya. Padahal semua ilmu baik yang dhohir maupun yang bathin bersumber dari Beliau. Berikut ini diantara keutamaan musyawaroh adalah:
1. Mendapatkan petunjuk yang paling tepat. Nabi bersabda:
قال صلى الله عليه وسلم : مَا تَشَاوَرَ قَوْمٌ إِلَّا هَدَاهُمُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لِأَرْشَدَ أُمُورِهِمْ
“Tiada suatu kaum saling bermusyawaroh kecuali Allah memberikan petunjuk yang paling tepat bagi urusan mereka”
2. Menghindari penyesalan dan celaan. Rosululloh bersabda:
قال صلى الله عليه وسلم : المُشَاوَرَةُ حِصْنٌ مِنَ النَّدَامَةِ وَأَمَانٌ مِنَ الْمَلَامَةِ
“Musyawarah benteng penyesalan dan pelindung dari celaan”
3. Membuka pintu Rahmat dan Berkah
قال عمر بن عبد العزيز:
أَنَّ الْمُشَاوَرَةَ وَالْمُنَاظَرَةَ بَابَا الرَّحْمَةِ وَمِفْتَاحاَ الْبَرَكَةِ لَايَضِلُّ مَعَهُمَا وَلَايَفْقُدُ مَعَهُمَاحَزَمٌ
“Sesungguhnya musyawaroh dan saling tukar pikiran itu keduanya adalah pintu rahmat dan kunci berkah yang tidak akan tersesat dengan keduanya dan tidak akan kehilangan pegangan”
4. Menyempurnakan pemikiran
قال بعض الحكماء: نِصْفُ رَأْيِكَ مَعَ أَخِيْكَ فَشَاوِرْهُ لِيَكْمَلَ لَكَ الرَّأْيُ
“Separo pemikiranmu beserta saudaramu, maka salinglah bermusyawaroh supaya sempurna pemikiranmu”
5. Menjaga ilmu tidak lupa dam menambah wawasan
قال بعض الحكماء: مَنْ أَكْثَرَ الْمُذَاكَرَةَ بِالْعِلْمِ لَمْ يَنْسَ مَا عَلِمَ وَاسْتَفَادَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Barang siapa sering berdiskusi tentang ilmu, maka tidak akan lupa apa yang ia ketahui dan bertambah apa yang tidak diketahui”
Dan masih banyak lagi keistimewaan musyawaroh. Termasuk diantaranya adalah menguatkan hafalan, kefahaman, ketelitian, ketajaman berfikir. Sehingga sebagian Ulama mengatakan :
مُذَاكَرَةُ حَاذِقٍ فِي الْفَنِّ أَنْفَعُ مِنَ الْمُطَالَعَةِ وَالْحِفْظِ سَاعَاتٍ بَلْ أَيَّاماً
“Berdiskusi dengan orang yang yang jeli/pandai lebih bermanfaat daripada muthola’ah dan menghafal beberapa jam bahkan beberapa hari”.
BAB. III MEMBANGUN JIHAD
Dalam
MUSYAWAROH
Didalam berjihad tentu membutuhkan kesiapan, maka dalam membahas ilmu terlebih dalam forum musyawaroh tentu juga para pesertanya harus mempunyai persiapan yang matang, sehingga ketika berada dalam ruangan tidak pasif, bengong, mengobrol sendiri atau bahkan tidur!. Lalu apa saja yang harus di persiapkan? Berikut penjelasannya :
1. JIWA MILITAN
Aktifis musyawaroh harus mempunyai semangat juang yang besar selayaknya seorang patriot sejati yang tak pernah patah semangat dan gentar menghadapi rintangan.
Seorang pejuang ilmu selain harus mempunyai strategi yang tepat, namun belum bisa disebut militan kecuali jika telah memenuhi dua syarat. Sebab, sehebat dan secanggih apapun strategi dan sistem yang mengatur, tapi jika tidak disertai dengan keduanya, maka hanya akan baik dalam laporan formal belaka namun dalam kenyataan di lapangan belum ideal, tidak bermutu dan lemah. Syarat-syarat tersebut adalah:
Syarat Pertama : همة عالية {cita-cita/ idealisme yang tinggi}
Himmah adalah sebuah komitmen yang teguh dengan segala kemampuan untuk meraih kesempurnaan cita-cita. Layaknya seekor burung terbang dengan kedua sayapnya, maka manusia terbang dengan cita-citanya guna menembus cakrawala di ufuk angkasa yang paling tinggi, bebas dari semua ikatan yang membelenggu jasadnya. Sebagaimana syair dibawah ini:
عَلَى قَدْرِ أَهْلِ الْعَزْمِ تَأْتِي الْعَزَائِمُ ¯ وَتَأْتِي عَلَى قَدْرِ الْكِرَامِ الْمَكَارِمُ
“Sesuai kadar komitmen orang yang berencana, datangnya semua kesuksesan dan datangnya semua kemulyaan sesuai dengan kadar kemulyaan”
Syarat Kedua :الجد { ketekunan}
Imam Syafi’i Ra. berkata:
وَالْجِدُّ يُدْنِي كُلَّ أَمْرٍ شَاسِعٍ ¯ وَالْجِدُّ يَفْتَحُ كُلَّ بَابٍ مُغْلَقٍ
“Ketekunan itu dapat mendekatkan sesuatu yang jauh, juga dapat membuka setiap pintu yang tertutup”
Syeikh Abu Fadhol Badi’u Zaman Ra. : ”Sesungguhnya ilmu sangat susah di perhitungkan, tidak bisa dibidik dengan panah, tidak bisa dilihat dalam tidur, tidak bisa diwaris dari keluarga. Sesungguhnya ilmu laksana pohon yang tidak dapat lestari kecuali dengan ditanam, tidak bisa ditanam kecuali didalam hati, tidak bisa disiram kecuali dengan belajar”.
Setiap manusia akan memiliki semangat hidup yang sempurna jika tertanam dalam jiwanya cita-cita (obsesi) yang tinggi dan usaha yang tekun. Ia tidak akan merasa cukup hanya meraih yang biasa-biasa saja dan tidak akan puas kecuali dengan yang tinggi dan luar biasa. Mottonya adalah :
لَا يَرْضَى بِالْيَسِيرِ مَعَ إِمْكَانِ الْكَثِيرِ
“Tidak akan puas dengan yang sedikit sementara mampu meraih yang banyak”
Rumus kesuksesan adalah:
1. رغبة (gandrung) + 2. همة (kemauan kuat) + 3. جهد (usaha maksimal) + 4. Istiqomah = SUKSES.
2. MEMPERSIAPKAN KEMAMPUAN
Sebelum berangkat musyawaroh seorang aktifis harus mempersiapkan semua bekal yang diperlukan sebagaimana orang yang akan berangkat maju perang atau bepergian. Bekal persiapan itu ada tiga macam, yaitu:
a. Menyiapkan Modal (ألإستعداد ماديا}
1. Menguasai materi, faham dan bahkan hafal
2. Banyak muthola’ah dan muroja’ah
3. Banyak mencatat ilmu dengan membuat talkhis {ringkasan ilmu) atau ta’liq (kutipan ibarot penting)
4. Menyiapkan pertanyaan dan pembahasan bermutu
5. Banyak prifat (berguru pada siapa saja secara exclusife}
6. Banyak bertanya & diskusi
7. Jadwal waktu belajar yang teratur dan istiqomah
8. Memiliki kitab-kitab rujukan yang diperlukan.
b. Menyiapkan Mental (الإستعداد ذاتيا}
1. Berani berpendapat
2. Berani mempertahankan pendapat
3. Berani menanggapi/mengkritisi pendapat
4. Tenang dan tajam berpikir
5. Tanggap dan pasti dalam berpendapat dan menolak pendapat
6. Menguasai emosi dengan baik
7. Mengikuti perkembangan pembahasan dan tidak menonton
8. Bahasa yang komunikatif dan mimik yang baik.
c. Menyiapkan Rohani (الإستعداد روحانيا)
1. Niat yang terpuji
2. Senantiasa menjalani kewajiban dan meninggalkan maksiat
3. Adab yang terpuji
4. Mengamalkan ilmu
5. Berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah swt.
6. Tawakkal kepada Allah swt.
3. PENATAAN MUSYAWAROH YANG SOLID
Setiap kelompok umat islam harus memiliki kesadaran untuk membangun suatu organisasi dengan kerangka aturan yang sistematik yang mengarah pada ikatan kebersamaan untuk saling tolong menolong dalam kebaikan (Ta’awun ala birri wattaqwa). Tanpa organisasi, maka sebuah kebenaran akan mudah terkikis dengan penyimpangan yang teroganisir.
الْحَقُّ بِلَا نِظَامٍ يَغْلِبُهُ الْبَاطِلُ بِالنِّظَامِ
“Kebenaran yang tidak terorganisir akan terkalahkan oleh kebathilan yang terorganisir”
Saat ini banyak sekali faktor-faktor yang melenakan para pelajar santri, jauh dari ilmu dan belajar. Aktifitas sebagai pengurus jam’iyah & team, seringkali dijadikan sebagai alasan untuk meninggalkan musyawaroh. Gangguan internet, facebook, twitter yang mudah di akses melalui handphone genggam semakin membuat malas dan tidak fokus belajar. Bacaan umum, majalah, koran juga sangat mengurangi daya minat untuk membaca kitab kuning apa lagi menguasai. Banyaknya teman ngobrol, karaoke, jalan-jalan membuat belajar hanya sebatas sampingan dan bukan tujuan utama. Selebihnya, waktu banyak dihabiskan dengan makan dan tidur saja.
Maka dari itu, musyawaroh diharapkan mampu membentengi gejala-gejala diatas dengan kebersamaan dan partisipasi dari semua pihak untuk membentuk musyawaroh yang teratur. Pihak-pihak tersebut adalah sebagai berikut:
Pimpinan Musyawaroh (Rois)
Rois musyawaroh bisa dibagi menjadi dua, yaitu: Rois pembaca dan Moderator. Rois dan Moderator adalah orang yang paling berperan penting menentukan musyawaroh. Karena dari dia musyawaroh dapat dikendalikan hidup dan tidaknya. Cepat dan lambannya tempo musyawaroh, sangat dipengaruhi oleh kecerdikaannya. Dia harus bisa mengolah bagaimana suasana musyawaroh bisa hidup, komunikatif dalam penyampaian. Maka, larangan keras bagi rois adalah:
a. Tidak ada persiapan
b. Tidak menguasai materi
c. Menonton dalam memimpin
d. Tidak segera menyimpulkan jalannya perdebatan
Membentuk Banyak Kelompok
Untuk memberdayakan potensi-potensi para aktifis musyawaroh, harus ada pemerataan tugas dalam meroisi supaya masing-masing merasa ada tanggung jawab dan tidak mengandalkan satu rois saja.
Cara yang paling efektif adalah musyawaroh harus dipecah menjadi beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari ketua dan aggota. Idealnya tidak lebih dari lima orang (sesuai jadwal musyawaroh seminggu, yakni: lima kali selain waktu tamrin). Ketua kelompok harus selalu siap dan bisa mengatur anggotanya dalam meroisi. Formasi musyawaroh ini dalam jangka kedepan akan banyak menelurkan rois-rois yang berpotensi dan proses regenerasi akan mudah berjalan. Untuk itu, sejak awal metode ini harus segera disosialisasikan.
Anggota
Jarang dijumpai seorang pelajar santri yang teguh dan tekun belajar. Bahkan dalam majelis musyawaroh banyak didominasi para pelajar yang hanya menonton, sangat pasif, mengobrol sendiri dan sangat bergantung pada pengawasan dan ta’zir. Faktor yang banyak melatar belakangi hal ini adalah minimnya Adab dan Etika dalam mencari Ilmu, terbiasa hidup bebas tanpa ada aturan dan kedisiplinan, tidak ada rasa hormat dengan orang yang berilmu, membuat diri sendiri rela tertinggal dengan temannya.
Seorang santri tulen seharusnya tidak gengsi menimba ilmu dari siapa saja, bahkan dari temannya sendiri. Maka, sifat yang harus dimiliki adalah rendah hati (tawadhu’). Dikatakan dalam sebuah maqolah:
الْمُتَوَاضِعُ مِنْ طُلَّابِ الْعِلْمِ أَكْثَرُهُمْ عِلْمًا
“Orang yang rendah hati dari para pelajar ilmu adalah orang yang paling banyak ilmunya”
Dengan demikian, santri harus banyak prifat dan berguru pada siapa saja, seperti ketika musyawaroh tidak boleh tertinggal dan diam tapi harus banyak bertanya tentang apa yang tidak difaham. Basyar ibn Burod berkata:
دَوَامُ الْعَمَى طُولُ السُّكُوتِ عَلَى الْجَهْلِ ¯ شِفَاءُ الْعَمَى طُولُ السُّؤَالِ وَإِنَّمَا
دُعِيتَ أَخَا عَقْلٍ لِتَبْحَثَ بِالْعَقْلِ ¯ فَكُنْ سَائِلاً عَمَّا عَنَاكَ فَإِنَّمَا
“Obat mujarab buta (ilmu) adalah banyak bertanya, sesungguhnya berlarut-larutnya kebutaan itu karena terlalu betah diam dalam kebodohan”.
“Maka bertanyalah tentang apa yang menyulitkanmu, sesungguhnya engkau di sebut teman berakal supaya kau gunakan akalmu untuk membahas”.
Obat Malas Musyawaroh
Banyak sekali faktor-faktor yang mendasari orang malas untuk melakukan musyawaroh, diantaranya:
Faktor usia. Mereka merasa sudah tua dan tidak pantas lagi ikut berkecimpung dalam musyawaroh. Obatnya harus meneguhkan prinsip hidup sebagiamana yang dikatakan ulama dengan motto :
لَأَنْ يَكُونَ شَيْخًا مُتَعَلِّمًا أَوْلَى مِنْ أَنْ يَكُونَ شَيْخًا جَاهِلًا
“Sungguh menjadi orang tua dalam keadaan belajar lebih utama dari pada menjadi orang tua dalam keadaan bodoh”.
لَأَنْ تَمُوتَ طَالِبًا لِلْعِلْمِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَعِيشَ قَانِعًا بِالْجَهْلِ
“Sungguh engkau mati dalam keadaan mencari ilmu itu lebih baik dari pada hidup dalam keadaan puas sebagai orang yang bodoh”.
Faktor takut, jatuh gengsi apabila ia nanti dianggap masih butuh pendapat orang lain. Obatnya adalah meluruskan niat. Musyawaroh bukan untuk saling menjatuhkan gengsi, tapi untuk mencari faidah dan menghindari kekeliruan.
Faktor pikiran tumpul, bebal, susah memahami. Obatnya adalah sabar dan bertahap sedikit demi sedikit, dimulai dari kitab yang kecil dahulu (yang bisa dijangkau). Dan sabar jika harus rela mengorbankan hobi, nyantai, hura-hura dan harus besar cita-citanya.
Rosulullah Saw. bersabda:
لَاتَنَالُونَ مَا تُحِبُّونَ إِلَّا بِالصَّبْرِ عَلَى مَاتَكْرَهُونَ وَلَاتَبْلُغُونَ مَاتُهَوِّنُ إِلَّا بِتَرْكِ مَاتَشْتَهُونَ
“Kalian tidak akan memperoleh dambaan kalian kecuali dengan bersabar terhadap apa yang tidak kalian sukai dan kalian tidak akan mencapai apa yang kalian idam-idamkan kecuali dengan meniggalkan hobi kesenangan kalian”.
Lirboyo, 25 Dzulqo’dah 1431 H.
JIHAD MUSYAWAROH
Written By MuslimMN on Rabu, 16 Maret 2011 | 21.34
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar