Suatu
ketika saat sedang berdua dengan Gus Dur beliau bercerita banyak hal tentang
keteladanan ulama-ulama terdahulu. Saat beliau pergi ke Baghdad Irak di tahun
1991 bersama Ibu Sinta Nuriyah dan adik bungsunya, Hasyim Wahid, di sela-sela
dialog saya bertanya kepada Gus Dur: “La menawi ingkang dipun pengini Bapak
piyambak nopo?” (Kalau bapak sendiri penginnya apa).
Jawab
Gus Dur: “Jan jane aku iku lo iri karo Kanjeng Nabi”, beliau sambil
ngekek tertawa. “Lo nganti saiki ora mandeg-mandeg walaupun sak detik ummate
moco sholawate Kanjeng Nabi terus ra ono watese. Iku kerana welas asihe Kanjeng
Nabi maring ummate.” (Aku lho iri sama Kanjeng Nabi Saw. Karena sampai saat
ini tidak pernah lewat sedetikpun ummatnya berhenti, terus siang malam tak ada
batasnya membacakan sholawat Nabi Saw.)
“Nek
diarani kepengin, aku mung pengin nek aku mati wong-wong iku ora mandeg macakna
meski mung Fatehah kanggo aku”
(Kalau dianggap saya punya keinginan, aku hanya ingin jika aku meninggal nanti
orang-orang tidak berhenti mendoakan saya meskipun hanya dengan membacakan surat
al-Fatihah), imbuh Gus Dur.
“Dan
nanti kalau ada kesempatan, ziarahlah kamu ke Syaikh Abdul Qodir Jailani di
Baghdad,” kata beliau lagi.
“Nggih
Pak,” jawabku.
Dari
kalimat di atas saya memahaminya seperti ini: meskipun Gus Dur sedang
memerankan peran apapun di dunia baik sebagai Kyai, Ketua Umum PBNU, Ketua
Dewan Syuro PKB, Politisi, Budayawan, Presiden WCRP, Presiden RI, maupun Guru
Bangsa, Gus Dur tetap merasa tidak menjadi apa-apa. Dan semuanya itu hanya
jalan untuk mendapatkan ridha Nya Allah Swt. (Sumber cerita: Gus Nuruddin Udien Hidayat).
Lahu al-Fatihah…
____________________
Allahumma shalli wasallim wabarik ‘ala
Sayyidina Muhammadin wa’ala Aalihi wa Shahbihi ajma’in.
Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap
Jaktim 23 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar