Halaman

Kamis, 04 September 2014

CAK NUN, BERLIAN YANG TERSEMBUNYI





Dahulu, ada sekitar 200 orang Suku Mandar naik truk, tapi bukan untuk piknik. Ratusan orang Suku Mandar tersebut sedang dalam perjalanan menuju arena pertempuran. Balok kayu, batu, bahkan celurit pun sudah dipersiapkan. Siaga 1, kalau dalam istilah kemiliteran.

Tapi, dari belakang, ada sebuah sepeda motor mengejar kawanan manusia yang siap saling bunuh tersebut. Sepeda motor itu berhenti agak jauh di depan truk, lalu dipalangkan di tengah jalan. “Stop!” teriak seseorang lantang, setelah turun dari motor.

Tidak ada rasa takut di sorot matanya, meski di depannya ada sekitar 200 ‘manusia buas’, dengan masing-masing memegang senjata. Truk pun berhenti mendadak. “Kalian semua ditunggu Mara’dia di masjid!” lanjut orang tersebut. Tapi, ajaibnya, sekitar 200 orang Mandar yang sudah panas tersebut mau menurut, berbalik arah, dan menuju masjid.

Singkat cerita, perang suku batal, dan para pemuda Mandar justru asyik shalawatan di masjid. Dari luapan amarah, berubah menjadi luapan cinta. Shalawat adalah ekspresi cinta pada Kanjeng Nabi. Lalu, siapa yang berhasil mengubah keadaan tersebut? Masyarakat sering memanggilnya dengan nama Cak Nun. Cerita heroik di daerah Mandar tadi sebenarnya cuma serpihan kecil dari seorang Muhammad Ai(nun) Nadjib. Sebab skala perjuangan beliau sudah nasional.

Ketika ada politisi dikagumi karena suka jalan kaki 1,5 tahun dengan APBN, beliau sudah melakukannya 20 tahun dan tanpa sponsor apapun. Mohon maaf, sumpah demi Allah, saya hanya bisa menemukan data “jalan kaki” Cak Nun hingga per Agustus 2013 kemarin, yaitu 28 provinsi. Untuk info sampai tahun 2014, saya tidak tahu. Tanpa APBN. Sejak Orde Baru. Sudah 20 tahun. Dan, tidak dianggap...

Ketika Pak SBY ditekan publik untuk menyelesaikan kasus Lumpur Lapindo, dengan gagahnya Pak SBY berpidato bahwa Lumpur Lapindo adalah bencana alam nasional. Dengan cekatan, seorang presiden memerintahkan dibentuknya suatu dewan nasional penanggulangan bencana Lumpur Lapindo. Seorang presiden juga meminta ada anggaran khusus dari APBN untuk warga Sidoarjo yang menjadi korban bencana alam.

Meski bukan seorang presiden, entah kenapa Cak Nun juga kena getahnya. Sekitar 11.800 keluarga korban Lumpur Lapindo meminta tolong Cak Nun. Singkat cerita, Cak Nun menelpon Ibu Rosmiyah Bakrie. Sungguh ajaib, hati Ibu Rosmiyah tersentuh dan tergerak untuk menyuruh anaknya, pengusaha Abu Rizal Bakrie, mau menyantuni korban Lumpur Lapindo. Meski secara hukum, pengusaha Abu Rizal Bakrie tidak bersalah, bahkan seorang presiden menyatakan bahwa hal itu cuma bencana alam. Jujur saya sendiri tidak tahu apa isi pembicaraannya.

Seperti halnya saya juga tidak tahu apa isi pembicaraan Cak Nun dengan Pak Harto, sehingga terjadi pergantian kepresidenan Indonesia pada Mei 1998. Padahal, menurut kabar intelijen, ada 18 bom sudah siap diledakkan. 8 titik di pom bensin, 8 titik di jalan tol Jakarta pada tanggal 19 Mei 1998. Tinggal menunggu kode.

Tapi, Pak Harto memilih diam, dan membiarkan para mahasiswa masuk ke Jakarta. Di luar dugaan para mahasiswa sendiri, Pak Harto mengucap pidato pengunduran diri sangat cepat, yaitu tanggal 21 Mei 1998. Sangat kaget, karena Pak Harto terkenal keras kepala, dan suka menggebuk lawan politiknya. Sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, saya selalu tertarik dengan pidato terakhir Pak Harto yang aneh: “Ra dadi presiden, ra patheken.”

Saya dan Pak Harto memiliki kesamaan. Orang Jawa yang kental dengan unsur Solo dan Jogja. Orang Jawa bagian tengah berbeda wataknya dengan orang Jawa bagian timur. Kalimat Pak Harto soal ‘ra dadi’ presiden (itu) ‘ra patheken’ bukan gaya bahasa orang Jawa tengahan. Kalimat itu pasti diajari orang Jawa timuran. Tentu bukan diajari Amien Rais yang asli Jogja.

Teka-teki itu terjawab sudah. Orang Jawa Timur yang diakui Pak Harto, dan yang berhasil membuat hati Pak Harto legowo untuk lengser keprabon, adalah Cak Nun.
Mantan musuhnya sendiri. Diancam penjara, tidak takut. Diberi jabatan menteri saat 1980-an, tidak mau. Diberi perusahaan, tidak mau. Pernah dicekal tidak boleh berbicara di depan publik, tidak dendam.

Cak Nun justru menemani Pak Harto di saat sepi. Cak Nun justru mendatangi Pak Harto saat ditinggalkan banyak orang kepercayaannya. Cak Nun justru memapah Pak Harto untuk turun dari kursi, ketika banyak orang mengelilingi Gus Dur dan Ibu Megawati. Maka dari itu, banyak jendral TNI dan para pengusaha sangat takdzim dengan Cak Nun, karena “gurunya” diobati dengan tulus.

Para jendral TNI dan pengusaha loyalis Pak Harto menyaksikan sendiri bahwa Cak Nun ikhlas menemani Pak Harto sampai akhir hayat. Tidak pernah meminta sepeser uang pun, apalagi minta satu perusahaan. Cak Nun tetap keliling ke ribuan desa dan menu makanannya tetap tahu-tempe.

Pak SBY sangat takut pada Cak Nun. Minta bertemu jam 10 malam, tapi Cak Nun menolak. Karena kasihan, akhirnya Cak Nun bersedia menemui Pak SBY jam 11 malam. Pada suatu malam di Kadipiro (Yogyakarta) itu, keduanya sepakat untuk tidak bersaing. Pak SBY memohon Cak Nun untuk tidak mencalonkan diri jadi presiden, soalnya waktu itu capres jalur independen masih boleh. Apalah arti seorang jendral didikan Pak Harto dibandingkan dengan “imamnya” Pak Harto? Seorang Muhammad Ainun Nadjib hanya tersenyum.

Sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, saya pun mengakui, terlepas dari perbedaan peta kekuataan politik, keahlian berkomunikasi Cak Nun juga jauh di atas Pak SBY. Saya tidak begitu heran 200 pemuda Mandar, Ibu Rosmiyah Bakrie, bahkan Pak Harto bisa luluh hatinya kalau Cak Nun ngomong. Saya sampai suka berpikir kalau Muhammad Ainun Nadjib itu “Bung Karno versi santri”.

Bagaimana tidak? Saat Cak Nun keliling di banyak negara lintas empat benua, tanpa gelar presiden sekalipun, hanya sebagai pendamping grup musik Kiai Kanjeng, beliau tetap singa podium. Semua penonton selalu terkagum-kagum dengan cara Cak Nun ngomong. Sekadar info, Cak Nun fasih berbahasa Inggris dan bahasa Arab. Mulai dari alim ulama Mesir sampai paus di Vatikan sangat hormat, apalagi cuma profesor-profesor dari negara maju Eropa Barat.

Bahkan, saat di Korea Selatan pun pada Agustus 2014 kemarin, Cak Nun sangat dicintai. Sebelum Cak Nun ngomong, beliau disambut dengan Tari Tortor dari Batak, Tari Piring dari Minangkabau, dan Tari Reog dari Ponorogo. Atraksi itu tanpa disuruh pihak KBRI di Korea Selatan.

Selesai Cak Nun ngomong, orang Korea Selatan yang jatuh cinta. Orang Korea Selatan lantas membebaskan biaya parkir dan sewa gedung untuk “acaranya” orang Indonesia siang itu. Bahkan, terkumpul dana (setara) Rp. 390.000.000,00 untuk membantu rakyat Palestina yang kala itu diserbu Israel. Seperti Presiden Soekarno dahulu, disegani bangsa maju, menolong bangsa tertindas.

Bicara tentang kepresidenan, ada perbedaan radikal antara Pilpres 2004 dengan Pilpres 2014. Sepuluh tahun lalu, pilpres boleh diikuti capres independen. Pada tahun ini, pilpres tidak boleh diikuti capres independen. Alasannya, agar tidak semua orang bisa mencalonkan diri, sehingga kandidatnya cuma sedikit.

Pada bursa pemilihan Gubernur DKI tahun 2012 kemarin, ada jendral bintang dua yang gagal maju. Karena beliau tidak punya partai, beliau menempuh jalur independen. Tapi, untuk diperbolehkan mencalonkan diri, setiap bakal cagub harus mengumpulkan fotokopi KTP dukungan minimal sebanyak 400.000 ke KPU Jakarta. Jendral bintang dua ini gagal maju, karena hanya berhasil mengumpulkan fotokopi KTP dukungan sekitar 150.000 saja.

Seperti kita tahu, meski dibuka kesempatan cagub jalur independen, Pilgub DKI Jakarta ternyata tidak ada masalah. Kandidat tetap sedikit, dan tidak semua orang bisa mencalonkan diri. Seorang jendral bintang dua bahkan bisa sampai tertolak. Seperti kita tahu, pasangan Jokowi-Ahok kemudian keluar sebagai pemenang pilgub Jakarta 2012. Tapi kenapa Pilpres 2014 kemarin tidak boleh ada capres jalur independen?

Jadi, alasan setiap capres harus dari partai politik adalah agar setiap orang tidak bisa mencalonkan diri, bukan alasan yang “sejujurnya”. Terserah mau percaya atau tidak, alasan sebenarnya setiap capres harus dari partai politik adalah demi kebaikan Indonesia. Terserah mau percaya atau tidak, mayoritas tahanan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah para tukang becak. Sehingga, demi kebaikan Indonesia, setiap capres harus didukung minimal 20% anggota DPR. Demi Indonesia bersih, sejahtera dan maju. Ini tidak ada hubungannya dengan seorang Muhammad Ainun Nadjib.

Seorang presiden yang baik pasti lahir dari rahim koalisi anggota DPR. Memang betul, sebab mayoritas tahanan KPK adalah para tukang becak. Sejarah nasional pun sudah membuktikan; Bung Karno adalah presiden yang luar biasa buruk, karena beliau lahir dari rahim rakyat. Sementara Pak SBY adalah presiden yang luar biasa baik, karena beliau lahir dari rahim koalisi 60% anggota DPR.

Alhamdulillah... Pada Pilpres 2014 kemarin, bangsa Indonesia telah dianugerahi luar biasa, diberi dua kandidat yang sangat hebat; (1) Macan Asia dan (2) Satria Piningit. Siapapun yang jadi presiden, insya Allah akan sehebat Pak SBY. Sebab memiliki kesamaan lahir dari rahim koalisi anggota DPR. Kalau dipimpin Macan Asia, Indonesia akan bangkit. Kalau dipimpin Satria Piningit, Indonesia akan hebat. Masya Allah... Alhamdulillah. Dan, kelak waktu akan membuktikan segalanya.

Pada suatu masa Indonesia pernah memiliki Trio Legendaris asal Jombang. Salah dua diantara ketiganya telah tiada, hanya tersisa satu berlian saja. Dua pendahulu punya riwayat; disia-siakan saat masih hidup, tapi ditangisi saat sudah meninggal. Saya sendiri, secara pribadi, tidak yakin berlian terakhir akan di-berlian-kan. Sebab syarat seseorang di-berlian-kan oleh Bangsa Indonesia adalah bisa mengaum keras di televisi atau pandai berfoto jalan kaki di koran.

Ciri-ciri manusia unggul adalah tidak suka mengunggul-unggulkan dirinya. Ciri-ciri manusia berlian adalah manusia yang ikhlas hatinya. Semoga bangsa ini suatu hari nanti akan mengerti apa itu ‘berlian’, ketika Muhammad Ainun Nadjib belum menyusul Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid. Bukan apa-apa, saya ini cuma tidak tega. Kasihan Indonesia. Cukup dua berlian saja, sebab yang ketiga adalah yang terakhir.


4 komentar: