PUASA SYAWAL
Daftar Isi:
a.
Dalil Disunnahkannya Puasa Sunnah
Syawal
b.
Niat Puasa Sunnah Syawal Digabung
dengan Niat Qadha Puasa Ramadhan
c.
Tentang Qadha Puasa Ramadhan
a.
Dalil Disunnahkannya Puasa Sunnah
Syawal
Dalam kitab Syarh
an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 8 halaman 56 dijelaskan perihal puasa
sunnah 6 hari di bulan Syawal pada hadits Nabi Saw.:
من صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا
من شَوَّالٍ كان كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa
berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di
bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim).
Dalil ini yang dijadikan dasar yang kuat bagi madzhab Syafi’iyah,
Hanbali dan Abu Daud (Dzahiriyyah) tentang kesunahan menjalankan puasa 6 hari
di bulan Syawal. Sedangkan Madzhab Hanafiyyah memakruhkan hal tersebut dengan alasan
agar tidak memberi prasangka akan wajibnya puasa tersebut.
Para penganut madzhab Syafi’iyyah menilai, yang lebih
utama dalam menjalaninya adalah berurutan secara berkesinambungan (mulai tanggal
2 Syawal). Namun jika dilakukan dengan dipisah-pisah atau dilakukan di akhir
bulan Syawal tetap masih mendapatkan keutamaan sebagaimana disebutkan dalam hadits
di atas.
Ulama berkata:
“Alasan (puasa Syawal) menyamai puasa
setahun penuh berdasarkan bahwa satu kebaikan menyamai sepuluh kebaikan. Dengan
demikian bulan Ramadhan menyamai sepuluh bulan lain dan 6 hari di bulan Syawal menyamai
dua bulan lainnya.”
b.
Niat Puasa Sunnah Syawal Digabung
dengan Niat Qadha Puasa Ramadhan
Menurut Imam ar-Ramli diperbolehkan menggabung niat
puasa 6 hari bulan Syawal dengan qadha puasa wajib Ramadhan, dan keduanya
mendapatkan pahala. Sedangkan menurut Abu Makhramah tidak mendapatkan pahala
keduanya bahkan tidak sah. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab I’anat ath-Thalibin juz 2 halaman 271.
Dalam kitab Bughyat
al-Mustarsyidin halaman 113-114 menjelaskan perihal hadits Nabi Saw.: “Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan
lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya)
seperti ia berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim). Sebagai berikut ini:
Bila melihat dzahirnya hadits seolah memberi
pengertian tidak terjadinya kesunnahan 6 hari bulan Syawal saat ia niati
bersamaan dengan qadha puasa Ramadhan. Namun Ibnu Hajar menjelaskan: “Mendapatkan kesunnahan dan pahalanya bila
ia niati sama seperti puasa-puasa sunnah lainnya, seperti puasa hari ‘Arafah dan
‘Asyura.”
Bahkan Imam ar-Ramli mengunggulkan pendapat terjadinya
pahala ibadah-ibadah sunnah lainnya yang dilakukan bersamaan ibadah fardhu
meskipun tidak ia niati selama tidak terbelokkan arah ibadahnya, seperti ia
niat puasa qadha Ramadhan di bulan Syawal dan ia niati sekalian puasa qadha 6
hari di bulan Dzulhijjah (maka tidak ia dapati kesunnahan puasa Syawalnya).
Tetap disunnahkan menjalankan puasa sunnah 6 hari di bulan
Syawal meskipun ia memiliki tanggungan qadha puasa Ramadhan karena ia menjalani
berbuka (batal) puasa di bulan Ramadhannya.
Abu Makhramah dengan mengikuti pendapat al-Mashudi
berkeyakinan tidak dapatnya pahala keduanya bila ia niati kedua-duanya secara bersamaan
seperti saat ia niat shalat Dzuhur dan shalat sunnah Dzuhur. Bahkan Abu Makhramah
menyatakan tidak sahnya puasa 6 hari bulan Syawal bagi yang memiliki tanggungan
qadha puasa Ramadhan secara mutlak.
c.
Tentang Qadha Puasa Ramadhan
Diharamkan menjalankan puasa dengan niat qadha dengan
alasan karena ihtiyath (hati-hati)
selama ia yakin atau memiliki sangkaan kuat tidak memiliki tanggungan mengqadha
puasa Ramadhan. Namun diperbolehkan menjalaninya bila ia ragu-ragu. Hal ini
sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ahkam
al-Fuqaha juz 2 halaman 29:
فمن تيقن او ظن عدم وجوب قضاء رمضان
عليه فيحرم عليه نية القضاء للتلاعب ومن شك فله نية القضاء ان كان عليه والا
فالتطوع
“Barangsiapa
yakin atau memiliki sangkaan kuat tidak memiliki kewajiban mengqadha puasa Ramadhan
maka haram baginya puasa dengan diniati qadha, karena sama halnya dengan
mempermainkan ibadah. Namun barangsiapa ragu-ragu maka diperbolehkan dengan
niat puasa qadha bila memiliki tanggungan qadha dan akan bernilai puasa sunnah
bila tidak memiliki tanggungan.”
Disebutkan juga dalam kitab al-Fatawi al-Fqhiyyah al-Kubra juz 2 halaman 90:
أَنَّهُ لو شَكَّ أَنَّ عليه قَضَاءً مَثَلًا
فَنَوَاهُ إنْ كان وَإِلَّا فَتَطَوُّعٌ صَحَّتْ نِيَّتُهُ أَيْضًا وَحَصَلَ له الْقَضَاءُ
بِتَقْدِيرِ وُجُودِهِ بَلْ وَإِنْ بَانَ أَنَّهُ عليه وَإِلَّا حَصَلَ له التَّطَوُّعُ
“Sesungguhnya
bila seseorang ragu-ragu atas kewajiban mengqadha baginya kemudian puasa dengan
niat mengqadhainya bila ada tanggungan dan niat puasa sunnah bila tidak
memiliki tanggungan, maka niatnya itu sah dan qadha puasanya juga terjadi bila
memang tanggungan tersebut diperkirakan terdapat padanya. Bahkan seandainya
telah nyata sekalipun baginya bahwa ia tidak memiliki tanggungan, maka puasanya
tersebut menjadi puasa sunnah.”
Wallahu al-Musta’an A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar