Dulu, di
awal-awal dakwah al-Habib Umar bin Hafidz BSA beliau menziarahi salah seorang
ulama. Ternyata orang (ulama) yang diziarahi itu termasuk mereka yang tidak
suka dan iri dengan dakwah Habib Umar. Maka bukannya disambut dengan baik, beliau
malah disuguhi caci-makian oleh si tuan rumah: “Kamu ini, masih muda sok sok
dakwah segala dan bla bla bla...”
Habib Umar bin
Hafidz hanya terdiam, lalu mendunduk penuh adab dan tetap mendengar ucapan
orang itu sampai selesai. Ketika orang itu sudah puas dan lelah dengan caci-makinya,
maka Habib Umar pun menangis lantas berkata: “Sayyidi (Tuanku), semua yang
engkau ucapkan hanyalah sebagian dari aib-aibku yang kau ketahui. Masih banyak
lagi aib dan dosa diriku yang hina ini yang belum engkau ketahui.”
Alkisah, suatu
hari Sayyidina Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib Ra. lewat di
sebuah jalan bersama para muridnya. Tiba-tiba seseorang mendatangi dan menampar
pipi beliau sekeras-kerasnya. Orang itu kemudian lari yang menjadikan para murid
Sayyidina Ali Zainal Abidin marah besar dan berusaha mengejar orang itu. Tapi
guru mereka malah tetap tenang, bahkan tersenyum dan berkata: “Siapa yang
menghendaki hal ini terjadi padaku?”
Mereka menjawab:
“Allah.”
“Apakah kalian
kira aku akan menolak kehendak dan takdir Allah (yang terjadi pada diriku ini)?”
pungkas Sayyidina Ali Zainal Abidin Ra.
Dari 2 kisah
ini bisa diambil pelajaran bagaimana cara mengatasi emosi ketika kita hendak
meluapkan kemarahan pada orang lain. Ingatlah bahwa:
1.
Siapa sih diri
kita ini sebenarnya, bukankah kita ini cuma hamba kurang ajar yang hobinya
berbuat dosa? Apa orang hina seperti kita pantas dihormati dan dipuji-puji orang?
Kalau mereka tahu aib-aib kita, jangankan salaman, kenal sama kita saja mereka tak
akan mau (meminjam kalimatnya Habib Ali al-Jufri).
2.
Kita harus tau
kalau di dunia ini tidak ada sesuatu yang terjadi di luar kehendak dan takdir
Allah. Kalau begitu apa gunanya ngamuk-ngamuk tak jelas gara-gara hal yang telah
dihendaki dan diputuskan olehNya? Bukankah kita sebgai hamba harus tunduk, patuh
dan ridha atas semua yang diputuskan “Tuannya”?
3.
Alhasil,
dengan “berkah” cinta kita kepada mereka para auliya’ Allah, semoga kita masih
bisa menjadi orang yang “tahan emosi”, kalem dan santun selayaknya
mereka-mereka itu. Aamiin. (Sumber: Ust. Ahmad Afif Tawes, Santri Rubath Darul Musthafa Yaman).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar