Halaman

Jumat, 20 September 2013

ZAKAT PROFESI ADALAH BID’AH DHALALAH



Bagaimanakah jikalau al-Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa menanggapi tentang Zakat versi baru, Zakat Profesi yang gencar dikampanyekan oleh tetangga sebelah? Inilah ulasan beliau:

“Di masa Imam Malik bin Anas Ra. ada seorang temannya datang, Imam Malik itu imam besar, gurunya Imam Syafi’i. Imam Malik bin Anas bin Malik, bukan Anas bin Malik sahabat Nabi, bukan. Imam Malik bin Anas bin Malik ‘alaihi rahmatullah, gurunya Imam Syafi’i, orang yang mengarang kitab al-Muwattha’.

Kenapa disebut al-Muwattha’ (artinya yang menginjak) kenapa? Karena dengan kitab itu, terinjak seluruh kitab yang ada di masa itu oleh kitab al-Muwattha’ Imam Malik. Imam Malik, imam besar dan sangat menghargai adab. Beliau kalau ditanya tentang hukum, tentang suatu pertanyaan soal hukum. Kalau tanya hukum, tanya mau di jalan, mau sambil duduk, mau di pasar, silakan tanya. Kalau nanya hadits, ke rumah. Di rumah beliau berwudhu lagi, pakai sipat matanya, pakai minyak wanginya, pakai jubahnya, pakai sorbannya baru berkata: “Qaala Rasulullah Saw.”

Berani mengangkat suara di saat ia sedang membaca hadits, dipukul dengan keras oleh Imam Malik: “Jangan mengeraskan suara di depan hadits Rasulullah Saw.”

Beliau di mana-mana, di Madinah al-Munawarrah tidak berani memakai sandal. Bagaimana berani memakai sandal di tanah bekas pijakan kaki Muhammad Rasulullah Saw.? Imam Malik bin Anas bin Malik ini ketika duduk bersama para sahabatnya, karena sedang santai melunjurkan kaki lagi dipijiti kakinya, maka ia melunjur (selonjor) santai tidak bersila, murid-muridnya semua.

Lalu Datang tamu tak dikenal, sorbannya besar. Di saat itu berbeda dengan zaman sekarang, sebagian masih memegang kebiasaan itu. Tigkatannya disebut thalib (pelajar), orang yang sudah hafal kitab Bidayatul Hidayah, itu pakai sorban panjangnya 5 hasta, juga thalib. Kalau ia sudah mengajar maka panjang sorbannya 7 (saya masih menggunakan 7 hasta), kalau ulama besar 9-12 hasta.

Ini imamah (sorban) tamunya besar, ulama besar dari mana nih? Maka Imam Malik yang sedang berlunjur santai, segera menarik kakinya untuk bersila menghormati ulama bersorban besar ini, tidak boleh sembarangan, harus sopan. “Apa yang bisa kubantu?”

Ia berkata: “Aku datang mau bertanya.”

Imam Malik bertanya lagi: “Apa pertanyaanmu hadits, ayat atau hukum? Kalau hadits tunggu dulu. Atau ayat, biarkan aku bebenah dulu.”

Maka tamu bersorban besar itu berkata: “Tidak, aku mau tanya masalah hukum.”

Imam Malik berkata: “Iya apa pertanyaanmu?”

Si tamu bersorban besar bertanya: “Pertanyaannya bagaimana kalau besok matahari tidak terbit?”

Imam Malik diam, lalu menunduk dan bergumam: “Besok matahari tidak terbit, oh... jawabannya berarti aku boleh duduk berlunjur kaki lagi.”

Maksudnya apa? Orang ini tidak waras. Bagaimana matahari tidak terbit hari esok, tanda kiamat belum beres. Besok bukan hari Jum’at, nanya besok matahari tidak terbit lagi, tidak waras berarti. Jawabannya: “Aku boleh selonjor lagi.”

Hadirin-hadirat yang dimuliakan Allah, jadi menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang ditanya oleh orang-orang mubtadi’in tidak perlu dijawab kalau seandainya keluar dari akidah dan tidak jelas.

Apa itu mubtadi’in? Mubtadi’in itu segala-segalanya bid’ah, ini bid’ah itu bid’ah bid’ah bid’ah. Imam Malik sudah pegal melihat orang kaya gini, yang model kaya gini sudah ada di zaman Imam Malik. Kalau dibilang kecebongnya lah, kalau sekarang sudah jadi. Kalau dulu kecebongnya sudah ada.

Ia berkata: “Ya Imam, kaif ainallah.”

Imam Malik menjawab: “Majhul, ma’qul, iimaan bihi waajib, wa su-aal ‘anhu bid’ah (Masuk akal, tidak diketahui maknanya dan mempertanyakan masalah itu bid’ah). Dan kulihat engkau ini orang jahat, keluarkan ia dari hadapanku”, kata Imam Malik. Di zaman Imam Malik kecebongnya diusir.

Hadirin, demikian saudara-saudariku, yang demikian jangan dimusuhin ya, kasihan saudara-saudara Muslim kita banyak yang dijebak hal ini, segala-gala bid’ah, segala-gala bid’ah. Justru hal-hal yang bid’ah mereka memperbuatnya. Kalau kita hal-hal yang sunnah kita qiyaskan, kita buat seperti Maulid, Nishfu Sya’ban dan lainnya.

Qiyas untuk syiar justru malah diperangi, tapi justru hal-hal yang betul-betul tidak perlu ditambah, mereka tambah-tambahi. Seperti zakat profesi, kapan munculnya hukum zakat profesi. Zakat profesi tidak pernah ada di seluruh madzhab. Karena apa? Zakat itu hal yang fardhu, mau ditambahin.

“Ya, tapi sekarang banyak orang yang masuk non Muslim, keluar dari Islam gara-gara kelaparan karena Muslim tidak mengeluarkan zakatnya.”

Ooo... jadi kalau begitu orang banyak ibadah, banyak maksiat, sekarang shalat tambahin juga jadi 6 waktu, tidak bisa begitu. Yang fardhu ya fardhu, tidak bisa ditambah.

“Ya, tapi sekarang bagaimana dengan banyaknya orang yang kelaparan ini?”

Ya kita setujui sedekah profesi, setuju!. Mau tiap hari, mau tiap bulan, mau ½ persen, 50 persen, kalau perlu 100 persen. Tapi sedekah profesi jangan ngomong zakat profesi. Kalau zakat = fardhu, nggak bayar, halal darahnya.

Hadirin-hadirat yang dimuliakan Allah, hal seperti ini justru diputarbalikkan oleh mereka menjadi zakat profesi, itu yang justru bid’ah dhalalah.”


Sya’roni As-Samfuriy, sumber: www.majelisrasulullah.org

1 komentar: