Tulisan singkat
nan sederhana, sebagai karcis haul Gus Dur ke-4, moga-moga dapat tempat duduk.
Seperti yang
kita tahu, agama Islam adalah agama kasih sayang. Sekalipun di dalam agama
Islam ada larangan-larangan tertentu, selalu ditekankan untuk menegakkan aturan
tersebut harus atas dasar cinta.
Banyak pejuang
Islam celaka karena salah memahami amar makruf nahi munkar. Dipikirnya perintah
“mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan” itu berdiri sendiri. Tidak ada
ayat-ayat al-Quran dan hadits penjelas tata cara operasionalnya. Kalau kita mau
sabar belajar dulu, tidak hanya bermodal semangat, kita akan tahu “pendamping”
perintah jihad tersebut; dilandasi kasih sayang. Silakan cek ke semua ulama dan
penghafal al-Quran di dunia ini.
Tujuan
berdakwah adalah mengajak kebaikan, tentu mustahil menghasilkan kerusakan.
Menjadi mungkin kegiatan dakwah justru berbuah kerusakan, jika dilakukan dengan
cara yang salah dan niat yang kotor. Kerusakan tambah parah jika hanya bermodal
semangat saja, tanpa ilmu sama sekali.
Agar lebih
memahami, kita ambil contoh kehidupan sehari-hari. Ada seorang anak kecil
memanjat pohon untuk memetik buah. Tiba-tiba hujan turun, sementara anak kecil
itu masih di atas pohon. Kalau yang “berdakwah” itu ibunya sendiri, pasti dia
akan penuh kelembutan untuk mengajak anaknya segera turun. Kalau yang “berdakwah”
itu tetangganya yang berwatak preman, pasti dia akan kasar menarik kaki anak
kecil itu, lalu malah dibanting ke bawah.
Lihat,
sama-sama tujuannya; turun dari pohon. Tapi, terasa sangat lain, kan? Kenapa
bisa demikian? Cara ditentukan niat, sementara niat asalnya dari pikiran dan
hati. Sang ibu sejak awal sudah berbeda dengan si tetangganya, karena sang ibu “mendakwahi”
anaknya atas nama cinta. Akhirnya, hasilnya pun berbeda dengan si tetangga yang
tanpa cinta tadi; sang ibu penuh lemah lembut mengajak si anak pada kebaikan.
Amar makruf
nahi munkar, jihad, dakwah, dan sebagainya pun demikian. Harus dilandasi kasih
sayang, karena itulah agama kita disebut agama Islam (agama
perdamaian/keselamatan). Gus Dur sangat memahami konsep itu, maka Gus Dur layak
disebut khalifatullah (wakil Allah). Hasilnya seperti kita lihat, pengikut Gus
Dur ada puluhan juta orang, tak cuma kalangan NU, tapi juga lintas agama.
Semua orang
cinta Gus Dur, karena beliau mencintai semua orang, bahkan kepada yang membencinya
sekalipun. Semua orang mengagumi keislaman Gus Dur, karena beliau berislam
secara utuh dan menyeluruh. Gus Dur sampai di level khalifatullah (wakil
Allah), karena sudah lulus dua tahap sebelumnya.
Gus Dur sudah
lulus jadi insan (manusia), kemudian Gus Dur sudah lulus jadi abdullah (hambah
Tuhan), lalu Gus Dur pun di puncak pendakian seorang muslim, yakni menjadi
khalifatullah (wakil Tuhan). Gus Dur berbeda dengan para pembencinya.
Kebanyakan dari mereka, jadi manusia saja belum lulus.
Hanya karena rajin
shalat dan pintar mengaji, ada orang gampang sekali menyakiti hati muslim lain
yang menurutnya tidak sealim dirinya. Hanya karena menilai Ahmadiyah melenceng
dari agama Islam, ada orang gampang sekali membakar rumah-rumah penduduk
Ahmadiyah. Hanya karena dirinya berpuasa, ada orang gampang sekali memukuli
ibu-ibu penjual makanan. Begitulah, jadi manusia saja belum lulus.
Bagi manusia
yang level “manusia” saja belum lulus tapi merasa sudah di level khalifatullah,
Gus Dur terlihat kontroversial. Gus Dur terlihat membela kesesatan-kesesatan
dan memarahi para pejuang Islam. Bagi anak SD, ilmu politik terkesan adalah
klenik. Bagi anak SD, musik Beethoven terdengar adalah musik ngik ngok. Bagi
anak SD yang masih belajar shalat, wiridan terlihat adalah ritual sesat.
Bagaimanakah
dengan Rasulullah Saw. yang tiap hari menyuapi pengemis buta yang beragama
Yahudi tanpa sekalipun mendakwahinya? Apakah tindakan “controversial” Kanjeng
Nabi itu artinya menyetujui agama Yahudi? Apakah Kanjeng Nabi harus
menginjak-injak kepala pengemis buta Yahudi itu kalau ngotot tidak mau memeluk
agama Islam, biar tidak disebut “kontroversial”?
Seperti Nabi
Muhammad Saw., apakah Syaikh Hasan al-Bashri juga layak disebut “wali controversial”?
Syaikh Hasan al-Bashri tinggal bertetangga dengan seorang Nasrani di sebuah
flat. Apartemen si Nasrani di atas dan apartemen beliau di bawah.
Bertahun-tahun mereka bertetangga, tapi belum pernah si Nasrani datang bertamu
ke apartemen Syaikh Hasan.
Baru ketika Syaikh
Hasan al-Bashri jatuh sakit, si Nasrani mendatangi apartemen beliau untuk
keperluan menjenguk. Betapa kagetnya si tetangga, ketika menyadari adanya
sebuah baskom berisi air keruh yang terletak di dekat tempat tidur beliau.
Spontan si Nasrani teringat kamar mandinya tepat berada di atas. Karena si
tetangga Nasrani bertanya setengah memaksa, Syaikh Hasan pun jujur, bahwa
tebakannya benar dan itu sudah berlangsung sekitar 20 tahun.
Apakah Syaikh
Hasan harus teriak-teriak takbir dan mendobrak pintu apartemen si tetangga
Nasrani, agar tidak disebut “wali controversial”? Gus Dur pun demikian. Masalah
kenapa Gus Dur terlihat ramah pada siapa saja, bahkan pada orang atheis pun,
itu karena Gus Dur memanusiakan manusia lain dan selalu ingin menyayangi orang
lain.
Tidak betul
gosip yang mengatakan Gus Dur hanya peduli dengan umat non-muslim. Memangnya
jamaah NU yang dipimpinnya itu gerombolan orang kafir? Memangnya jamaah
Muhammadiyah yang sering dikunjunginya itu gerombolan orang kafir? Gus Dur
seakan tidak peduli isu Palestina, karena anak SD tidak mungkin paham namanya
ilmu diplomasi. Tidak suka Israel, ya demo bakar-bakar ban sambil mengutuki
Israel.
Peduli dengan
Palestina bukan ukuran kepedulian terhadap agama Islam. Kenapa mufti Arab Saudi
sampai sekarang tidak pernah mengeluarkan fatwa jihad ke Palestina? Kenapa
negara-negara Arab tidak bergabung jadi satu atas nama agama Islam dan
menyerang Israel? Jangan-jangan konflik Palestina-Israel itu murni konflik
diplomasi internasional?
Silakan belajar
tafsir tentang mekanisme sedekah di al-Quran. Lebih utama mana menolong sepupu
yang kesusahan dengan tetangga yang kesusahan? Lebih didahulukan mana menolong
rakyat Indonesia yang kesusahan dengan rakyat Palestina yang kesusahan? Lebih
utama mana antara Arab Saudi dengan Indonesia yang sebaiknya menolong
Palestina? Gus Dur tidak controversial.
Putri Gus Dur, Alissa Q. Wahid, mengomentari: “Tulisan yang bagus.
Terimakasih, kang. Sekadar informasi tambahan, saya tahu sendiri bahwa Gus Dur
di tahun 90an ikut menanggung beban finansial kedubes Palestina di Indonesia.
Setiap bulan.”
Doni Febriando menjawab: “Iya mbak, jelas Gus Dur sangat peduli
dengan Palestina, hanya saja beliau itu tidak suka pamer. Kan beliau nolongin
Palestina bukan demi mengkader muslim-muslim polos jadi anggota partai,
hehehe... Meski Gus Dur juga tahu aneka strategi politik massa, bapaknya mbak
masih punya etika politik.”
(Diedit ulang
dari tulisan suadara Doni
Febriando:
Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 18
Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar