Halaman

Senin, 18 Juli 2016

SYAIKH MAULANA MALIK IBRAHIM BUKAN TERMASUK WALI SONGO



Ada yang menarik pada bedah buku Atlas Wali Songo di Aula Rektorat Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri, yakni Syaikh Maulana Malik Ibrahim tidak termasuk jajaran wali sembilan (Wali Songo). Hal itu membuat para hadirin bertanya-tanya. “Fakta sejarah itu tidak harus selalu sama dengan pandangan umum,” jawab KH. Agus Sunyoto, penulis buku tersebut.

Menurut Kiai Agus Sunyoto, justru yang sekarang berkembang ini adalah pandangan masyarakat. “Dan pandangan masyarakat tidak selalu berdasar fakta sejarah, jadi tidak diakui secara akademis. Syaikh Maulana Malik Ibrahim wafat pada 1419 M. Pada saat itu Sunan Ampel, wali tertua kedua dalam tradisi ziarah Wali Songo belum dilahirkan, atau kalaupun sudah lahir, ia masih bayi,” imbuhnya.

“Bukti sejarah menyebutkan bahwa pada tahun 1440 usia Sunan Ampel belum berumur 20 tahun,” katanya. “Jadi secara nalar, tidak mungkin Syaikh Maulana Malik Ibrahim berada satu mimbar dengan Sunan Ampel untuk membahas strategi penyebaran Islam.”

Syaikh Maulana Malik Ibrahim tidak masuk dalam kategori Wali Songo, namun menjadi bagian penting dari penyebaran Islam tahap pertama, seperti juga Fatimah binti Maimun, Syaikh Wasil Setono Gedong dan beberapa ulama lain semasanya. Ada banyak ulama pra-Wali Songo yang dikupas dalam Atlas Wali Songo itu. Makam para penyebar Islam itu diziarahi umat Islam setiap hari.

Sejarah Wali Songo memang cukup rumit. Sunan Muria, anak Sunan Kalijaga malah hidup pada tahun 1500-an, agak jauh dari masa Sunan Ampel. Beberapa peneliti menyebutkan Wali Songo merupakan sebuah dewan yang beranggotakan sembilan ulama. Jika salah seorang meninggal, maka digantikan oleh yang lain.

Dalam buku itu, Kiai Agus Sunyoto berkesimpulan, “Wali Songo baru muncul setelah Sunan Ampel. Sebelum itu belum ada dewan atau semacamnya.” Dalam buku itu juga disebutkan dua orang lagi yang masuk dalam kategori wali, yakni Syaikh Siti Jenar dan Raden Fatah. Usaha Kiai Agus Sunyoto adalah menyajikan Wali Songo sebagai fakta sejarah. Adapun kepercayaan masyarakat biarlah tetap berkembang seperti apa adanya.

Ia mengaku prihatin beberapa kalangan cendekiawan Muslim meragukan aspek kesejarahan para penyebar Islam di Nusantara ini. Dalam pengantar bukunya, misalnya, sejarawan ini menyayangkan tidak adanya entri Wali Songo pada Ensiklopedi dalam Islam yang berjilid-jilid terbitan Ichtiar Baru van Hoeve.

Yang agak lucu, dan sempat disindir dalam bedah buku Atlas Wali Songo, aspek kesejarahan para wali itu digugat secara terang-terangan dalam berbagai karya tulis para akademisi dari kampus-kampus Islam yang memakai nama Wali Songo dan tokoh-tokohnya sebagai nama kampus mereka. (Dikutip dari: nu.or.id)

Atlas Wali Songo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah (Edisi Revisi Soft Cover)

Jika Anda membaca Ensiklopedia Islam yang tujuh jilid dan mencari informasi tentang Wali Songo, dijamin tidak akan menemukannya. Itu artinya, pada masa depan--kira-kira 20 tahun ke depan—Wali Songo akan tersingkir dari percaturan akademis karena keberadaan mereka tidak legitimate dalam Ensiklopedia Islam. Wali Songo ke depan akan tersingkir dari ranah sejarah dan tinggal mengisi ruang folklore sebagai cerita mitos dan legenda. Anehnya, di dalam Ensiklopedia Islam itu tercantum kisah tiga serangkai haji: Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piabang sebagai pembawa ajaran Islam (Wahabi) ke Sumatra Barat. Itu berarti, anak cucu Anda kelak akan memiliki pemahaman bahwa Islam baru masuk ke Nusantara pada tahun 1803 Masehi, yaitu sewaktu tiga serangkai haji itu menyebarkan ajaran Wahabi ke Sumatra Barat.

Dalam keserbaterbatasan segala hal, alhamdulillah buku Atlas Wali Songo dengan pendekatan multidisiplin: historis; arkeologi; aetiologis; etno-historis, dan kajian budaya dapat terselesaikan. Isi buku ini sangat membumi dengan proses sinkretisasi-asimilatif dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Fakta mencengangkan di buku ini adalah bahwa kerajaan Islam pertama di Jawa bukanlah Kerajaan Demak (abad 15), melainkan Kerajaan Lumajang yang menunjuk kurun waktu awal abad 12, yaitu saat Singasari di bawah Sri Kertanegara.

Dengan prinsip 'bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa-jasa para pahlawannya', begitulah penulis berharap anak-anak bangsa di negeri tercinta ini dapat menghargai, menghormati, memuliakan, dan bahkan meneladani keluhuran budi dan kebijaksanaan yang telah diwariskan para ulama penyebar Islam tersebut.

Endorsement:

“Buku ini menarik sekali. Agus Sunyoto tidak tanggung-tanggung dan serius sekali dalam menelusuri, meneliti, dan memperdalam sejarah Wali Songo. Kalau tidak lahir buku seperti ini, kita akan terus menggunakan referensi sejarah buatan Belanda.” (KH. Achmad Mustofa Bisri, Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin, Rembang).

“Buku ini ujung tonggak, komprehensif tentang dakwah Wali Songo. Dalam dakwah Wali Songo, tidak ada satu dimensi kehidupan manusia yang diabaikan. Jadi dakwahnya itu dakwah kelengkapan seluruh kemanusiaan.” (Emha Ainun Nadjib/Cak Nun, Budayawan).

“Buku Atlas Wali Songo memberikan pemahaman komprehensif tentang Islam di Nusantara. Tanpa buku ini, masa depan Islam akan sangat formal dan karakternya bukan seperti NU. Tanpa menghargai wali Allah, kita hanya menjadi pribadi mukmin, bukan muhsin.” (Sujiwo Tejo, Dalang dan Penulis Buku).

_______________________
Judul Buku: Atlas Wali Songo (AW)
Penulis: KH. Agus Sunyoto
Jumlah Halaman: 496
Harga: Rp. 126.000 (sudah didiskon 10% dari harga asli 140.000) belum termasuk ongkos kirim. Khusus untuk Pulau Jawa, Buku+Ongkir cukup Rp. 140.000,-
Cara Pesan: NAMA LENGKAP_AW_ALAMAT LENGKAP kirim ke nomor Hp. 085774858808 (Syaroni As-Samfuriy)
Nb.: Persediaan buku Atlas Wali Songo sangat terbatas, barang pesanan akan dikirim serempak pada hari Senin, 25 Juli 2016.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar