Salah seorang kiyai
kampung dari Cirebon, KH. Aqil Siroj yang wafat tahun 90-an. Kiyai kecil yang
menjadi pendiri Pondok Pesantren Kempek itu dikarunia 5 orang anak, semuanya
laki-laki. Berkat kegigihannya dalam mendidik dan merawat anak, kelima anaknya
itu berhasil menjadi panutan di tengah-tengah umat. Mereka adalah:
1.
KH. Ja’far yang
sekarang menjadi pengasuh di Pondok Pesantren Kempek,
2.
KH. Musthafa
Aqil salah satu Katib PBNU yang menjadi menantunya KH. Maimoen Zuber,
3.
KH. Ahsin yang cacat
sejak kecil sehingga hanya belajar kepada ayahnya namun mampu untuk mengajar kitab
Fathul Qarib, Imrithi dll. kepada para santrinya,
4.
KH. Ni’am S1
keluaran al-Azhar, dan
5.
Prof. Dr. KH. Said
Aqil Siroj Ketua Umum PBNU.
“Belum tentu saya
memiliki anak-anak seperti saya yang Profesor dan Doktor,” tutur
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj yang akrab disapa Kang Said.
“Ayah saya
jangankan punya sepeda ontel, beli rokok pun tak mampu. Dulu setelah ayah memanen
kajang hijau, pergilah ia ke pasar di Cirebon. Zaman dulu yang namanya mobil transportasi
itu sangat jarang dan hanya ada pada jam-jam tertentu,” lanjut
Kang Said menceritakan keadaan ayah semasa hidupnya.
Suatu hari Kiyai
Aqil hendak membelikan perhiasan emas untuk istrinya. Hidupnya yang teramat
sederhana, maka suatu keistimewaan bagi beliau bisa membelikan emas untuk istri
tercintanya. Setelah kacang hijau hasil panenannya dijual dan mendapatkan
sejumlah uang yang cukup untuk dibelikan emas, pergilah ia ke toko emas. Akhirnya
dibelilah emas itu dan siap-siap untuk dibawa pulang.
Ia harus
menaiki becak terlebih dahulu sebelum akhirnya naik mobil angkutan umum agar
bisa sampai ke kediamannya di Kempek. Begitu mobil melintas di depannya,
langsung saja beliau segera turun dari becak. Tidak mau ketinggalan kesempatan,
karena untuk bisa menaiki mobil angkot perlu berjam-jam lamanya.
Sampailah Kiyai
Aqil Siroj di Kempek. Begitu masuk ke dalam rumah, istrinya yang menunggu
sedari tadi langsung bertanya: “Bah, mana emas yang Abah beli dari pasar
tadi?”
Dengan tenang
sang suami menjawab: “Lupa Mi. Tadi sewaktu Abah naik becak keburu mobil
datang, Abah khawatir ketinggalan mobil. Emas itu ya tidak terpikirkan dan ketinggalan
di becak. Ya sudah Mi memang belum rizki kita.”
Begitulah
keadaan kiyai-kiyai dahulu, yang bukan hanya menekan pada anak-anaknya untuk
giat beribadah dan belajar, namun memberikan contoh langsung dari ibadah dan
kuatnya mujahadah yang secara istiqamah dilakukan. Karena “Lisanul hal
afshahu min lisanil maqal”, lisan perbuatan lebih mengena dan mudah ditiru
daripada hanya sekedar lisan ucapan.
Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 16 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar