Halaman

Sabtu, 15 Februari 2014

KISAH KEZUHUDAN KIYAI KAMPUNG; KH. AQIL SIROJ KEMPEK CIREBON




Salah seorang kiyai kampung dari Cirebon, KH. Aqil Siroj yang wafat tahun 90-an. Kiyai kecil yang menjadi pendiri Pondok Pesantren Kempek itu dikarunia 5 orang anak, semuanya laki-laki. Berkat kegigihannya dalam mendidik dan merawat anak, kelima anaknya itu berhasil menjadi panutan di tengah-tengah umat. Mereka adalah:

1.      KH. Ja’far yang sekarang menjadi pengasuh di Pondok Pesantren Kempek,
2.      KH. Musthafa Aqil salah satu Katib PBNU yang menjadi menantunya KH. Maimoen Zuber,
3.      KH. Ahsin yang cacat sejak kecil sehingga hanya belajar kepada ayahnya namun mampu untuk mengajar kitab Fathul Qarib, Imrithi dll. kepada para santrinya,
4.      KH. Ni’am S1 keluaran al-Azhar, dan
5.      Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj Ketua Umum PBNU.

“Belum tentu saya memiliki anak-anak seperti saya yang Profesor dan Doktor,” tutur Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj yang akrab disapa Kang Said.

“Ayah saya jangankan punya sepeda ontel, beli rokok pun tak mampu. Dulu setelah ayah memanen kajang hijau, pergilah ia ke pasar di Cirebon. Zaman dulu yang namanya mobil transportasi itu sangat jarang dan hanya ada pada jam-jam tertentu,” lanjut Kang Said menceritakan keadaan ayah semasa hidupnya.

Suatu hari Kiyai Aqil hendak membelikan perhiasan emas untuk istrinya. Hidupnya yang teramat sederhana, maka suatu keistimewaan bagi beliau bisa membelikan emas untuk istri tercintanya. Setelah kacang hijau hasil panenannya dijual dan mendapatkan sejumlah uang yang cukup untuk dibelikan emas, pergilah ia ke toko emas. Akhirnya dibelilah emas itu dan siap-siap untuk dibawa pulang.

Ia harus menaiki becak terlebih dahulu sebelum akhirnya naik mobil angkutan umum agar bisa sampai ke kediamannya di Kempek. Begitu mobil melintas di depannya, langsung saja beliau segera turun dari becak. Tidak mau ketinggalan kesempatan, karena untuk bisa menaiki mobil angkot perlu berjam-jam lamanya.

Sampailah Kiyai Aqil Siroj di Kempek. Begitu masuk ke dalam rumah, istrinya yang menunggu sedari tadi langsung bertanya: “Bah, mana emas yang Abah beli dari pasar tadi?”

Dengan tenang sang suami menjawab: “Lupa Mi. Tadi sewaktu Abah naik becak keburu mobil datang, Abah khawatir ketinggalan mobil. Emas itu ya tidak terpikirkan dan ketinggalan di becak. Ya sudah Mi memang belum rizki kita.”

Begitulah keadaan kiyai-kiyai dahulu, yang bukan hanya menekan pada anak-anaknya untuk giat beribadah dan belajar, namun memberikan contoh langsung dari ibadah dan kuatnya mujahadah yang secara istiqamah dilakukan. Karena “Lisanul hal afshahu min lisanil maqal”, lisan perbuatan lebih mengena dan mudah ditiru daripada hanya sekedar lisan ucapan.

Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 16 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar