Halaman

Jumat, 14 Oktober 2016

HABIB ALI AL-JUFRI; SAYA MENCINTAI ORANG NASRANI BAHKAN YAHUDI!



Saya mencintai seorang Muslim, meskipun ia berselisih pendapat dengan saya dalam masalah agama, walaupun ia mengkafirkan saya, walaupun ia menghalalkan darahku, walaupun ia tampakkan kebencian di hadapan saya, saya tetap mencintainya. Saya benci akhlaknya, tapi saya mencintainya. Di dalam dirinya ada cahaya La Ilaha illallah. Dia dinisbatkan kepada Sayyidina Muhammad Saw. karena dia bagian dari ummatnya.

Begitupula, saya mencintai non-Muslim. Nasrani? Ya, saya mencintai orang Nasrani (Kristen). Bahkan lebih dari itu, saya mencintai (orang) Yahudi. Saya benci penjajah dengan jajahannya di sana, yakni Zionis. Yang menghalalkan tanah dan harga diri saya, dan saya siap memeranginya tapi hati saya menginginkan hidayah untuknya dan ingin ia kembali kepada kebenaran. Tapi tidak, saya tidak membenci Yahudi karena dia Yahudi (ke-Yahudiaannya). Dia membenciku, Allah mengajarkan saya (dalam al-Quran) bahwa ia (Yahudi) akan menjadi orang yang paling memusuhiku dan kenyataan menjadi saksinya. Tapi saya cinta kepada orang Nasrani, Yahudi, Budha, dan (bahkan) Atheis.

Saya benci kekafiran seorang kafir, tapi tidak benci kepada orangnya. Saya benci kemaksiatan pendosa, tapi saya tidak benci sosoknya. Saya siap mengekspos hal ini dan bertukar pikiran dengan para ulama dari golongan yang memandang ucapan saya tidak benar. Saya akan cium tangan mereka tapi saya berbeda pendapat dengan mereka dalam hal ini. Ini yang saya pelajari. Ini yang saya pelajari dari akhlak Rasulullah Saw. Ta’dzim terhadap karunia Allah Swt. atas seseorang (manusia, sebagaimana firmanNya):

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
“Kami telah memuliakan anak-anak Adam.” (QS. al-Isra’ ayat 70).

(Pernah terjadi) jenazah seorang Yahudi sedang lewat di hadapan Rasulullah Saw. Lalu beliau Saw. berdiri. (Salah seorang sahbat berkata): “Ya Rasullah, itu adalah jenazah seorang yahudi.”

أَلَيْسَتْ نَفْسًا؟
Jawab Rasulullah Saw.: “Bukankah ia (juga) seorang manusia?” Sebagaimana dalam hadits shahih, beliau Saw. mengajarkan kepada kita adab yang tinggi ini.

Baik, apa makna dakwah jika kosong dari makna cinta? Dakwah adalah keinginan menyampaikan hidayah. Bukankah demikian? Hidayah untuk pendosa, hidayah untuk orang kafir agar masuk Islam. Lalu Anda ingin mengajarkan saya bahwa dakwah adalah secara rasio (dengan pemikiran) yang benar dan lurus secara ruh dan akal agar saya berkata, “Saya benci dan tidak suka kepadamu karena Allah dan saya mengajakmu untuk masuk Islam! Saya benci kepadamu dan marilah masuk Islam! Agama saya menyuruh saya membencimu dan saya nasihati Anda agar masuk ke agama ini yang telah menyuruh saya membencimu”. Bagaimana mungkin ini benar!?

Agama saya mengajarkan saya agar saya membenci kebatilan yang ada padamu, bukan membenci sosokmu. Pemahaman-pemahaman ini dulu di diri para (ulama) salaf kita adalah demikian. Itu hasil dari didikan, bahkan mereka tidak perlu menjadikannya kurikulum di kitab-kitab. Karena dulu mereka menjalaninya di dalam kehidupan mereka. Bahkan ketika mereka mengangkat senjata untuk menjalankan kewajiban jihad yang suci dalam peperangan menghadapi musuh yang menjajah. Dulu pandangan mereka dalam memerangi musuh adalah karena terdesak sebab didzalimi atau sebab tidak diberikannya hak orang-orang dalam Islam, karena mereka masuk Islam dengan kehendak mereka sendiri. Bersamaan dengan itu mereka mengharapkan hidayah untuk musuh, bukan perang.

Nabi Saw. pernah berdiri di hadapan seorang wanita yang memegang senjata bersama orang-orang kafir yang dzalim yang memerangi Muslimin. Lalu wanita itu ikut berperang dan terbunuh. Lalu Nabi Saw. berdiri di depan mayatnya setelah usai perang, dan beliau tersentuh serta kecewa. Nampak kekecewaan beliau Saw., lalu berkata:

ماَ كَانَ لِهَذِهِ أَنْ تُقَاتِلَ فَتُقْتَلُ
“Tidak seharusnya wanita ini ikut berperang lalu terbunuh.”


Rasulullah Saw. ajarkan makna ini. Beliau Saw. mengajari kita bahwa pada asalnya adalah keinginan kesejahteraan dan keselamatan untuk umat manusia, bukan peperangan. Dan bahwa perang adalah keadaan darurat untuk menjaga kehidupan dengan maknanya yang lebih besar. (*IBJ, ditranskrip dari video ceramah Habib Ali al-Jufri: https://youtu.be/wP73o4CfOpk).










Tidak ada komentar:

Posting Komentar