Halaman

Sabtu, 09 Agustus 2014

TRILOGI KYAI AGENG KHALIDIYYAH; MBAH SALMAN DAHLAWI, MBAH MUNIF ZUHRI DAN MBAH ULIN NUHA ARWANI




Besok tanggal 20 Syawal haul pertama Si Mbah Salman Dahlawi Popongan Klaten. Sudah selayaknya saya ikut mensyi’arkan munasabah ini dengan menceritakan Trilogi Tokoh Mursyid Khalidiyyah yang saya kenal, wabil khusus beliau Si Mbah Salman.

Saya sebut trilogi, karena ada tiga tokoh kali ini yang secara berurutan akan saya tuturkan mahasin mereka, manaqib mereka. Tentu apa yang akan Anda baca hanyalah setitik saja dari lautan kemuliaan mereka bertiga. Andai kita dipaksa menuliskan semuanya, pasti akan membutuhkan berjilid-jilid buku tentunya.

Mereka bertiga adalah KH. Salman Dahlawi, Murabbi Khalidiyyah Popongan Klaten, KH. Munif Zuhri, Murabbi Kholidiyyah Girikusumo Mranggen, dan KH. Ulin Nuha Arwani, Murabbi Khalidiyyah Kwanaran Kudus.

Ketiganya masih ada tautan satu dengan yang lain. Grand Syaikh Khalidiyyah di Jawa adalah Mbah Muhammad Hadi. Seorang auliya’ yang dijuluki Syaikhul Islam ini salah satu pembawa thariqah Naqsyabandiyyah Mujaddadiyyah Khalidiyyah ke tanah Jawa. Makamnya di Bukit Girikusumo Mranggen Demak.

Kyai Munif Zuhri adalah buyutnya yang sekarang meneruskan tarbiyyah murid di Girikusumo. Sedangkan Mabh Salman adalah putra dari anak perempuan Mbah Mansur Popongan dan Mbah Mansur adalah anak dari Mbah Hadi Girikusumo. Adapun Kyai Ulin Nuha yang biasa dipanggil dengan Gus Ulin adalah putra dari Mbah Yai Arwani Kudus dan Mbah Arwani ini muridnya Mbah Mansur Popongan. Jadi semua bermuara ke Girikusumo.

1.      Kyai Ageng Haji Salman Dahlawi Rahimahullah

Dari semenjak usia tamyiz beliau sudah mendapat ijin membaiat murid. Kadang-kadang masih bermain kelereng dengan teman sebaya, tiba-tiba Mbah Mansur memanggil dan memerintahkannya untuk membaiat calon-calon murid baru. Hal ini adalah bukti bahwa Mbah Kyai Ageng Salman adalah salah satu para muradin, salah satu para mahbubin. Murad artinya orang yang dikehendaki Allah, jauh lebih tinggi derajatnya dibanding murid atau orang yang menghendaki (bersuluk) ke jalan Allah. Mahbub artinya orang yang dicintai Allah, jauh lebih tinggi derajatnya dibanding muhib atau orang yang mencintai Allah.

Yang saya menyesal hingga sekarang adalah saya tidak berhasil melihat wajah beliau saat beliau dalam puncak ketinggian maqamnya, yaitu saat beliau wafat. Seharian penuh saya menunggu di samping jenazah beliau bersama Ustadz Ali Ridha Purwadadi untuk mencari kesempatan agung tersebut. Tetapi para peziarah tidak pernah berhenti-berhentinya datang menshalati. Kata khalifah beliau, Gus Multazam: “Nek Njenengan teng mriki wau dalu, tasih saget”, kalau saja tadi malam, Anda masih bisa melihat wajah beliau.

Dahulu ibu saya punya cerita unik dengan Mbah Salman. Kami sekeluarga sowan kepada beliau untuk melihat putri beliau yang akan dijodohkan dengan salah satu kakak saya. Di depan rumah beliau, putri yang dimaksud duduk-duduk sambil tidak memakai kerudung. Dalam hati ibu saya membatin: “Aduh, perempuan tidak kerudungan koq mau dijodohkan sama anakku.”

Baru saja Mbah Salman keluar kamar menemui kami, beliau langsung menghampiri ibu dan berkata dengan halus: “Ibu nyai, pengapuntene nggih. Anak kulo estri niku pancen mboten remen krudungan koq”, Bu mohon maaf ya, anak perempuan saya itu memang tidak suka pakai kerudung.

Ibu saya langsung membatin: “Mati aku. Mbah Salman gak bisa dirasani rupanya.”

Dalam berbagai kesempatan Mbah Salman seringkali menampakkan kebeningan bashirah beliau di hadapan para murid. Tentu itu untuk kemaslahatan mereka. Seorang kyai khash dari Jepara ingin bertabarruk dengan Mbah Salman. Tetapi karena kesehatan beliau yang kurang mendukung saat itu, pembaiatan dilakukan oleh putra beliau, Gus Multazam. Kyai khash tersebut membatin karena merasa kurang berkenan: “Aduh, aku ke sini itu untuk ngalap berkah Mbah Salman, malahan sekarang yang menangani anaknya.”

Tiba-tiba beberapa jam berikutnya dengan tertatih-tatih Mbah Salman keluar menemui kyai khash tersebut sambil membawa risalah kecil tentang thariqah. Beliau berkata: “Kyai, Panjenengan pulang saja. Orang dzikirnya sudah mapan begitu koq datang ke sini. Sudah bawa saja kitab kecil ini. Kyai baca halaman sekian kalau sudah sampai rumah.”

Begitu sampai rumah, kitab kecil itu dibuka dan dibaca pada halaman yang dimaksud. Ternyata tentang bab “Adab/Tatakrama Murid Kepada Syaikhnya”. Serentak lemaslah tubuh kyai khash tersebut. Dia baru menyadari bahwa dirinya diketahui oleh Mbah Salman, kurang benar adabnya saat bertabarruk di hadapannya.

Mbah Salman adalah yang termasuk salah satu kyai sepuh negeri ini yang dipanggil dengan sebutan Maulaya (Tuanku) oleh Syaikh Hisyam Kabbaniy. Suatu ketika Mbah Salman pernah mampir ke tetangga desa saya. Di situ beliau diundang oleh salah satu guru tariqah setempat untuk membaiat massal para muridin. Sesudah acara beliau diampirkan oleh salah satu mantan bapak perangkat desa setempat. Beliau bersedia, tetapi hanya duduk-duduk di dipan depan rumah si bapaknya itu. Padahal di dalam rumah hidangan serta kasur empuk telah disediakan. Mbah Salman tetap saja tidak bersedia masuk.

Sesudah beberapa saat duduk-duduk di dipan, beliau mengajak rombongan untuk pulang. Ternyata rahasianya baru terungkap beberapa hari kemudian. Bapak perangkat desa tersebut ngunduh mantu. Dan seperti adat desa, ia nanggap wayang. Nah pada saat pementasan tersebut, seorang Lhedhek atau bintang panggung wayang tersebut duduk-duduk di dipan sampai tertidur pulas. Lama dinanti-nanti si wanita cantik tu tidak mau bangun-bangun sangking pulasnya. Karena sudah jamnya manggung, dia dipaksa untuk dibangunkan. Eh, ternyata tidurnya keterusan alias mati.

Rupanya dia kena berkah Mbah Salman di dipan itu, mungkin juga tuah. Berkah jika dimaknai kematiannya tidak lagi membuatnya semakin banyak dan semakin lama hidup dalam kemaksiatan. Dikatakan tuah jika dimaknai dia kuwalat. Wallahu a’lam.

2.      Kyai Ageng Haji Munif Girikusumo

Buyut Syaikhul Islam si Mbah Muhammad Hadi Girikusumo ini relatif masih muda. Tetapi trah biru yang menitis dari guru besar thariqah Khalidiyyah menjadikannya dikaruniai Allah keistimewaan semenjak usia mudanya. Setiap malam Jum’at tidak kurang 5.000 murid selalu datang ke ‘Padepokan’ beliau di Bukit Girikusumo untuk bersama-sama membaca Maulid ad-Diba’. Tua-muda, lelaki-perempuan, yang khash serta yang awam, setiap pekannya selalu menunggu patah kata demi kata yang keluar dari mulut beliau.

Saya melihat fenomena beliau sangat mirip dengan keadaan jamaah Sema’an al-Qurannya Gus Miek dahulu. Yang ribuan orang sampai rela sehari semalam untuk menunggu Gus Miek berkata apa, dawuh apa, nasehat apa. Kyai Munif juga demikian kurang lebihnya. Kadang-kadang dalam majelis malam Jum’at, yang mereka sebut sebagai Majelis Jamuna (Jamaah Muji Nabi) itu, Mbah Munif malah hanya banyak menangis saja tidak mampu berkata-kata. Para jamaah yang hadir pun turut pula banyak yang ikut meneteskan air mata. Dan setahu saya, Mbah Munif sangat terpengaruh secara ruhaniyah dengan al-Habib Ahmad Alattas Shahib Pekalongan serta Habib Kuncung al-Haddad Kalibata.

Kyai Zainal Arifin Welahan bercerita kepada saya. Dulu, sewaktu masih mudanya, ia jagongan sama Mbah Munif Girikusumo yang saat itu juga masih muda. Beliau berdua ngobrol ngalor-ngidul tentang dzikir. “Dzikir ismu dzat itu bikin panas dalam tubuh,” kata Mbah Munif sambil meletakkan sebatang korek api di atas air mineral gelas.

Beliau terus bicara panjang lebar tentang dzikir. Kira-kira seperempat jam kemudian beliau menutup pembicaraannya sambil menunjuk ke air mineral gelas di depannya: “Ini lho, kalau dzikir itu bisa membakar dosa sampai habis. Itu lihat!”

Kyai Zainal Arifin pun melihat air mineral di depannya. Ternyata airnya hilang entah ke mana. Sementara korek api yang diletakkan di atasnya menjadi gosong seperti sudah habis terbakar. Anehnya, pentol korek itu tidak pernah disulutkan, serta botol air mineral gelas itu masih utuh tidak bocor. “Lalu lewat mana air itu menguap lenyap?” Pikir Kyai Zein.

Kyai Abdul Haq, salah seorang guru thariqah Khalidiyyah bercerita, suatu hari dia dipanggil sowan Mbah Munif. Sesampainya di Girikusumo Kyai Abdul Haq hanya diberi Mbah Munif uang receh sebesar 500 perak. Tetapi kata Mbah Munif: “Kyai, ini ada uang buat berangkat haji.” 500 rupiah buat berangkat haji ya aneh, malah sebagian orang berpikir itu perbuatan seorang yang ‘kenthir’.

Sesampainya di rumah, Kyai Abdul Haq hanya menimang-nimang uang receh tersebut sambil berkata: “Yi Munif itu maksudnya apa? Aku itu tidak punya uang, dikasih lima ratus rupiah koq disuruh buat haji. Gimana?”

Baru saja beberapa menit, datanglah tamu seorang murid thariqah. Tanpa ba-bi-bu matur kepada Kyai Abdul Haq bahwa kalau kyai mau saat itu juga didaftarkan haji, atas tanggungan biaya si murid! Subhanallah, Kyai Abdul Haq hanya bisa ‘mbrebes mili’ air matanya saja.

Saya dulu ingat mirip-mirip demikian, memberi uang receh sebagai jimat, sering dilakukan seorang kyai majdzub dari Sarang Rembang yaitu almarhum Kyai Ahmad. Saya pernah kebagian beberapa rupiah dari beliau. Sayangnya sekarang tidak tahu lagi rimbanya uang jimat itu. Kalau sekarang Anda sowan ke Solo ke tempat Habib Syekh, mungkin Anda juga akan kebagian uang receh jimatan. Kata Habib Syekh biasanya: “Duit rongewu dadi rong milyar”, uang dua ribu jadi dua milyar. Semacam doa beliau untuk mudah rizki, barangkali.

Kyai Munif ini saking tajamnya mata batin beliau, sampai-sampai keadaan para muhibbin dan para muridnya di tempat yang jauh pun beliau waskita dan mengetahui. Sudah terlalu sering ibu mertua saya, juga masih adik Kyai Munif, bercerita kepada saya kalau apa saja yang terjadi di dalam rumahnya, Mbah Munif dari jauh sudah mengetahui detailnya. Sampai-sampai jika ibu mertua saya sowan pun malah sebelum cerita ke Mbah Munif, eh malah Mbah Munif yang duluan menceritakannya. Biasanya ibu mertua saya tinggal klepek-klepek saja.

Sampai saat ini Mbah Munif alhamdulillah masih dalam keadaan sehat di kediaman beliau di Girikusumo. Dan Ketua Syuriyah PKB Cabang Demak ini terhitung menjadi salah satu rujukan pangestu para pejabat negara dan para pengusaha-pengusaha yang pada berebutan mencari berkah dan untung dengan restu serta doa beliau.

3.      Kyai Ageng Haji Ulin Nuha Arwani

Jika Anda bertanya pesantren terdepan yang mencetak para penghafal al-Quran dengan kualitas terbaik, maka salah satu jawabannya adalah Ponpes Yanbu’ul Qur’an Kudus. Pesantren al-Quran rintisan Kyai Ageng Mbah Arwani Amin Said ini dikenal sebagai pesantren al-Quran terbaik di Indonesia. Dan sekarang yang memimpin adalah Si Mbah Kyai Ulin Nuha, putra pertama Mbah Arwani.

Mbah Arwani merupakan Mursyid Thariqah Khalidiyyah yang mempunyai hanaqah atau pondok thariqah di Dusun Kwanaran ini pun menitiskan kekhilafahan thariqahnya kepada Mbah Ulin. Jadi sebagaimana ayahnya, Kyai Ulin juga memimpin pondok tahfidz sekaligus menjadi murabbi thariqah di Induk Kwanaran Kudus. Dikatakan induk, karena cabang-cabang pondok thariqah Kwanaran sudah mencapai ratusan (mungkin) tersebar di sepanjang Pantura Jawa.

Perawakan Mbah Ulin yang gagah, ganteng dan rapi selalu menyenangkan jika dipandang. Tetapi tutur kata halus beliau lebih menyenangkan lagi didengarkan. Kepada siapapun beliau selalu memakai bahasa kromo inggil (Jawa halus). Bentuk penghormatan beliau kepada siapa saja tanpa memandang status serta umur bersangkutan. Begitulah salah satu bentuk ketawadhu’an.

Beliau putra kyai besar, putra wali Allah yang oleh Mbah Hamid Pasuruan diberi julukan Mbah Arwani Wali Kudus. Meskipun seorang anak tokoh besar, Mbah Ulin saat masih mondok di pesantren asuhan Kyai Wali Muhammadun Pondowan Pati Jawa Tengah, beliau masak ya masak sendiri. Giliran menyapu halaman beliau yang menyapu sendiri.

Paman saya, Kyai Mansur, salah satu teman satu kamar Mbah Ulin. Seringkali saat melihat Gus Ulin (begitu biasanya beliau dipanggil) memegang sapu lidi, Kyai Mansur mencoba memintanya: “Gus, biar saya saja yang menyapu untuk Panjenengan.”

Mbah Ulin selalu menolak dan dengan halus mengatakan terima kasih saja. Ketawadhu’an ini yang merupakan ciri khusus beliau. Hanya saja, karena beliau itu ditakdirkan Allah menjadi seorang yang kaya raya, punya mobil mewah serta pakaian beliau selalu tampak rapi dan wangi, kadangkala membuat orang salah menilai. Gus Lukmanul Hakim, putra kyai sepuh Jekulo Kudus, pernah bercerita. Salah seorang teman disaat melihat keadaan diri Mbah Ulin yang seperti itu, berkata: “Kyai thariqah koq kaya raya. Bajunya bagus-bagus dan mobilnya mewah. Tidak pantas ya? Mestinya kyai thariqah itu harus humul, tidak suka bermewah-mewah.”

Selang seminggu kemudian, teman itu sowan kepada Habib Anis bin Alwi al-Habsyi Shahib Gurawan Solo. Memang teman ini mulazamah majelis rauhah al-‘Arif Billah Habib Anis al-Habsyi. Pada kesempatan itu, saat teman baru saja duduk, tiba-tiba Habib Anis datang menghampirinya dan bertanya: “Antum dari mana?”

“Dari Kudus, Habib”, jawabnya.

“Alhamdulillah. Kudus itu ada seorang kyai yang sebenar-benarnya kyai. Namanya Kyai Ulin Nuha. Antum kalau ada perlu apa soal keagamaan datang kepada Kyai Ulin Nuha ya?” Tutur Habib Anis.

Teman itu langsung teringat keingkaran hatinya kepada Kyai Ulin dan sontak teguran Habib Anis itu (yang merupakan kasyaf agung beliau) membuatnya jatuh lemas dan menangis menyesali diri. Dia baru sadar seseorang tidak boleh menilai maqamat orang lain dari penampilan lahiriyahnya saja. Karena itu adalah sirr, dan sirr tempatnya ada di ‘dalam’. Tiada bisa melihat kecuali ahlinya. “Laa ya’rifu al-jauhar illa al-jauhariy”, tidak mengerti karat derajat mutiara kecuali tukang mutiara.

Tetapi saya juga memaknai persaksian Habib Anis tentang ke-Kyai-an yang sebenarnya dari Mbah Ulin adalah salah satu bukti ketulusan serta keikhlasan Kyai Ulin dalam menjalani hidupnya. Saya tahu persis karena saya –alhamdulillah- arba’iniyyah saya dalam bimbingan beliau.

Dalam banyak kesempatan, di hadapan ratusan murid-murid thariqah pun, saat ada yang bertanya tentang satu hukum agama atau masalah thariqah kepada beliau dan tampaknya beliau benar-benar belum mengerti jawabannya maka tanpa malu beliau akan menjawab: “Kulo dereng mangertos jawabanipun. Insya Allah benjang menawi sampun pikantuk jawaban, Panjenengan kawula paringi pirsa”, Saya belum tahu jawabannya. Insya Allah besok kalau saya sudah ketemu jawabannya Anda akan saya beri tahu.

Masya Allah, seorang mursyid, seorang kyai besar, di hadapan banyak murid tanpa malu mengatakan “La adriy”, aku tidak tahu.

Saya ingin bertanya kepada Anda, sosok ahli ikhlas semacam beliau ini di zaman sekarang masih ada apa tidak? Apalagi kyai ataupun para ustadz televisi. Tidak ada yang tidak tahu bagi mereka. Semua pertanyaan pasti dijawab. Benar salah belakangan.

Saya menjadi memahami makna Habib Anis tentang ‘sebenar-benarnya kyai’ ini. Saya teringat cerita sejenis yang hampir ribuan tahun lampau sudah dianggap langka. Cerita tentang Imam Malik Ra. Haitsam bin Jumail berkata: “Aku menyaksikan Imam Malik yang ditanya 48 pertanyaan. Dan dia menjawab untuk 33 pertanyaan tersebut dengan jawaban “Aku tidak tahu.”

Imam Malik sendiri berkata: “Sangat penting seorang yang alim mewariskan kepada para murid dan rekan di sekelilingnya ucapan “La adriy”, sampai akhirnya kebiasaan itu menjadi pokok dalam genggaman mereka. Sehingga jika ada yang bertanya dengan soal yang tidak diketahui jawabannya maka mereka akan sigap menjawab “Aku tidak tahu.”

Dalam bentuk seperti ini saya memandang Kyai Ageng Haji Ulin Nuha beberapa tingkat telah mengalahkan kyai-kyai serta mursyid-mursyid yang lain. Semoga Allah memanjangkan umur beliau dan para Kyai Ageng, para Mursyid yang lain. Tetap dalam kesehatan dan keselamatan sehingga kami semua selalu mendapat limpahan keberkahan mereka, Aamin. (Diedit ulang dari catatan KH. Muhajir Madad Salim).

Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 10 Agustus 2014

1 komentar: