Halaman

Kamis, 18 September 2014

KH. SHONHAJI CHASBULLAH KEBUMEN, GURU SPIRITUAL GUS DUR





Beliau adalah salah satu diantara guru mursyid KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Jika disebut “5 Kyai Khas” yang selalu dipatuhi komandonya oleh Gus Dur, maka beliaulah salah satu diantaranya.

Latar Belakang KH. Shonhaji

KH. Shonhaji Chasbullah lahir sekitar tahun 1916 M. Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama di beberapa pesantren. Diantaranya Pesantren Lerap (milik kerabat beliau), Pesantren Jetis (asuhan ayah beliau) dan Pesantren Sumolangu, yang semuanya masih dalam wilayah Kebumen.

Lalu semasa remaja beliau mulai melanglang buana dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Diantaranya ia mengaji kepada Mbah Nahrowi Dalhar Watu Congol Magelang, Mbah Muhajir ayah dari Syaikh Hayat Bendo Pare Kediri, dan masih banyak lagi pesantren lainnya.

Adapun yang pernah mondok di Ringinagung itu adalah kakek beliau, Mbah Abdurrahman Jetis. Tapi cerita yang biasa didengar, Mbah Abdurrahman Jetis mondok di Kepung Pare Kediri. Kepung adalah nama sebuah kecamatan dan Ringinagung, disamping berada di wilayah Kecamatan Kepung. Ringinagung juga menjadi Pesantren tertua di Kecamatan tersebut.

KH. Shonhaji lebih dikenal dengan Mbah Jimbun Kebumen. Beliau merupakan besan dari Hadhratus Syaikh KH. M. Utsman bin Nadi al-Ishaqi Jatipurwo, disamping juga berguru thariqah hingga disempurnakan sampai mendapatkan “Ijazah Kemursyidan dan Izin” dari Mbah Utsman al-Ishaqi. Secara nasab beliau masih keturunan ulama-ulama besar, berdarah biru, yang bersambung ke para sunan (Wali Songo) penyebar Islam di Nusantara ini.

Kyai Shonhaji mulai diketahui khalayak umum sebagai gurunya Gus Dur adalah setelah pengakuan Gus Dur sendiri saat berlangsung Istighatsah Akbar di Gelora Bung Karno. Mungkin banyak yang bertanya, guru dalam hal apa?

Di dalam Ahlussunnah wal Jama’ah, terlebih Nahdlatul Ulama, thariqah atau tasawwuf merupakan hal yang tidak bisa terpisahkan. Dalam ‘Hadits Jibril’ dikenal dengan 3 komponen agama Islam; yakni Iman (tauhid), Islam (fiqih) dan Ihsan (tasawwuf). Ketiganya tidak bisa terpisahkan antara satu dengan yang lainnya, harus berjalan secara seimbang dan beriringan. Maka Kyai Shonhaji bisa dikatakan sebagai guru thariqah atau tasawwufnya Gus Dur.

Salah satu ajaran Kyai Shonhaji yang melekat pada diri Gus Dur adalah kesederhanaan. Seorang tetangga Kyai Shonhaji menyaksian hal itu. Diceritakannya ia sering melihat Kyai Shonhaji pergi ke pasar Tengok berbelanja sayuran sendiri. Di mata tetangganya itu tentu merupakan pemandangan yang aneh, mengesankan istrinya “kebangetan” membiarkan kyai yang sudah sepuh itu “kedangkrakan” ke pasar sendiri. Tapi itulah secuil gambaran kesederhanaan Kyai Shonhaji.

Meski memiliki nasab yang mulia, tatkala ada seorang kyai penghafal al-Quran sowan ke Kyai Shonhaji menanyakan silsilah, maka jawab Kyai Shonhaji: “Inna akramakum ‘indallahi atqakum”. (Sesungguhnya paling mulianya kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa).

Kita tahu ayat di atas diawali dengan penegasan Allah bagaimana manusia diciptakan berjenis laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal. Amal shaleh lebih utama ketimbang membanggakan nasab mulia. Jawaban di atas mencerminkan kesederhanaan Kyai Shonhaji yang tidak mau terlena dengan membanggakan nasabnya sendiri, sedang amal shalehnya terabaikan.

KH. Shonhaji dan Gus Dur

Saat dukungan semakin santer pada Gus Dur sebagai Rois Aam PBNU, Kyai Shonhaji adalah satu diantaranya yang secara terang-terangan meminta mantan presiden itu bersedia menjadi Rois Aam. Bahkan Mbah Sonhaji telah berkirim surat langsung kepada Gus Dur yang dititipkan melalui Umarudin Masdar, salah satu direktur dan peneliti pada Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS).

Mbah Shonhaji selama ini dikenal sebagai salah satu guru spiritual yang dihormati Gus Dur. Tiap Gus Dur datang ke Kebumen, beliau juga hadir mendampinginya. Menurut Wakil Ketua PCNU Kebumen, Drs. Dawamudin Masdar MAg, dirinya ikut menemani Umarudin bersilaturahim dengan Mbah Sonhaji. Bahkan kiai itu menulis selembar surat berhuruf Arab berbahasa Jawa. “Surat itu sudah dibawa ke Jakarta dan sampai langsung ke Gus Dur. Intinya, meminta Gus Dur bersedia dan menyempatkan diri menjadi Rois Aam demi kepentingan umat,” imbuh Dawam.

Dawam menyatakan, dari pertemuan itu Kyai Shonhaji merasa prihatin atas kondisi NU saat ini. Terpanggil untuk ikut urun rembuk selaku kyai sepuh demi kemaslahatan umat, dia yang dekat dengan Gus Dur lalu berinisiatif menulis surat.

Dawam yang juga cendekiawan NU di Kebumen itu mengakui, selama era KH. Hasyim Muzadi, PBNU telah terkena limbah politik. Dampaknya sangat terasa ketika Pemilu 2004 massa NU di bawah terombang-ambing. Guna mengembalikan organisasi NU makin independen dan kredibel serta berpihak pada nahdliyyin, menurut Dawam, harus ada tokoh yang dihormati untuk menjadi yang dituakan di NU. Tokoh tersebut adalah Gus Dur.

Menurut salah satu cucu beliau, Gus Hakim Luqman Al Ishaqy, ungkapan Kyai Shonhaji mengenai Gus Dur adalah: “Gus Dur wonge gunake adab, arep melebu thoriqoh liyo wae sek sempat kirim surat” (Gus Dur itu orangnya beretika, akan masuk ke thariqah yang lain saja dia masih sempat (minta izin dengan) berkirim surat.

Kewafatan Kyai Shonhaji

10 tahun sebelum kewafatannya, saat usia beliau sudah udzur yakni 82 tahun, masih sempat menikah lagi dengan wanita yang umurnya kebalikan dari umur beliau, 28 tahun. Beliau menikahi Ibu Nyai Nurul Kholidiyah Purwodadi, janda dari Mbah Mangli atau KH. Hasan Asy’ari.

Ada satu pesan beliau yang didengar oleh salah satu cucunya, Gus Ahmad Danyalin Al-Ishaqi, dan sering didawuhkan saat beberapa bulan menjelang kewafatannya yaitu sabda Nabi Saw.:

كُنْ مَعَ اللهِ فَاِنْ لَمْ تَكُنْ مَعَ اللهِ فَكُنْ مَعَ مَنْ كاَنَ مَعَ اللهِ  فَاِنَّهُ يُوْصِلُكَ إِلَى اللهِ

“Hendaklah engkau selalu bersama Allah. Jika tidak mampu, berusahalah selalu bersama orang-orang yang dekat dengan Allah. Karena sesungguhnya orang itulah yang akan menyampaikanmu kepada Allah.” (HR. Abu Daud). Dalam dunia thariqah, hal ini adalah dengan ‘menghadirkan wajah guru mursyid’ ketika melakukan ibadah.

Ulama sepuh dan ahli tawasuf asal Kebumen itu wafat dalam usia 92 tahun. Tepatnya wafat pada hari Senin 17 Maret 2008 M. sekitar pukul 17.00 WIB. Kemudian jenazahnya dimakamkan pukul 13.00 WIB esok harinya, di Jimbun, Sruweng, Kebumen, Jawa Tengah.

Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 18 September 2014 (Kumpulan Foto Ulama dan Habaib).

1 komentar: