Halaman

Minggu, 16 Maret 2014

TASAWUF MUHAMMADIYAH





Kolom Risalah majalah MATAN (Majalah PW Muhammadiyah Jawa Timur), Edisi 74, September 2012 oleh Prof. Syafiq A. Mughni (Ketua PP Muhammadiyah).

Sekalipun tasawuf menjadi tradisi yang telah lama berkembang dalam Islam, ada kesan bahwa tradisi itu tidak berkembang dalam Muhammadiyah. Padahal sesungguhnya secara subtansial tradisi itu cukup kuat berkembang dalam bentuk tersendiri. Bagi Muhammadiyah, tasawuf adalah identik dengan akhlaq (tasawuf akhlaqi), ihsan (berbuat sebak mungkin), atau tazkiyatunnafs (mensucikan jiwa). Hanya saja karena tasawuf itu oleh Muhammadiyah dipandang mengadung sitgma bid’ah, takhayul dan syirik, maka tasawuf secara formal tidak mendapatkan legitimasi dalam rumusan faham Muhammdiyah. Seandainya tidak ada stigma itu, maka nama tasawuf tentu diterima dengan baik.

Gerakan Muhammadiyah yang tajdidi (pembaharuan) memang membawa resiko, yakni tergusurnya banyak trasdisi tasawuf yang menyebabkan kegersangan spiritual. Kergersangan itu terjadi karena pengaruh modernisme dalam Muhammadiyah. Modernisme lahir di Barat sebagai koreksi terhadap situasi abad-abad itu, doktrin gereja memiliki peran sangat besar dalam membentuk kehidupan dan memasuki hampir seluruh persoalan.

Gereja menobatkan penguasa, mengesahkan perkawinan, menentukan kebenaran hukum alam, memberikan ampunan atas dosa, memberikan barakah, menentukan yang boleh dan tidak boleh, dan menarik upeti. Besarnya otoritas gereja itu menyebabkan hilangnya kebebasan berfikir sehingga mengakibatkan keterbelakangan. Modernisme awal di Barat seolah-olah menyatakan perang terhadap dominasi agama. Perkembangan itu diikuti dengan lahirnya sekularisme, positivisme, eksistensialisme, rasionalisme, yang semuanya merupakan pengaruh dari modernisme Barat.

Modernisme Barat itu kemudian masuk ke dunia Islam dan memberikan inspirasi terhadap gerakan-gerakan atau intelegensia baru untuk menyerapnya ke dalam konsep-konsep Islam. Muhammadiyah merupakan salah satu gerakan-gerakan itu. Muhammadiyah, sebagaimana pembaruan-pembaruan lainya, mendorong ijtihad dan pemanfaaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemajuan manusia. Rasionalisme dan positivisme mengikis hak-hak perogratif ulama dalam Islam.

Kritik Muhammadiyah terhadap taqlid dan kultus individu menyebabkan para ulama di Indonesia khususnya semakin tersudut. Modernisme itu pada giliranya menyerang tasawuf dan lebih-lebih tarekat karena dipandang bertentangan dengan semangat kemajuan di zaman baru, zaman moderen. Modernisme menggusur berbagaai macam kepercayaan yang tidak berdasar kitab suci dan tidak masuk akal. Secara lebih spesifik, modernisme menghukumi banyak hal yang diajarkan oleh ulama dengan takhayul dan kurafat. Dalam pandangan modernis Islam, hal-hal tersebut bisa mengarah kepada syirik.

Selain oleh modernisme, sikap Muhammadiyah terhadap tasawuf spiritual juga dipengaruhi oleh reformisme. Jika modernisme berkembang di Barat dan kemudian berpengaruh pada dunia Islam, reformisme muncul dari dalam umat Islam sendiri. Perlunya pembaharuan didorong oleh kesadaran akan kemunduran umat akibat penyimpangan ajaran Islam yang otentik dan korupsi agama oleh ulama. Dalam semangat reformisme umat Islam harus kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah, serta meninggalkan bid’ah, takhayul khufarat dan syirik. Kultus individu, konsep wali, karamah dan berkah yang melekat pada ulama dipandang sebagai korupsi agama, budaya lokal dan asing yang telah mempengaruhi dan membentuk keyakinan dan pengamalan agama menyebabkan ajaran Islam tertutup. Dengan demikian, reformisme berarti purifikasi akidah dan ibadah.

Inspirasi reformisme awal diberikan oleh Ahmad bin Hanbal yang hidup pada abad ke-9 M. Melalui fatwa-fatwa dalam ceramah dan tulisanya, ia berusaha membendung pengaruh filsafat Yunani yang masuk ke dalam pemikiran Islam. Ia menyatakan bahwa filsafat dan kalam, yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani, adalah bid’ah. Karena pengaruh itu terlihat jelas dalam pemikiran teologi Mu’tazilah, maka ia menyerang aliran itu. Ia juga menyerang Syi’ah karena dipandang dari Sunnah Nabi.

Inspirasi reformisme selanjutnya diberikan oleh Ibn Taimiyah, penganut Ahmad bin Hanbal, yang juga berusaha membersihkan Islam dari pengaruh filsafat Yunani. Ibn Taimiyah tidak hanya dikenal anti-Mu’tazilah dan Syi’ah tetapi juga anti-tasawuf dan tarekat menyimpang. Keterlibatannya dalam tasawuf dan tarekat masih menjadi perdebatan, tapi kecamanya terhadap tasawuf dan tarekat yang menyimpang dari syariat dan penuh bid’ah dan kufarat tidak diragukan lagi. Disamping itu Muhamad bin Abdul Wahhab, yang juga berada dalam tradisi Hanbali, menjadi tokoh yang menginspirasi. Dakwahnya untuk memberantas penyimpangan agama memiliki gaung yang sangat luas bukan hanya di Arabia, tetapi juga di belahan dunia Islam. Sikapnya yang anti tarekat menjadikan sasaran sinisme yang dilabel dengan Wahabi.

Tasawuf dalam dimensi spiritual seperti itulah yang ditolak oleh Muhammadiyah sehingga muncul kesan adanya kegersangan spiritual. Tetapi, bagi Muhammadiyah kenikmatan spiritual bisa dicapai dengan memperbanyak membaca al-Quran, memperbanyak shalat sunnah, memperbanyak doa (yang ma’tsurah), memperbanyak berdzikir, bertafakkur dan bertadabbur. Pengajian-pengajian dalam Muhammadiyah juga bisa mengangkat tema-tema sufistik yang bisa meningkatkan kualitas spiritual jamaah. Dengan itu, kenikmatan dan kepuasan spiritual bisa diraih tanpa melaluli institusi tarekat atau seremoni yang bersifat khusus. Itulah tasawuf (bisa juga disebut akhlaq, ihsan atau tazkiyatunnafs) ala Muhamadiyah. Ini baru soal tasawuf spiritual.

Sya’roni As-Samfuriy


Tidak ada komentar:

Posting Komentar