Halaman

Jumat, 23 Mei 2014

PENTINGNYA MAHIR BERBAHASA ARAB ‘AMMIYAH (PERCAKAPAN)




Memahami bahasa Arab fush-hah (makna sederhananya Bahasa Kitab) sudah sangat baik. Tetapi kalau berinteraksi dengan orang-orang Arab kalau tidak mahir bahasa ‘ammiyahnya (bahasa percakapan) bisa repot juga. Bisa jadi salah faham.

Waktu di Bekasi, di salah satu rauhah yang dihadiri al-Habib Salim asy-Syathiriy, di tengah majelis saya ingin keluar karena mau kentut. Tentu saya tidak akan mengeluarkan bau busuk tubuh saya di dalam majelis agung itu. Saat saya berdiri dan akan keluar, tentunya tanpa permisi, tanpa rahshah terlebih dahulu kepada Habib Salim. Habib memandang saya tajam dan bertanya kepada salah seorang di sampingnya: “Hendak ke mana si fulan itu di tengah rauhah kita?”

Saya mendengar kata-kata beliau seperti geledek yang menyambar tubuh saya di siang bolong. Karena saya faham betul, adab seorang murid itu tidak meninggalkan majelis gurunya tanpa izin guru yang bersangkutan. Rasa ketidaksenangan Habib itu membuat saya benar-benar masyghul. Sayang sekali saya tidak mampu menjelaskan duduk perkara sebenarnya karena saat itu saya tidak mahir berbahasa ‘ammiyah (percakapan). Dan saya cukup malu jika bercakap-cakap dengan beliau memakai bahasa Tarzan.

Ada pula cerita yang lucu tentang hal semacam ini, seorang kyai Jawa Tengah dengan Abuya al-Maliki. Nama kyai itu Si Mbah Kyai Muhammadun dari Dukuh Pondowan Pati Jateng. Mbah Madun, biasa beliau disebut begitu, adalah seorang yang alim. Mempunyai banyak ta’lifan (karya) termasuk Syarah Alfiyyah Ibnu Malik. Memang beliau sangat mumpuni di bidang fan alat serta turunannya termasuk balaghah serta mantiq. Beliau nyaris hafal nadzam-nadzam di ilmu-ilmu bahasa ini beserta syawahidnya.

Namun sedemikian alimnya beliau tidak bisa berbahasa Arab percakapan. Sehingga saat hajji dan berjumpa dengan Abuya al-Maliki, Si Mbah Madun sebagai orang Jawa tulen pun matur sebagaimana kebiasaan orang Jawa sowan di hadapan gurunya: “Ana ahdhuru amamaka.” Kalau di-Jawa-kan artinya “Kulo sowan wonten ngarso Panjenengan” (Saya datang ke hadapan Tuan). Sebuah kata pembuka percakapan yang lazim diucapkam oleh orang Jawa.

Tetapi jadi aneh dihadapkan dengan struktur percakapan orang-orang berbahasa Arab. Saking anehnya kefushahan Mbah Madun itulah Abuya al-Maliki sampai tertawa-tawa dan bercanda meledek beliau: “Ya Kyai, Enta Sibawaih Jawa. Wa ana ahdhuru amamaka?” (Anda itu Imam Sibawaihnya Tanah Jawa, tetapi mau ngomong saja ‘Ana ahdhuru amamaka’?). (Dikutip dari tulisan KH. Muhajir Madad Salim).

KH. Muhammadun adalah Pengasuh Pertama Pondok Pesantren Darul Ulum Pondowan Tayu Pati Jawa Tengah. Beliau juga Abah dari KH. Muhammad Aniq Muhammadun Pengasuh Pondok Pesantren Manba’ul Ulum (PPMU/Manba’una) Pakis Tayu Pati Jawa Tengah. Bagi yang belum punya mp3 pengajian Mbah Muhammadun silakan bisa download di link berikut ini:


Sya’roni As-Samfuriy, Cikarang Bekasi 24 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar