Halaman

Minggu, 22 Desember 2013

YANG DIIRIKAN DAN DIINGINI GUS DUR




Suatu ketika saat sedang berdua dengan Gus Dur beliau bercerita banyak hal tentang keteladanan ulama-ulama terdahulu. Saat beliau pergi ke Baghdad Irak di tahun 1991 bersama Ibu Sinta Nuriyah dan adik bungsunya, Hasyim Wahid, di sela-sela dialog saya bertanya kepada Gus Dur: “La menawi ingkang dipun pengini Bapak piyambak nopo?” (Kalau bapak sendiri penginnya apa).

Jawab Gus Dur: “Jan jane aku iku lo iri karo Kanjeng Nabi”, beliau sambil ngekek tertawa. “Lo nganti saiki ora mandeg-mandeg walaupun sak detik ummate moco sholawate Kanjeng Nabi terus ra ono watese. Iku kerana welas asihe Kanjeng Nabi maring ummate.” (Aku lho iri sama Kanjeng Nabi Saw. Karena sampai saat ini tidak pernah lewat sedetikpun ummatnya berhenti, terus siang malam tak ada batasnya membacakan sholawat Nabi Saw.)

“Nek diarani kepengin, aku mung pengin nek aku mati wong-wong iku ora mandeg macakna meski mung Fatehah kanggo aku” (Kalau dianggap saya punya keinginan, aku hanya ingin jika aku meninggal nanti orang-orang tidak berhenti mendoakan saya meskipun hanya dengan membacakan surat al-Fatihah), imbuh Gus Dur.

“Dan nanti kalau ada kesempatan, ziarahlah kamu ke Syaikh Abdul Qodir Jailani di Baghdad,” kata beliau lagi.

“Nggih Pak,” jawabku.

Dari kalimat di atas saya memahaminya seperti ini: meskipun Gus Dur sedang memerankan peran apapun di dunia baik sebagai Kyai, Ketua Umum PBNU, Ketua Dewan Syuro PKB, Politisi, Budayawan, Presiden WCRP, Presiden RI, maupun Guru Bangsa, Gus Dur tetap merasa tidak menjadi apa-apa. Dan semuanya itu hanya jalan untuk mendapatkan ridha Nya Allah Swt. (Sumber cerita: Gus Nuruddin Udien Hidayat).

Lahu al-Fatihah…
____________________
Allahumma shalli wasallim wabarik ‘ala Sayyidina Muhammadin wa’ala Aalihi wa Shahbihi ajma’in.

Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 23 Desember 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar