KH. Maksum Ali Seblak
Jombang adalah diantara ulama pesantren yang ahli falak (astronomi). Sudah
menjadi kelaziman bagi ahli falak untuk melakukan puasa dan lebaran sesuai
hasil hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (observasi atau melihat
hilal)-nya sendiri.
Suatu hari
sesuai dengan hasil perhitungannya, Kyai Maksum Ali memutuskan untuk ber-Idul
Fitri sendiri yang ditandai dengan menabuh bedug bertalu-talu. Mendengar
keriuhan itu, sang mertua, Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari kaget. Setelah
tahu duduk perkaranya, ia menegur: “Bagaimana ini, belum saatnya lebaran kok
bedug-an duluan?”
Mendapat
teguran dari mertuanya itu Kyai Maksum segera menjawab dengan hormat: “Kyai, Kyai,
saya melaksanakan Idul Fitri sesuai dengan hasil hisab yang saya yakini ketepatannya.”
“Soal
keyakinan, ya keyakinan, itu boleh dilaksanakan. Tetapi jangan woro-woro
(diumumkan dalam bentuk tabuh bedug) mengajak tetangga segala,”
gugat Mbah Hasyim, pendiri NU tersebut.
“Tetapi, bukankah
pengetahuan ini harus di-ikhbar-kan (diwartakan), Romo?”
tanya Kyai Maksum.
“Soal keyakinan
itu hanya bisa dipakai untuk diri sendiri. Dan nabuh bedug itu artinya sudah
mengajak, mengumumkan kepada masyarakat, itu bukan hakmu. Untuk mengumumkan
kepastian Idul Fitri itu haknya pemerintah yang sah,”
tutur Mbah Hasyim.
“Inggih (iya)
Romo,” jawab Kyai Maksum setelah menyadari kekhilafannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar