Saya pernah sowan ke Mbah Kiai Shonhaji, Jimbun Sruweng Kebumen. Beliau adalah guru mursyid Gus Dur. Kalau Gus Dur ada acara di Kebumen, pasti singgah ke ndalem Mbah Kiai Shonhaji. Setelah dipersilakan masuk oleh khadimnya, saya duduk di lantai ruang tamu. Sekitar 15 menit kemudian Mbah Kiai keluar dari kamarnya. Setelah jabat tangan dan sungkem cium tangannya, Mbah Kiai tanya pada saya, "Gus, nopo sampean saget nyambel (Gus, apa kamu bisa membuat sambal)?"
Saya kaget dapat pertanyaan seperti itu, langsung saja saya jawab: "Insya Allah saget Mbah Kiai."
Terus Mbah Kiai dhawuh, "Cobi nyambel mriko teng pawon (coba sana membuat sambel di dapur)."
Saya terus ke dapur dikawal oleh khadim beliau, dan di dapur sudah ada cobek dan uleknya juga sudah ada cabe 5 biji, bawang 1 biji dan kencur 1 biji. Yang belum ada hanya garam, saya terus ambil garam dan mulai ngulek sambel. Setelah selesai, saya dan khadimnya disuruh bawa sambel itu ke ruang tamu.
Setelah dekat dengan Mbah Kiai, beliau dhawuh, "Cobi Gus kulo ta nyicipi sambele (coba saya mau nyicipi sambalnya)."
Betul, Mbah Kiai nyicipi sambal buatan saya pakai jari telunjuk kanan. Sambil bergegas ke belakang, Mbah Kiai dhawuh, "Wah sambele enak tapi kok asin banget."
Rupanya Mbah Kiai ke belakang ambil nasi satu piring penuh. Lalu beliau meminta saya memakannya sama sambal dan harus habis, ya nasinya ya sambalnya. Sedikit saya paksakan, luar biasa pedasnya dan langsung terasa panas di perut, mata pun berkaca-kaca. Menetes air mata saking pedasnya.
Setelah habis, Mbah Kiai dhawuh, "Pedes nggeh?"
Saya jawab, "Nggeh..." sambil sedot-sedot ambil napas.
Singkat cerita, saya pulang dan rasa panas di perut hilang, saya juga tidak mencret. Subhanallah, yang luar biasa setelah kejadian itu saya tidak lagi berselera menjadi aktivis. Tidak ada semangat aktif di partai politik dan juga tidak ada nafsu untuk bisnis, waktu itu saya ada sambilan bisnis. Dan sekitar 2 minggu kemudian ada banyak tamu yang menitipkan anaknya untuk mengaji di tempat kami. Ini pengalaman saya, semoga ada hikmahnya. (Oleh: KH. Wahid Hakimnur via santrijagad.org).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar