Halaman

Minggu, 11 Desember 2016

HABIB LUTHFI: PELAJARAN PENTING DALAM PERINGATAN HAUL DAN MAULUD NABI



“Bedanya Haul dengan Maulud adalah, jika Maulud yang dimauludi awalnya baik, terus baik, sampai akhirnya pun baik. Tapi kalau Haul, yang dihauli itu awalnya belum tentu baik, adakalanya orang tidak baik tapi taubatnya diterima sehingga diangkat derajatnya oleh Allah Swt.” Tutur Maulana Habib Luthfi bin Yahya dalam rangka memperingati Maulid Nabi Saw. dan Haul KH. Syafi’i Abdul Majid Pringlangu Pekalongan, malam Senin 11 Desember 2016.

Lanjut Habib Luthfi, Haul adalah peluang yang luar biasa, menunjukkan bahwa pintu taubat itu tidak pernah tertutup. Merupakan fadhal Allah yang tak bisa ditebak-tebak. Contohnya di jaman dulu ada Syaikh Malik bin Dinar, menjadi sulthanul arifin padahal dahulunya orang yang tidak baik. Di Jawa ada Sunan Kalijaga, setengah riwayat mengatakan beliau awalnya orang yang tidak baik. Tapi akhirnya menjadi orang yang luar biasa.

Tugasnya para wali saat di dunianya menjaga (nyangga) dunia, maka di dalam kuburnya pun masih bertugas hal yang sama. “Sedikitnya yang saya hafal ada 1.532 auliya (para wali Allah) yang dikubur di tanah Jawa,” terang Habib Luthfi bin Yahya kemudian.

Menghauli bukan sekadar menghauli seorang tokoh atau kiai atau wali tertentu. Tapi harus jelas siapa yang dihauli, tahu betul riwayat orang yang dihauli. Jangan sampai terjadi “mbah-mbuh” (ungkapan untuk orang yang tidak tahu sejarah), kata Habib Luthfi yang disambut tawa hadirin.

Pentingnya menuliskan dan menjaga sejarah, sebagaimana Nabi Saw. singgung dalam sabdanya:

ذِكْرُ الصَّالِحِيْنَ تَنْزِلُ الرَّحْمَةْ

“Mengingat orang-orang shaleh menjadi sebab turunnya rahmat Allah.” Apalagi jika yang disebut-sebut adalah para auliya, wali Allah Swt. Dan jika ditarik ke atas lagi adalah Nabi Muhammad Saw., sayyidul anbiya wal mursalin, nabinya para nabi dan rasulnya para rasul.

Nabi Saw. sejak kecilnya sudah dijadikan yatim oleh Allah Swt. Jangan sampai ketika mendengar kata ‘yatim’ seolah-olah orang yang patut dikasihani. Nabi Saw. tidak dididik seperti itu. Kedua orangtua Nabi Saw. diwafatkan sebelum balighnya Nabi bukan dalam rangka untuk menyakiti beliau Saw. Sebab, Nabi saat itu belum dibi’tsah (diutus sebagai nabi dan rasul). Bagaimana mungkin Siti Aminah dan Sayyid Abdullah akan bersyahadat pada anaknya sendiri yang belum dibi’tsah karena masih anak-anak, belum ada tuntunan dan caranya.

Dan bukan pula untuk menjelekkan, merendahkan dan menyakiti dengan mengatakan kedua orangtua Nabi Saw. wafat belum beriman. Hal ini murni masalah politik yang terjadi pada jaman Bani Abbasiyah. Dan dijelaskan secara luas dalam kitab Asna al-Mathalib karya Mufti Mekkah Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, gurunya Habib Ahmad bin Thalib Alattas, Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, Mufti Betawi Habib Utsman bin Aqil hin Yahya, Kiai Mahfudz at-Turmusi dan banyak lagi para ulama lainnya dari Indonesia.

Ibu, ayah, kakek dan paman Nabi Saw. diwafatkan oleh Allah karena agar Nabi Saw. dididik langsung oleh Allah Swt. Hal demikian untuk mengangkat derajat Nabi Saw.

Setelah Nabi Saw. melakukan hijrah ke Madinah jumlah pengikutnya bertambah banyak. Saat memasuki Madinah Nabi Saw. disambut dengan thala’al badru, bukan pedang untuk balas dendam. Kemudian Nabi Saw. menjawabnya dengan intelektualitas, yakni membangun perekonomian, menyatukan dan merekatkan masyarakat yang beragam, dengan aman dan sejahtera.

Setelah peristiwa hijrah, saatnya Nabi Saw. beserta para sahabat memasuki Mekkah, dikenal dengan peristiwa Fathu Makkah. Waktu itu ada salah seorang sahabat yang mengatakan, “Saatnya balas dendam!” sembari mengangkat pedangnya. Dijawab oleh Nabi Saw., “Kita masuk Mekkah dalam keadaan aman.” Lalu Nabi Saw. berpidato, diantaranya menyampaikan siapa yang masuk ke Baitul Haram maka dijamin keamanannya dan siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan –padahal waktu itu belum masuk Islam- dijamin keamanannya.

Kewibawaan ulama bisa ditakar saat pengajian. Biasakan para hadirin mendengarkan dengan baik dan seksama, dimanapun dan siapapun kiainya, untuk menjaga mahabbatul ulama. Lebih baik ngantuk daripada ngobrol sendiri. Jadi dakwah itu bukan saja ulama yang berada di atas podium, tapi pengunjung yang hadir dengan diamnya adalah bagian dari bentuk dakwah.

Jahiliyah bukan berarti bodoh. Jika diartikan bodoh mana mungkin al-Quran yang memiliki bahasa satra sangat tinggi diturunkan di tengah-tengah mereka. Melainkan karena sifat egoisme (gengsi) yang melekat dalam diri mereka. Sehingga meski daya intelektualitasnya tinggi dan teknologi sudah maju tetap disebut dengan jaman jahiliyah. Allah gambarkan dalam peristiwa pengangkatan Hajar Aswad. Nabi yang waktu itu masih sangat muda tapi sudah menampakkan rahmatan lil ‘alamin-nya. Menjadi tokoh pemersatu ummat dan bangsa, sehingga digelari al-Amin.

Jangan bangga dengan status negara berkembang, seharusnya kita bertanya kapan berbuahnya. Persiapkan menjadi calon-calon al-Amin yang mampu mempersatukan ummat dan bangsa sehingga NKRI semakin kokoh dan kuat.

Nabi Saw. sangat mencintai orang-orang yang menghuni bumi Indonesia. Para pembawa Islam di negara ini membawa ruh ajaran yang komprehensif dari Nabi Saw., para ulama, auliya dan habaibnya. Indonesia sudah seharusnya menjadi sumber teladan perdamaian dunia. Maka buktikanlah.

Banyak wali Allah yang ilmunya tidak seberapa banyak tapi di-futuh oleh Allah Swt. sebab birrul walidain-nya (berbakti pada dua orangtua). Dan meskipun seseorang ilmunya setinggi langit jika berani mungkuri (merendahkan) dan ngukur gurunya sendiri maka dialah orang yang paling jauh dari Allah Swt.

Di akhir acara, Maulana Habib Luthfi berpesan, “Tugas penting kita selanjutnya melalui peringatan Maulid Nabi dan Haul ini adalah mengejawantahkan sabda Nabi Saw.:

ذِكْرُ الصَّالِحِيْنَ تَنْزِلُ الرَّحْمَةْ


Membawa rahmat, mengurai sejarah para ulama dan menziarahi kubur mereka, sehingga terjaga dari oknum-oknum yang ingin memecah-belah umat dengan ulamanya. Dalam rangka nguri-nguri sejarah.” (Ibjmart.Com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar