Halaman

Selasa, 30 Juli 2013

DARI SEMA’AN AL-QURAN HINGGA KE CLUB MALAM


DARI SEMA’AN AL-QURAN HINGGA KE CLUB MALAM

“Sepenggal Kisah Hidup Pendakwah Sejati nan Santun Al-Maghfurlah Gus Miek”



Sebuah Wajah Kerinduan

KH. Hamim Djazuli, atau biasa dipanggil Gus Miek, adalag sosok ulama multitalenta yang dikenal banyak kalangan mulai dari kalangan guru sufi, seniman, birokrat, preman, bandar judi, kiai-kiai NU dan para aktivis. Namanya begitu melegenda karena memiliki banyak kekhasandan kekhususan. Ia berdakwah dengan cara yang nyentrik, tidak lazim, karena teramat jarang mubaligh berdakwah seperti cara-cara yang ditempuh oleh beliau.

Gus Miek dianggap oleh banyak orang memiliki kemampuan supranatural. Banyak kesaktian ditempelkan pada reputasinya. Banyak orang yang rela antre berlama-lama untuk bisa bertemu dengan Gus Miek dengan berbagai keperluan. Kemampuan supranatural itu, dalam istilah pesantren, dinamakan khariqul ‘adat. Kalangan awam memandang kemampuan semacam itu sebagai suatu keanehan.

Namun, di mata Gus Dur, kenyentrikan Gus Miek terletak pada kearifannya yang telah menembus batasan agama. Melalui transendensi keimanannya, ia tidak lagi melihat kesalahan pada keyakinan orang beragama atau berkepercayaan lain. Contohnya, Gus Miek bersikap membimbing kepada Ayu Wedhayanti, seorang Hindu yang kini telah berpindah hati ke Islam, seperti yang dilakukannya terhadap Machica Mochtar, penyanyi asal Ujungpandang yang muslim.

Gus Miek, karena itu, tidak segan melepas jubah kekiaiannya dan bercengkerama dengan para penikmat hiburan malam di diskotek, club malam, bar dan coffee shop. Ibarat kata, di mata Gus Miek, seorang bajingan dan seorang suci adalah sama; manusia. Dan manusia memiliki potensi untuk memperbaiki diri.

“Kerinduannya kepada realisasi potensi kebaikan pada diri manusia inilah yang menurut saya menjadikan Gus Miek supranatural,” kata Gus Dur dalam buku Gus Dur Menjawab Tantangan Zaman, terbitan Kompas, Jakarta, 1999.

Masa Kecil Hingga ke Pernikahan

Hamim Tohari Djazuli adalah nama lengkapnya. Beliau dilahirkan pada 17 Agustus 1940 di Kediri dari pasangan KH. Jazuli Utsman dan Nyai Radhiyah. Nyai Radhiyah ini memiliki jalur keturunan sampai kepada Nabi Muhammad Saw., sebagai keturunan ke-32 dari Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib Ra. dengan Siti Fathimah az-Zahra.

Sejak kecil, Gus Miek sudah tampak unik. Dia tidak suka banyak bicara, suka menyendiri. Dan bila berjalan selalu menundukkan kepala. Akan tetapi Gus Miek juga sering masuk ke pasar, melihat-lihat penjual di pasar, sering melihat orang mancing di sungai. Bila keluarganya berkumpul, Gus Miek selalu mengambil tempat paling jauh.

Pada awalnya Gus Miek disekolahkan oleh KH. Jazuli Utsman di SR (Sekolah Rakyat), tetapi tidak selesai karena dia sering membolos. Setelah itu Gus Miek belajar al-Quran kepada ibunya, kepada Hamzah, Khoirudin, dan Hafidz. Ketika pelajaran belum selesai Gus Miek sudah minta khataman. Para gurunya jadi geleng-geleng kepala.

Pada tahun 1960 Gus Miek menikah dengan Lilik Suyati dari Setonogedong. Pernikahan ini atas saran dari KH. Dalhar dan disetujui KH. Mubasyir Mundzir, salah satu guru Gus Miek. Gadis itulah yang menurut gurunya akan sanggup mendampingi hidupnya, dengan melihat tradisi dan kebiasaan Gus Miek untuk berdakwah keluar rumah.

Pada awalnya pernikahan Gus Miek dengan gadis Setonogedong ditentang oleh kedua orangtuanya, KH. Jazuli Utsman dan Nyai Radhiyah. Setelah melalui proses yang panjang akhirnya pernikahan itu disetujui. Saat itu Gus Miek sudah berdakwah ke diskotek-diskotek, ke tempat perjudian dan lain-lain.

Merintis Jamaah Dzikrul Ghofilin

Dari berbagai perjalanan, riyadhah dan tabarrukan, Gus Miek akhirnya menyusun kembali wirid-wirid secara tersendiri yang didapatkan dari para gurunya. Pada awalnya Gus Miek mendirikan Jamaah Mujahadah Lailiyah tahun 1962. Sampai tahun 1971 jamaah yang dirintis Gus Miek ini sudah cukup luas.

Metamorfosis dari komunits yang dibangun Gus Miek, semakin menampakkan bahwa ia mengembangkan tradisi wirid di luar kelompok tarekat yang sudah mapan di kalangan NU. Jamaah Mujahadah Lailiyah yang dibangunnya berkembang menjadi Dzikrul Ghafilin. Pada tahun 1971-1973 susunan wirid-wirid Dzikrul Ghafilin diusahakan untuk dicetak, terutama setelah jangkauan dakwah Gus Miek telah menjangkau Jember.

Bersama-sama KH. Achmad Shidiq yang awalnya sangat menentang, tetapi akhirnya menjadi sahabatnya, naskah wirid Dzikrul Ghafilin berhasil dicetak. Naskah-naskah yang tercetak dibagikan kepada jaringan jamaah Gus Miek; di Jember di bawah payung KH. Achmad Shidiq, di Klaten di bawah payung KH. Rahmat Zuber, di Yogyakarta di bawah payung KH. Daldiri Lempuyangan, dan di Jawa Tengah di bawah payung KH. Hamid Kajoran Magelang.

Disamping mengorganisir Dzikrul Ghafilin, Gus Miek pada tahun 1986 juga mengorganisir sema’an al-Quran. Beberapa bulan kemudian sema’an ini dinamakan Jantiko. Tahun 1987 sema’an al-Quran Jantiko mulai dilakukan di Jember. Saat itu KH. Achmad Shidiq sudah menjadi Rais Am Syuriyah PBNU yang diangkat oleh Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984.

Dibandingkan Dzikrul Ghafilin, jamaah Jantiko ini lebih cepat berkembang. Pada tahun 1989, Jantiko kemudian diubah namanya menjadi Jantiko Mantab atau Jantiko Man Taba. Ada juga yang mengartikan Mantab sebagai Majelis Nawaitu Tapa Brata. Dikatakan juga Man Taba itu berarti siapa bertaubat. Jantiko Mantab ini kemudian berkembang ke berbagi daerah.

Berdakwah ke Tempat-tempat Maksiat

Suatau hari, Gus Miek dengan diikuti Gus Farid masuk ketempat hiburan malam. Di tempat orang suka dugem dan mengkonsumsi narkoba serta minum-minuman keras, Gus Farid coba menutupi identitas Gus Miek agar tidak dilihat dan dikenali pengunjung.

“Gus, apakah sampean jamaahnya kurang banyak? Apakah Sampean kurang kaya? Kok masuk tempat seperti ini?” tanya Gus Farid penasaran. Usai melontarkan pertanyaan, Gus Farid langsung kaget karena tak menyangka Gus Miek terlihat emosi mendengar pertanyaan itu.

“Biar nanti saya cemar di mata manusia, tetapi tenar di mata Allah. Apalah arti sebuah nama. Paling mentok, nama Gus Miek hancur di mata ummat. Semua orang yang di tempat ini juga menginginkan surga, bukan hanya jamaah saja yang menginginkan. Tetapi, siapa yang berani masuk? Kiai mana yang berani masuk ke sini?” kata Gus Miek dengan penuh emosi.

Gus Farid terdiam. Tak lama setelah itu Gus Miek pun kembali ceria seolah lupa dengan pertanyaan Gus Farid yang baru saja disampaikan.

Kota Surabaya, salah satu kota yang menjadi favorit Gus Miek, dan salah satu tempat yang paling sering beliau singgahi adalah cafe di Hotel Elmi. Suasana malam khas cafe yang gaduh, dimana hentakan musik menggebrak malam, dan di sudut-sudut ruangan penuh kepulan asap rokok yang menyesakkan dada, berbaur bau alkohol yang menusuk hidung.

Di salah satu sudut pojok ruangan cafe terlihat seorang lelaki berwajah teduh sedang mengobrol dikelilingi beberapa orang. Tubuhnya sedang, rambutnya ikal dan di antara jemari tangannya terselip sebatang rokok.

Terdengar kalimat-kalimat yang menyejukkan dan sesekali terdengar tawa segar. Menurut orang-orang yang ada di sekelilingnya tersebut, lelaki itu selain ada di cafe ini juga dikenal di beberapa diskotik di Surabaya. Dan mereka semua memberikan julukan “Kyai Nyentrik”.

Gus Miek dan Al-Quran

Gus Miek seorang penghapal al-Quran. Karena bagi Gus Miek, al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan.

Jadi menurut Gus Miek, secara batiniah sema’an al-Quran adalah hiburan yang hasanah, hiburan yang baik. Selain juga merupakan upaya pendekatan diri kepada Allah dan sebagai tabungan di hari akhir.

Satu-satunya upaya untuk mengutarakan sesuatu kepada Allah menurut beliau ialah lewat majelis sema’an al-Quran ini. Karena berdasarkan sebuah hadits Nabi Saw.: “Barangsiapa ingin berkomunikasi dengan Allah, maka beradalah di tengah-tengah suatu majelis yang di dalamnya mengalun al-Quran.”

Gus Miek dan Kacamata Hitam

Pernah suatu ketika Gus Farid (anak KH. Ahmad Shiddiq yang sering menemani Gus Miek) mengajukan pertanyaan yang sering mengganjal di hatinya, pertama bagaimana perasaan Gus Miek tentang wanita?

“Aku setiap kali bertemu wanita walaupun secantik apapun dia dalam pandangan mataku yang terlihat hanya darah dan tulang saja. Jadi jalan untuk syahwat tidak ada”, jawab Gus Miek.

Kedua, Gus Farid menayakan tentang kebiasaan Gus Miek memakai kaca mata hitam baik itu di jalan maupun saat bertemu dengan tamu. “Apabila aku bertemu orang di jalan atau tamu aku diberi pengetahuaan tentang perjalanan hidupnya sampai mati. Apabila aku bertemu dengan seseorang yang nasibnya buruk maka aku menangis, maka aku memakai kaca mata hitam agar orang tidak tahu bahwa aku sedang menagis”, jawab Gus Miek.

Wafatnya Gus Miek

Gus Miek wafat pada 5 Juni 1993. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Tambak Kediri, diiringi ratusan ribu kaum muslimin. Di pemakaman ini pula KH. Achmad Shiddiq dimakamkan, di sebelah timur makam Gus Miek. Di pemakaman ini pula terdapat tidak kurang dari 22 orang yang kebanyakan menjadi guru sekaligus murid Gus Miek.

Mari ikhlaskan hati kita untuk menghadiahkan surat al-Fatihah kepada beliau-beliau yang telah mendahului kita. ‘Ala kulli niyyatin shalihah wa ila hadhratin Nabiy Saw. al-Fatihah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar